Labirin; For My Friends
Charles Mali
Oleh. Ian Haba Ora
Bicara
soal Tentara Nasional Indonesia (TNI), mungkin tak terlupakan akan kekerasan (abuse of power) ABRI sewaktu era Orde
Baru. Era itu, hampir semua lini/sektor pembangunan baik politik, ekonomi,
pertahahan dan keamanan, sosial dan sektor riil lainnya, dimonopoli oleh
kekuatan yang namanya dwi fungsi ABRI. Dari dulu hingga sekarang, kekerasan
menjadi justifikasi oleh anggota TNI dan berlindung dibalik tegarnya benteng
pengadilan militer sebagai sarana impunity
for protected is abuse of power.
Kini,
ketika TNI mulai menata diri dengan konsep reformasi secara keinstitusian,
wajib menanggalkan falsafah/paradigma “dwifungsi ABRI” menjadi TNI yang mengurusi
penugasan “defense” (back to barracks).
Dengan demikian, domain TNI hanya pada penugasan pertahanan (Laut, Udara dan
Darat) terikat secara spasial penugasan nir military (TAP MPR No. VI dan VII
Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004). Dimaksudkan, menata diri dalam vitalisasi
“Reformasi TNI”. Mufti Makaarim (IDSPS, 2009), menjelaskan setelah pergolakan
1999 (runtuhnya rezim orde baru), secara normatif, gerakan ini berhasil
mendorong TNI melakukan perubahan paradigma, peran fungsi dan tugasnya. Pemerintah
pun ‘mewujudkan’ upaya penghapusan hak-hak istimewa TNI selama Orde Baru
melalui beberapa kebijakan dan peraturan yang meliputi pengaturan tentang
pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR No VI/2000), pengaturan peran TNI dan Polri
(Tap MPR No. VII/2000), UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU
No. 34 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, kemanjaan TNI
(Baca: ABRI) sebagai penentu legislasi, penyelenggara eksekutif dan wasit di
Yudikatif di era Soeharto harus ter-destruktifkan/ditanggalkan dan wajib.
Selain
reformasi secara perundang-undangan (istrumen hukum), TNI juga melakukan
perubahan dalam struktur keorganisasian diantaranya: melikuidasi staf
komunikasi sosial pada tahun 2005 (Skep Panglima TNI No. 21/VI/2005); netralitas
TNI dalam Pemilu dan penghapusan bisnis militer. Selain itu, TNI juga dituntut
agar lebih concern sesuai TUPOKSI TNI
Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 ayat (1) bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasar Pancasila
dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Ini
sesuai dengan fungsi TNI sebagai defense military (Tap MPR No. VI/2000 Pasal 2
ayat (1) dan Tap MPR No. VII/2000 Pasal 2). Dengan demikian, segala urusan
keamanan dalam negeri (kamtibmas, lalulintas, kriminalitas, dll) selain
pertahanan menjadi domain Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002).
Namun,
cita-cita pionir reformasi dalam tatakelola demokrasi, terbantahkan dan
tereliminasi. Cita-cita reformasi TNI secara gradual seiring dengan massifnya
kampanye reformasi sektor keamanan (security
sector reforms) dengan tindakan brutal dan bejat diluar sistem tata hukum
yang berlaku di Indonesia, law
enforcement (dapat dikategorikan: ekstra
judicial killing) terkangkangi. Tewasnya Charles Mali (24), warga
Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua yang disinyalir dilakukan oleh 19 ‘penjahat’
oknum berseragam loreng di Mako Yonif 744/SYB, Kabupaten Belu. “Penjahat”
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) itu, menganiaya Korban (Baca: Charles) pada
wajah hingga robek dan lebam hitam; tidak pada wajah saja melainkan disekujur
tubuh seperti dada, perut dan bagian belakang; lebih biadabnya lagi, aksi ini
diwarnai layaknya melukis tubuh orang dengan sulutan api rokok (pengembangan,
TIMEX-Senin, 14 Maret 2011).
Kejam
dan kejam, barbar, penjahat, apapun
istilahnya, tak akan mampu menyamai semantisme pengistilahan
ketidakperikemanusiaan ini. Pelanggaran HAM pun tak dapat di sangkalkan lantaran
‘pembunuhan’ ini dilakukan di institusi negara (Mako Yonif 744/SYB) dan unsur
otoritas negara (anggota TNI). Pelanggaran HAM dalam UU No. 39 Tahun 1999 Pasal
1 ayat (6); terjadi jika setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang ini, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pengertian ini seturut dengan Moniche
Saubaki dalam wawancara disuatu kesempatan bersama penulis; menurutnya, konteks
pelanggaran HAM dapat terjadi dalam 2 (dua) hal, yakni : pertama, Pelanggaran HAM bisa terjadi bila seorang aparat negara
dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung (by commission) melanggar HAM
seseorang (menangkap sewenang-wenang, membubarkan rapat, membubarkan organisasi,
menyiksa, atau membunuh); kedua, Pelanggaran HAM juga terjadi bila aparat negara dengan segala kewenangannya membiarkan
terjadinya serangan terhadap HAM seseorang (by ommission). Contohnya si A membunuh si B.
Kemudian negara membiarkan si A sehingga A bisa bebas dan tidak dihukum.
Secara
kasuistik, meskipun secara kronologis aksi ini berawal dari aksi pemalakan oleh
Charles cs pada salah seorang anggota TNI, secara institusi (TNI) tidak
memiliki wewenang untuk menangkap dan memeriksa pelaku karena aksi ini adalah
murni pidana biasa dan tak ada hubungannya dengan persoalan state disintegration, sehingga merupakan
domain dari pihak kepolisian. Apalagi menjadikan orang tua pelaku (baca;
Charles) sebagai jaminan dan harus menjalani wajib lapor di Mako Yonif selama
enam hari tanpa makan minum (TIMEX, 15/3/2011) adalah diluar ambang instrumen
hukum TNI. Ini tidak berbeda jauh ketika di era Orde Baru, ABRI (TNI) memain
determinasi tugas Kepolisian. Parahnya lagi, Yonif 744/SYB di Atambua melakukan
tugas kepolisian sebagai penyidik untuk ditetapkan tersangka bagi para pelaku
dengan aksi kekerasan dan penyiksaan hingga salah seorang (Charles) meregang
nyawa. ALANGKAH NAIFnya oknum TNI ini sehingga
tidak menginternalisasi TUPOKSI sesuai amanah aturan perundang-undangan.
Abuse of power para
aktor TNI di Atambua dalam mengkangkangi dan mendistorsi perintah UU, ternyata
dirasakan juga oleh masyarakat di lima Kecamatan di Kabupaten Belu yakni
Kecamatan Tastim, Lasiolat, Raihat, Lamaknen dan Lamaknen Selatan. Ini terjadi,
dimana setiap warga yang melewati Pos Provost di Gerbang Masuk Mako Yonif yang
menghubungkan lima kecamatan tersebut selalu diperiksa hingga menimbulkan
ketidakamanan pengguna jalur tersebut, (Andreas Bere Asa. Timex, 15/3/2011).
Walaupun telah ada pengakuan dan
komitmen Danden POM Kupang, Mayor (CPM) Putu Wiguna Brata pada Wartawan selaku representatif public, berjanji akan menyelidiki kasus ini hingga tuntas,
sesuai aturan yang berlaku. Jika terbukti, pihaknya tidak main-main untuk
menyeret ke Pengadilan Militer. Tapi, janji ini masih disangsikan lantaran
komitmen ini sebatas wacana yang transedental. Bagaimana mungkin, secara
epistemologi dan empirisme, intrumen hukum dan koridor the rule of law, kronologis (tempus and locus delicti), otoritas
dan destruktif arogansi memvisualisasi adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia
masih diwacanakan ...akan...dan jika terbukti....
Cermatan
lain yang perlu di ketahui publik adalah…Pengadilan Militer terdiri dari
hakim-hakim berlatar belakang militer, dan mungkin saja dapat disinyalir adanya
impunitas dan e spirit de corps. Impunitas dimaksudkan pelaku pelanggaran HAM
mendapat perlakuan istimewa dan kebal akan hukum, bersembunyi dibalik topeng
pengadilan militer, memanipulatif dan mendistorsi kasus menjadi pengkodifikasi
pelanggaran disiplin aparat. Sedangkan e spirit de corps dipahami sebagai usaha
membela korps dan keanggotaan dengan prinsip “tabu membuka aib institusi”.
Kesangsian
sipil akan adanya imparsialitas dan pengadilan yang fair (fair of trial) dalam penegakan hukum semakin sumir dengan banyaknya
kasus-kasus pelanggaran HAM (bukan pelanggaran HAM berat versi UU No. 26/2000)
yang tak terselesaikan bahkan ada yang divonis bebas dalam sidang pengadilan
militer (kasus MUNIR, SEMANGGI I & II, TRISAKTI, DLL), menjustifikasi tidak
adanya rasa keadilan bagi warga sipil. Kasus tewasnya Munir misalnya, seorang
aktivis menyindir divonis bebasnya Mucdi PR seorang ahli Badan Intelijen Negara
(BIN) yang diduga terlibat dalam pembunuhan aktivis HAM Munir “Pemerintah harusnya menindak pelaku bukan
sebaliknya memberikan penghargaan kepada pembunuh. Maksud saya harusnya pelaku
kejahatan harus dihukum, kalau dia malah dinaikkan pangkat dari Kopral naik
terus, begitu juga nanti (menjadi) Jenderal. Artinya mereka diberi penghargaan
karena mereka pembunuh kehormatan. Besok-besok aparat negara membunuh (lagi)
karena dihargai dengan kenaikan pangkat (Galuh Wandita, “Akuntabilitas Kejahatan
HAM Masa Lalu: Impunitas versus Keadilan Transisi,” Almanak Hak Asasi Manusia
di Sektor Keamanan Indonesia; Terbitan IDSPS, HRWG, DCAF dan Komnas HAM; Tahun
2009. hal. 17).
Kekecewaan
dan kesangsian keluarga dari makluk tak bernafas (Charles Mali) akan adanya
penegakan hukum yang adil, jauh dari impunitas dan e spirit de corps negara
melalui DenPOM AD maupun pengadilan militer, cukup mengkonfigurasi dan
mempresentatifkan public other, “ada
yang salah di internal TNI dalam mencita-citakan reformasi TNI”. TNI yang
menghargai nilai-nilai HAM (respect to
human rights), …not abuse of power (tidak
menyalahgunakan kekuasaan), paham
aturan dan kode etik, dan jauh dari pelanggaran HAM. Selain itu, pengadilan
yang bersih dan adil dalam imparsialitas penegakan hukum kini menjadi momentum
holistik reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI meskipun itu
bersifat gradual.
Kasus
tewasnya Charles Mali hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kasus
penyalagunaan kekuasaan aparatur negara dalam hal ini TNI. Diibaratkan fenomena
gunung es, tampak mengerucut di permukaan namun semakin melebar yang tak
kelihatan. Tapi, kasus ini dapat dijadikan sebagai ajang pembuktian reformasi
TNI tidak saja menjadi wacana nasional namun telah merambah menjadi komitmen
intitusi TNI itu sendiri. TNI dari Rakyat wajib memberikan Keadilan bagi
Rakyat.
Belum genap dua tahun kasus Atambua, kini dihebohkan lagi
dengan tewasnya 4 orang lelaki di dalam sel tahanan Lapas Cebongan yang hingga
kini penyelesaiannya masih di Oditurat Militer. Apakah negara akan berdiam? Kita
tunggu saja!!! Keempat orang yang tewas ditangan Anggota Kopasus Kandang
Menjangan tersebut adalah Hendrik Benyamin Angel Sahetapi alias Diki Ambon,
31 tahun; Adrianus Candra Galaja alais Dedi, 33 tahun; Gameliel Yermiyanto Rohi
Riwu alias Adi, 29 tahun; Yohanes Juan Manbait alias Juan, 38 tahun.
Labelisasi preman tidak dapat menjadi kepastian dan
pembenaran tindakan namun lebih daripada itu adalah asas hukum menjadi spirit penegakan hukum berdasar prinsip
dan kesatuan NKRI.
Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT