SELAMAT MEMBACA

Wednesday, 10 July 2013

TNI DAN PELANGGARAN HAM

Labirin; For My Friends Charles Mali
Oleh. Ian Haba Ora
           
Bicara soal Tentara Nasional Indonesia (TNI), mungkin tak terlupakan akan kekerasan (abuse of power) ABRI sewaktu era Orde Baru. Era itu, hampir semua lini/sektor pembangunan baik politik, ekonomi, pertahahan dan keamanan, sosial dan sektor riil lainnya, dimonopoli oleh kekuatan yang namanya dwi fungsi ABRI. Dari dulu hingga sekarang, kekerasan menjadi justifikasi oleh anggota TNI dan berlindung dibalik tegarnya benteng pengadilan militer sebagai sarana impunity for protected is abuse of power.

Kini, ketika TNI mulai menata diri dengan konsep reformasi secara keinstitusian, wajib menanggalkan falsafah/paradigma “dwifungsi ABRI” menjadi TNI yang mengurusi penugasan “defense” (back to barracks). Dengan demikian, domain TNI hanya pada penugasan pertahanan (Laut, Udara dan Darat) terikat secara spasial penugasan nir military (TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004). Dimaksudkan, menata diri dalam vitalisasi “Reformasi TNI”. Mufti Makaarim (IDSPS, 2009), menjelaskan setelah pergolakan 1999 (runtuhnya rezim orde baru), secara normatif, gerakan ini berhasil mendorong TNI melakukan perubahan paradigma, peran fungsi dan tugasnya. Pemerintah pun ‘mewujudkan’ upaya penghapusan hak-hak istimewa TNI selama Orde Baru melalui beberapa kebijakan dan peraturan yang meliputi pengaturan tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR No VI/2000), pengaturan peran TNI dan Polri (Tap MPR No. VII/2000), UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, kemanjaan TNI (Baca: ABRI) sebagai penentu legislasi, penyelenggara eksekutif dan wasit di Yudikatif di era Soeharto harus ter-destruktifkan/ditanggalkan dan wajib.

Selain reformasi secara perundang-undangan (istrumen hukum), TNI juga melakukan perubahan dalam struktur keorganisasian diantaranya: melikuidasi staf komunikasi sosial pada tahun 2005 (Skep Panglima TNI No. 21/VI/2005); netralitas TNI dalam Pemilu dan penghapusan bisnis militer. Selain itu, TNI juga dituntut agar lebih concern sesuai TUPOKSI TNI Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 ayat (1) bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Ini sesuai dengan fungsi TNI sebagai defense military (Tap MPR No. VI/2000 Pasal 2 ayat (1) dan Tap MPR No. VII/2000 Pasal 2). Dengan demikian, segala urusan keamanan dalam negeri (kamtibmas, lalulintas, kriminalitas, dll) selain pertahanan menjadi domain Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002).

Namun, cita-cita pionir reformasi dalam tatakelola demokrasi, terbantahkan dan tereliminasi. Cita-cita reformasi TNI secara gradual seiring dengan massifnya kampanye reformasi sektor keamanan (security sector reforms) dengan tindakan brutal dan bejat diluar sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia, law enforcement (dapat dikategorikan: ekstra judicial killing) terkangkangi. Tewasnya Charles Mali (24), warga Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua yang disinyalir dilakukan oleh 19 ‘penjahat’ oknum berseragam loreng di Mako Yonif 744/SYB, Kabupaten Belu. “Penjahat” pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) itu, menganiaya Korban (Baca: Charles) pada wajah hingga robek dan lebam hitam; tidak pada wajah saja melainkan disekujur tubuh seperti dada, perut dan bagian belakang; lebih biadabnya lagi, aksi ini diwarnai layaknya melukis tubuh orang dengan sulutan api rokok (pengembangan, TIMEX-Senin, 14 Maret 2011).

Kejam dan kejam, barbar, penjahat, apapun istilahnya, tak akan mampu menyamai semantisme pengistilahan ketidakperikemanusiaan ini. Pelanggaran HAM pun tak dapat di sangkalkan lantaran ‘pembunuhan’ ini dilakukan di institusi negara (Mako Yonif 744/SYB) dan unsur otoritas negara (anggota TNI). Pelanggaran HAM dalam UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (6); terjadi jika setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang ini, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pengertian ini seturut dengan Moniche Saubaki dalam wawancara disuatu kesempatan bersama penulis; menurutnya, konteks pelanggaran HAM dapat terjadi dalam 2 (dua) hal, yakni : pertama, Pelanggaran HAM bisa terjadi bila seorang aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung (by commission) melanggar HAM seseorang (menangkap sewenang-wenang, membubarkan rapat, membubarkan organisasi, menyiksa, atau membunuh); kedua, Pelanggaran HAM juga terjadi bila aparat negara dengan segala kewenangannya membiarkan terjadinya serangan terhadap HAM seseorang (by ommission). Contohnya si A membunuh si B. Kemudian negara membiarkan si A sehingga A bisa bebas dan tidak dihukum.

Secara kasuistik, meskipun secara kronologis aksi ini berawal dari aksi pemalakan oleh Charles cs pada salah seorang anggota TNI, secara institusi (TNI) tidak memiliki wewenang untuk menangkap dan memeriksa pelaku karena aksi ini adalah murni pidana biasa dan tak ada hubungannya dengan persoalan state disintegration, sehingga merupakan domain dari pihak kepolisian. Apalagi menjadikan orang tua pelaku (baca; Charles) sebagai jaminan dan harus menjalani wajib lapor di Mako Yonif selama enam hari tanpa makan minum (TIMEX, 15/3/2011) adalah diluar ambang instrumen hukum TNI. Ini tidak berbeda jauh ketika di era Orde Baru, ABRI (TNI) memain determinasi tugas Kepolisian. Parahnya lagi, Yonif 744/SYB di Atambua melakukan tugas kepolisian sebagai penyidik untuk ditetapkan tersangka bagi para pelaku dengan aksi kekerasan dan penyiksaan hingga salah seorang (Charles) meregang nyawa. ALANGKAH NAIFnya oknum TNI ini sehingga tidak menginternalisasi TUPOKSI sesuai amanah aturan perundang-undangan.

Abuse of power para aktor TNI di Atambua dalam mengkangkangi dan mendistorsi perintah UU, ternyata dirasakan juga oleh masyarakat di lima Kecamatan di Kabupaten Belu yakni Kecamatan Tastim, Lasiolat, Raihat, Lamaknen dan Lamaknen Selatan. Ini terjadi, dimana setiap warga yang melewati Pos Provost di Gerbang Masuk Mako Yonif yang menghubungkan lima kecamatan tersebut selalu diperiksa hingga menimbulkan ketidakamanan pengguna jalur tersebut, (Andreas Bere Asa. Timex, 15/3/2011).

Walaupun telah ada pengakuan dan komitmen Danden POM Kupang, Mayor (CPM) Putu Wiguna Brata pada Wartawan selaku representatif public, berjanji akan menyelidiki kasus ini hingga tuntas, sesuai aturan yang berlaku. Jika terbukti, pihaknya tidak main-main untuk menyeret ke Pengadilan Militer. Tapi, janji ini masih disangsikan lantaran komitmen ini sebatas wacana yang transedental. Bagaimana mungkin, secara epistemologi dan empirisme, intrumen hukum dan koridor the rule of law, kronologis (tempus and locus delicti), otoritas dan destruktif arogansi memvisualisasi adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia masih diwacanakan ...akan...dan jika terbukti....

Cermatan lain yang perlu di ketahui publik adalah…Pengadilan Militer terdiri dari hakim-hakim berlatar belakang militer, dan mungkin saja dapat disinyalir adanya impunitas dan e spirit de corps. Impunitas dimaksudkan pelaku pelanggaran HAM mendapat perlakuan istimewa dan kebal akan hukum, bersembunyi dibalik topeng pengadilan militer, memanipulatif dan mendistorsi kasus menjadi pengkodifikasi pelanggaran disiplin aparat. Sedangkan e spirit de corps dipahami sebagai usaha membela korps dan keanggotaan dengan prinsip “tabu membuka aib institusi”.

Kesangsian sipil akan adanya imparsialitas dan pengadilan yang fair (fair of trial) dalam penegakan hukum semakin sumir dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM (bukan pelanggaran HAM berat versi UU No. 26/2000) yang tak terselesaikan bahkan ada yang divonis bebas dalam sidang pengadilan militer (kasus MUNIR, SEMANGGI I & II, TRISAKTI, DLL), menjustifikasi tidak adanya rasa keadilan bagi warga sipil. Kasus tewasnya Munir misalnya, seorang aktivis menyindir divonis bebasnya Mucdi PR seorang ahli Badan Intelijen Negara (BIN) yang diduga terlibat dalam pembunuhan aktivis HAM Munir “Pemerintah harusnya menindak pelaku bukan sebaliknya memberikan penghargaan kepada pembunuh. Maksud saya harusnya pelaku kejahatan harus dihukum, kalau dia malah dinaikkan pangkat dari Kopral naik terus, begitu juga nanti (menjadi) Jenderal. Artinya mereka diberi penghargaan karena mereka pembunuh kehormatan. Besok-besok aparat negara membunuh (lagi) karena dihargai dengan kenaikan pangkat (Galuh Wandita, “Akuntabilitas Kejahatan HAM Masa Lalu: Impunitas versus Keadilan Transisi,” Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia; Terbitan IDSPS, HRWG, DCAF dan Komnas HAM; Tahun 2009. hal. 17).
           
Kekecewaan dan kesangsian keluarga dari makluk tak bernafas (Charles Mali) akan adanya penegakan hukum yang adil, jauh dari impunitas dan e spirit de corps negara melalui DenPOM AD maupun pengadilan militer, cukup mengkonfigurasi dan mempresentatifkan public other, “ada yang salah di internal TNI dalam mencita-citakan reformasi TNI”. TNI yang menghargai nilai-nilai HAM (respect to human rights), …not abuse of power (tidak menyalahgunakan kekuasaan), paham aturan dan kode etik, dan jauh dari pelanggaran HAM. Selain itu, pengadilan yang bersih dan adil dalam imparsialitas penegakan hukum kini menjadi momentum holistik reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI meskipun itu bersifat gradual.

Kasus tewasnya Charles Mali hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kasus penyalagunaan kekuasaan aparatur negara dalam hal ini TNI. Diibaratkan fenomena gunung es, tampak mengerucut di permukaan namun semakin melebar yang tak kelihatan. Tapi, kasus ini dapat dijadikan sebagai ajang pembuktian reformasi TNI tidak saja menjadi wacana nasional namun telah merambah menjadi komitmen intitusi TNI itu sendiri. TNI dari Rakyat wajib memberikan Keadilan bagi Rakyat.

Belum genap dua tahun kasus Atambua, kini dihebohkan lagi dengan tewasnya 4 orang lelaki di dalam sel tahanan Lapas Cebongan yang hingga kini penyelesaiannya masih di Oditurat Militer. Apakah negara akan berdiam? Kita tunggu saja!!! Keempat orang yang tewas ditangan Anggota Kopasus Kandang Menjangan tersebut adalah Hendrik Benyamin Angel Sahetapi alias Diki Ambon, 31 tahun; Adrianus Candra Galaja alais Dedi, 33 tahun; Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun; Yohanes Juan Manbait alias Juan, 38 tahun.

Labelisasi preman tidak dapat menjadi kepastian dan pembenaran tindakan namun lebih daripada itu adalah asas hukum menjadi spirit penegakan hukum berdasar prinsip dan kesatuan NKRI.

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: