KETIKA WARGA MENJADI POLISI BAGI POLISI “NAKAL”
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
(opini dipublikasi Surat Kabar Harian Timor Express, 2 Oktober 2013)
Pengantar
Belum
pudar ingatan warga pecinta polisi atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan Kanit
Buser Polres Belu Soleman Kapitan terkait beckingan judi yang digerebek oleh
Brimob Kompi A Atambua pada tahun 2010, dihebohkan lagi dengan dugaan
penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) ke Timor Leste. Timor Express (30
September 2013) edisi pemberitaan “Kanit Buser Polres Belu ditangkap warga karena
berusaha menyelundupkan BBM ilegal” kembali memberikan pameo institusi Polri
belum sepenuhnya mengilhami reformasi secara kekinian. Meskipun masih sebatas
dugaan (versi Polda NTT) tetapi dari kronologi terdapat indikasi kuat bahwa
Polisi ini telah melakukan tindakan pelanggaran kode etik.
Polda
NTT sebagai penanggungjawab teritori pun selalu menghindar dengan indikasi
oknum. Oknumisasi merupakan strategi jitu sejak zaman orde baru untuk menutupi
identitas kebobrokan yang masih terpolarisasi sampai kini. Indikasi oknum
menjadi agenda pernyataan utama ketika ditemukan keterlibatan aktor-aktor
keamanan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mencoreng institusi.
Jika
Polda NTT ingin berbenah maka yang harus dilakukan terlebih utama adalah
memecat anggota Polri yang telah terbukti perbuatannya yang telah mengkangkangi
institusi melancarkan setiap aksi yang tidak berdasarkan Undang-Undang. Jika
ditilik dari persoalan Soleman Kapitan sebagai anggota Polri yang terindikasi
melakukan keberulangan tindakan-tindakan melanggar aturan hukum, seharusnya
anggota ini wajib tidak dipercaya lagi untuk diberikan jabatan. Tetapi realitas
berkata lain ketika Soleman Kapitan masih tetap dipercaya sebagai Komandan
BUSER sejak kasusnya mencuat di tahun 2010.
Meskipun
negara ini telah melakukan gerakan reformasi hampir disetiap sektor, ternyata
diinstitusi Polri sendiri, gerakan reformasi hanya sebatas euforia yang perlu
diakui tetapi tidak harus dijalankan. Sebuah fenomena yang perlu dipertanyakan
lagi kepada Kapolda NTT, apakah sekelas Jenderal masih dipertanyakan SDM dan
kemampuannya untuk memberikan warna perubahan institusi yang baik dan berdaya
guna dalam pelayanan keamanan dan pelaksana penegakan undang-undang berdasarkan
KUHP. Ironi ketika sama saja yang ditunjukkan Polda NTT.
Kasus
Soleman Kapitan merupakan bagian kecil yang tampak terungkap. Masih banyak
kasus yang mungkin sengaja disembunyikan oleh Polda NTT untuk tidak diungkapkan
ke publik dan pada akhirnya menjadi dan disimpulkan sebagai espirit de corps.
Espirit de corps (perancis) merupakan strategi melindungi anggota dari jeratan
hukum ketika anggotanya terlibat dalam tindakan-tindakan indisipliner maupun
perbuatan pelanggaran hukum.
Tugas Poilisi
Satjipto
Raharjo (2009:111-117) menyebutkan polisi sebagai alat negara yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat. Apabila hukum bertujuan untuk
menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantarnya melawan kejahatan. Akhirnya
polisi akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan
ketertiban.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 menegaskan fungsi polisi adalah memberikan keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, dan memberikan perlindungan
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain tugas tersebut,
undang-undang Polri juga pada pasal 14 menegaskan tugas Polri untuk
melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan
dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalulintas di jalan; membina
masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum, melakukan koordinasi, pengawasan, dan
pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa; melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggara
identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; melindungi keselamatan
jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan
ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat
untuk sementara belum ditangani oleh instansi/atau pihak berwenang; memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas
kepolisian; melaksanakan tugas lain dengan peraturan perundang-undangan.
Sosok
pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat, sekaligus juga sebagai penegak
hukum yang harus menjunjung HAM sangat diharapkan dari polisi. Tentu saja tidak
mudah bagi polisi melaksanakan tugas tersebut, apalagi beberapa faktor
penunjang kinerja polisi masih perlu dikembangkan seperti sistem hukum, sistem
manajemen perpolisian, sistem akuntabilitas publik, masalah budaya, budaya
organisasi, masalah kesejahteraan, masalah moral, masalah kontrol (Rianto,
2006). Sehingga apa yang ditunjukkan Polisi merupakan gambaran citra polisi
memahami tugas dan tupoksinya.
Warga Menjadi
Polisi
Telah
lama disepakati bahwa keberhasilan tugas-tugas kepolisian salah satunya
ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat partisipasi masyarakat (Rahardjo dan
Tabah 1993). Namun dipihak lain, tingkat partisipasi itu sendiri nampaknya
ditentukan pula oleh variabel lain seperti pengetahuan masyarakat pada umumnya
maupun pengetahuan masing-masing individu pada khususnya mengenai peran polisi,
kemampuan serta kewenangan polisional yang dimilikinya (Adrianus Meliala,
2003:1).
Kemudian
Meliala mengklasifikasikan peran Polisi dalam dua hal yaitu: pertama melihat polisi sebagai PERAN,
dengan demikian mencakup mulai dari melihat polisi sebagai profesi, sebagai
karier, sebagai individu, sebagai kelompok sosial, sebagai kelompok kerja,
polisi sebagai model perilaku bagi masyarakat di sekitarnya. Kedua, melihat polisi dari sudut
kemampuan dan kewenangan kerja. Dengan demikian mencakup mulai dari melihat
posisinya dalam peradilan pidana, prosedur kerja, wewenang serta kemampuan
polisional, keterbatasan kerja dan larangan bagi polisi serta hak-hak
masyarakat saat berhadapan dengan polisi. Pemilahan tersebut dianggap perlu
dilakukan sehingga sejak awal dapat dikatakan bahwa kognisi sosial yang paling
matang tentang polisi adalah bila seseorang telah mampu mengetahui secara amat
baik dan lengkap perihal polisi baik mengenai perannya demikian pula
konsep-konsep yang terkait dalam konteks peran tersebut.
Derbyshire
(1968) menyimpulkan bahwa betapa pun polisi berupaya keras memperbaiki citranya
di mata masyarakat, namun hal itu tetap harus berada dalam kerangka hubungan
polisi-masyarakat yang juga baik, karena bila tidak akan sia-sia saja. Apa yang
telah dilakukan Ny. Ferdinan Viegas dan Ermelinda Dorosario pada Minggu
(22/9/2013) sekitar pukul 21.30 Wita menangkap Kanit Buser Polres Belu yang
diduga akan menyelundupkan BBM Ilegal ke Timor Leste, merupakan salah satu
bentuk pengawasan warga dalam mendukung kinerja reformasi polri.
Penutup
Salah
satu penghambat reformasi Polri adalah masih berakarnya semangat melindungi
korps (spirit the corps) oleh Polisi yang terus melindungi anggotanya ketika
melakukan tindakan-tindakan indisipliner dan perbuatan melanggar hukum. Setiap
terindikasi keterlibatan anggota Polri maka selalu dianggap sebagai oknumisasi,
meskipun yang menjadi inti perbuatan adalah penyalahgunaan kekuasaan.
Masyarakat harus terus mengawasi polisi dengan menjadi polisi bagi diri sendiri
dan menjadi polisi bagi polisi, sehingga dengan demikian keterkaitan antara
pengawasan masyarakat terhadap polisi mampu menjadi spirit dan penghormatan
dalam mendukung reformasi Polri.