Oleh. Fellyanus Haba Ora
(Ketua FreePublik Nusa Tenggara Timur)
Huzein dalam artikel Inkrispena
mengungkap data konflik agraria yang terjadi selama 2009-2014 didominasi
oleh konflik agraria struktural. Artinya, konflik yang terjadi akibat
kebijakan atau putusan pejabat publik dan mengakibatkan banyak korban
serta berdampak luas secara sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merilis angka konflik agraria di
Indonesia tahun 2009 sebanyak 89 kasus, tahun 2010 ada 106 kasus, tahun
2011-2013 ada 730 kasus, dan tahun 2014 terdapat 472 kasus. Data yang
dirilis KPA membuktikan bahwa dalam rentan waktu 2009-2014 terjadi 1.397
atau 430% kasus konflik agraria. Jika dirata-ratakan maka setiap tahun
terjadi 232,7 kasus agraria di Indonesia.
KPA juga dalam laporan akhir tahun 2014
menyebutkan konflik argaria meningkat tajam seiring luas areal konflik
agraria terhitung tahun 2009-2014. Jika ditotalkan luas areal konflik
agraria sejak tahun 2009-2014 mencapai 5.879.095 Ha luas areal konflik
agraria. Tahun 2009, total luas areal konflik agraria yang terjadi
sebesar 133.278 Ha dan terus meningkat sampai tahun 2014 menjadi
2.860.977 Ha. Jika ditinjau dari persentase terjadi kenaikan luas areal
konflik agraria selama 2009-2014 sebanyak 2046,6%.
Jika ditinjau dari perkembangan konflik
agraria Indonesia berbasis sektor tahun 2012-2014 yang didata KPA maka
sektor perkebunan paling tinggi sebesar 455 kasus, diikuti infrastruktur
(380 kasus), kehutanan (78 kasus), pertambangan (73 kasus), dan
pesisir/perairan (15 kasus). Selama 2013-2014, konflik di sektor
perkebunan meningkat sebanyak 95 konflik atau 105,6%, sementara konflik
di sektor infrastruktur meningkat sebanyak 155 konflik atau 258%.
Tahun 2012 dan 2013, perkebunan
merupakan sektor yang konfliknya pertama terbanyak. Namun, pada 2014,
sektor yang konfliknya pertama terbanyak adalah sektor infrastruktur
dengan 215 konflik, sementara sektor perkebunan ada di posisi kedua
dengan 185 konflik. Adapun sektor lainnya, seperti kehutanan,
pertambangan dan pesisir/perairan, meski konfliknya terus ada, tetapi
jumlahnya cenderung fluktuatif.
Ditinjau dari pihak-pihak konflik
agraria tahun 2014 maka jumlah terbesar konflik terjadi diantara warga
versus swasta (221 kasus), diikuti warga versus pemerintah (115 kasus),
warga versus warga (75 kasus), warga versus perusahaan negara (46
kasus), dan warga versus TNI/Polri (18 kasus). Jika ditinjau
berdasarkankonflik diantara sektor maka tampak sektor perkebunan,
pertambangan dan pertanian terjadi konflik terhadap perusahaan swasta
lebih besar dibandingkan dengan perusahaan negara. Sektor infrastruktur
lebih besar konflik terhadap perusahaan negara dibandingkan konflik
terhadap perusahaan swasta.
Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang
sementara dibahas oleh DPR RI tahun 2015 ini memasukan pasal tentang
pengadilan pertanahan yang diharapkan dapat dibentuk sebagai pengadilan
khusus dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa,
mengadili, dan memberi putusan terhadap perkara pertanahan.
Secara instrument hukum, peraturan
pertanahan telah ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun
1960 tetapi UU ini dirasa belum memenuhi rasa keadilan dan bersifat
neolib karena saat pembentukan UU tersebut dominasi dipengaruhi oleh
kekuasaan neolib. Alhasil dari sekian banyak jabaran UU yang berkaitan
dengan UUPA menjadi monopoli kekuasaan negara. Dilain pihak,
ketidakkonsistenan tafsir dari Undang-Undang tersebut menyebabkan
penumpukan kasus di pengadilan-pengadilan negeri hingga kasasi. Data BPN
tahun 2015 menyebutkan bahwa total perkara yang berada di Mahkamah
Agung sebesar 4.223 kasus. Total tersebut, sebanyak 2.014 kasus telah
selesai dan menyisahkan 2.209 kasus sementara dalam proses peradilan.
Atau dengan kata lain telah 47,69% kasus yang telah selesai.
Disisi lain penututan kasus dan perkara
pertanahan yang membutuhkan bukti formil menyebabkan konflik tanah
berkempanjangan terutama tentang hak kepemilikan. BPN dalam menyebutkan
tipologi kasus pertanahan secara garis besar terjadi karena 10 hal,
yaitu: penguasaan tanah tanpa hak; sengketa batas; sengketa waris; jual
berkali-kali; sertifikat tanah ganda; sertifikat pengganti; akta jual
beli palsu; kekeliruan penunjukan batas; tumpang tindih; dan putusan
pengadilan.
Disisi lain rasa ketidakadilan dari
penyelesaian kasus pertanahan di pengadilan umum karena membutuhkan alat
bukti yang berbasis bukti formal. Kongkalikong yang terjadi diantara
penguasa atau aktor yang berkuasa menjadikan alat bukti tersebut dapat
direkayasa.
Kasus-kasus yang menumpuk di peradilan
umum dan kasus yang melibatkan hadap-berhadapan antara warga terhadap
warga atau korporasi maupun negara karena ketiadaan norma hukum formil
terutama pada hak-hak kekuasaan masyarakat adat. Urgensi dan esensi
dalam implementasi UUPA yang seharusnya memberi keadilan belum
sepenuhnya menyentuh akar penyelesaian konflik pertanahan. Untuk itu
dibutuhkan regulasi yang mampu menampung dan mengadili konflik maupun
perkara/sengketa pertanahan secara khusus.
Berdasarkan data dan kajian konflik yang
disebutkan di atas maka Indonesia memerlukan adanya pengadilan
pertanahan. Dasar pijak dibutuhkan pengadilan pertanahan karena kasus
tanah merupakan spesifik dengan pengetahuan khusus. Tumpukan kasus yang
belum terselesaikan dan tertangani dengan baik akibat hakim yang
memutuskan kasus pertanahan di pengadilan negeri maupun pengadilan tata
usaha negara berpengetahuan umum dan selalu berpegang pada bukti formal
(mengacu pada hukum perdata dan administrasi). Kelemahan dari
penyelesaian hukumnya adalah masyarakat adat dalam kekuasaan adat yang
sering lemah dalam bukti formal.
Disisi lain, tumpukan kasus di
peradilan umum makin memakan waktu sengketa dan perkara di pengadilan
sehingga status kepemilikan pun berlarut-larut. Akibatnya konflik
semakin berkepanjangan. Putusan yang bersifat berkekuatan tetap (incracht)
harus memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Padahal rakyat/pemerkara
membutuhkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya yang ringan.
Mafia dan makelar tanah yang mampu
menggandakan sertifikat dan bukti tanah semakin memperumit putusan
pengadilan, termamsuk juga putusan pengadilan yang mampu membatalkan
bukti sertifikat. Jika dasar putusan hakim pada bukti formal maka akan
berdampak pada status-status kepemilikan orang tertentu seperti
masyarakat hukum adat yang lemah. Sama halnya terhadap masyarakat
marginal yang tidak mampu bersaing terhadap mafia dan makelar tanah.
Oleh karena itu dibutuhkan hakim yang berpengetahuan khusus terhadap
sengketa tanah yang bersifat spesifik namun kompleks.
Menjamin adanya keadilan dalam hukum
pertanahan maka sangat dibutuhkan peradilan pertanahan. Terlepas dari
bentuk paham pesimistik argumentatif subjektif, namun yang pasti
Indonesia perlu dan wajib untuk dihadirkan Pengadilan Pertanahan. (*)