SELAMAT MEMBACA

Wednesday, 11 September 2013

REFORMASI KEJAKSAAN



KUHP (Kasih Uang Habis Perkara)
Oleh. Ian Haba Ora

Pengantar
Korupsi di Indonesia sudah menjadi darah daging, bahkan telah dianggap sebagai virus berbahaya dan mematikan. Berbagai upaya preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan) telah disosialisasi massif ke pelosok daerah. Preventif dan kuratif dilakukan dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan-Badan Pengawas Keuangan (BPK, Inspektorat, dan lain sebagainya). Tidak hanya itu saja, masalah korupsi tidak diberikan wewenang pada satu lembaga saja, tetapi telah dikoordinasi secara multi sektor, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Singkatnya reformasi hukum dan birokrasi untuk membentuk pemerintahan yang bersih dan baik telah dijalankan namun sama saja, perjalanan pembarantasan korupsi negeri ini masih berjalan di tempat. Semua ini karena reformasi instrumen dan struktural belum didukung sepenuhnya oleh reformasi perilaku.

Benteng terakhir dalam penuntasan dan penghukuman bagi perilaku korupsi adalah di Pengadilan, dan fungsi penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan pengadilan ada di Kejaksaan. Dengan demikian, ketika penyidikan akan sebuah kasus korupsi yang terjadi, pemutusan lanjut ke pengadilan atau tidak, berada ditangan Jaksa. UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1), Jaksa diartikan sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik, penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kewenangan eksekusi) serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jika ingin memberantas korupsi maka hal utama yang perlu dilakukan adalah memperkuat institusi Kejaksaan.

Victory News edisi 10 September 2013 menulis berita kasus korupsi pengadaan buku di Dinas PPO Kota Kupang dengan terduga mantan Walikota Kupang Daniel Adoe dimanfaatkan oknum Jaksa di Kejati NTT untuk melobi pengacara terduga agar kasus ini tidak dilanjutkan, asalkan harus ada imbalan jasa terhadap sang Jaksa. Fenomena ini tidak saja satu kali terjadi, hampir disemua kasus korupsi sering dipertontonkan ulah Jaksa yang terindikasi bejat dan amoral meminta imbalan atas jasanya mengamankan sebuah kasus korupsi. Dengan demikian benar juga dikatakan Paul SinlaEloE bahwa kelemahan ini baik secara sadar maupun tidak sadar, sering menjadi celah bagi para koruptor untuk lepas bahkan bebas dari jeratan hukum.

Pameo KUHP (Kasih Uang Habis Perkara)
Jaman ekonomi yang serba sulit membuat orang mudah terbeli menjadi munafik. Menghalalkan segala cara untuk menggapai impian. Tidak peduli berdasarkan idealisme atau spirit perjuangan, intinya semua slogan itu mampu dikaburkan dengan kekuasaan. Betul juga kata Moni Saubaki bahwa kekuasaan cenderung korup. Dengan kekuasaan uang dan jabatan mampu memanipulatif dan berspekulatif membeli atau menukar idealisme dan moral dengan kemunafikan.

Negara ini sebenarnya harus berbangga dengan upaya massif dalam memberantas korupsi di negeri ini. Senjata ampuh warisan Belanda dalam menetapkan seseorang bersalah adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun masih timbul perdebatan akan sebuah warisan Belanda atas penghukuman yang absurt mengikuti kehendak penjajah saat itu, tetapi dapat memberikan nilai penegakan hukum yang cukup adil. Beberapa tersangka kasus selama ini divonis dengan pasal-pasal yang ada di KUHP.

Ungkapan kekecewaan penegakan hukum rakyat bukan pada konsideran hukum yang terjadi tetapi lebih difokuskan pada ulah para pelaku institusi hukum yang sering ‘bermain mata’ untuk menentukan pasal-pasal meringankan atau memberatkan dengan imbalan jasa sesuai yang diminta Jaksa.

Saya mencurigai adanya stigmatisasi pada Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai provinsi terkorup memang benar adanya dan tidak perlu disangkali. Stigmatisasi ini didasarkan atas tingginya kasus-kasus korupsi di NTT yang hingga saat ini belum terselesaikan dengan baik. Catatan akhir tahun 2012 PIAR NTT membeberkan penanganan kasus korupsi yang terjadi di NTT jalan ditempat bahkan ada yang dapat berulang tahun kasus meskipun terduga pelaku telah meninggal dunia. Fenomena hukum yang parah.

Keseluruhan kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT ini, tersebar di 20 (dua puluh) Kab/Kota dan 1 (satu) daerah dekonsentrasi yakni, Prov. NTT. Peta penyebaran kasus per-wilayah cukup merata, yakni berkisar antara 1 – 20 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Kab. Rote Ndao dengan 20 kasus dan di “susul” oleh jajaran pemerintahan  Prov NTT dengan 17 kasus, Kota Kupang 15 kasus, Kab. TTS 13  kasus, Kab. Sikka 13 kasus, Kab. Manggarai 9 kasus, Kab. Flores Timur 8 kasus, Kab. TTU  7  kasus, Kab. Ende 7 kasus, Kab. Kupang 5 Kasus, Kab. Belu 4 kasus, Kab. Alor 4 kasus, Kab. Sumba Barat Daya 2 kasus, Kab Sumba Timur 2 kasus, Kab. Manggarai Barat 2 kasus, Kab. Lembata 2 kasus. Selanjutnya di Kab. Sumba Barat, Kab. Nagakeo, Kab. Manggara Timur dan Kab Sabu Raijua masing-masing terdapat 1 kasus, dari beberapa kasus tersebut masih sebatas bolak balik kejaksaan-kepolisian (Paul SinlaEloE,2013).

Maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi NTT lamban dan jalan ditempat sebenarnya telah memberikan sebuah kesimpulan konotasi bahwa pelaku-pelaku korupsi telah dijerat hukum mafia peradilan maupun mafia Kejaksaan. Pasal-pasal dan ayat sebagai vonis yang diberikan sebagai imbalan perbuatan telah menjadi sebuah upaya tukar guling yang harus dimaknai sebagai bentuk kerjasama dalam menetapkan jumlah sesuatu yang dipahami sebagai KUHP (Kasih Uang Habis Perkara). Retorika dan dinamika hukum terjadi tidak di NTT saja tetapi diseluruh pelosok negeri ini.

Lembaga yang dianggap sebagai pemberi keadilan dan kebenaran dalam hal penyidikan, penuntutan dan eksekusi proses hukum di Kejaksaan telah diciderai oleh oknum Jaksa. Ironi ketika amoralitas oknum Jaksa tidak pernah mendapat sanksi dan pusnishmen dari institusi ketika anggotanya terindikasi melakukan perilaku-perilaku diluar kode etik dan aturan yang ada.

Ketika masyarakat merasa kecewa dengan penanganan kasus korupsi yang terjadi di institusi Kejaksaan maka akan disangkali dengan perbuatan oknum, padahal secara kelembagaan merupakan tanggung jawab institusi. Oknumisasi merupakan strategi masa Orde Baru untuk mempertahankan integritas institusi sebagai bentuk perlindungan korps (espirit de corp-bahasa Perancis). Strategi konstruksi “oknumisasi” merupakan salah satu modus operandi ideologi Soeharto. Dengan strategi ini, maka setiap kali ada kesalahan yang terjadi dilingkungan institusi negara, maka hal itu dinisbahkan kepada individu sang pelaku, dan diceraikan dari kemungkinan kekeliruan institusional maupun, apalagi, ideologis (M. Najib Azca dalam buku berjudul “Hegemoni Tentara”, terbitan Lkis, Yogyakarta, 1998).

Strategi yang ditawarkan
Mencermati problema hukum yang terjadi oleh tingkahlaku Jaksa yang menyalahgunakan kewenangan yang terjadi di negeri ini, maka solusi yang dapat ditawarkan adalah:

Pertama, setiap indikasi amoralitas dan penyalahgunaan wewenang Jaksa yang terekspos media maupun informasi publik harus menjadi prioritas penyelesaian kasus untuk memberikan garansi publik keadilan kasus. Ruang pengawasan perlu menjadi ruang publik sebagai cheks and balance dalam penegakan hukum kasus-kasus korupsi.

Kedua, Kejaksaan harus mampu menjalankan fungsi kontrol dan evaluasi kasus-kasus korupsi untuk menjadi pembelajaran penanganan kasus yang responsif, cepat, dan berasaskan nilai keadilan.

Ketiga, Negara harus berani menghukum mati atau sangat berat sesuai Undang-Undang terhadap Jaksa yang terlibat langsung maupun tidak langsung menjadikan sebuah kasus korupsi sebagai alat pemerasan. Basis rekruitmen perlu dilakukan sinkronisasi pembelajaran dari metode-metode rekruitmen seperti KPK dan Komnas HAM. Perlu dilakukan reformasi perilaku atas dasar kode etik Jaksa yang masih berdasarkan oknumisasi menjadi etika profesi Kejaksaan sehingga jika penyalahgunaan wewenang oknum wajib menjadi tanggungjawab kelembagaan. (Artikel ini dipublikasi Surat Kabar Harian Victory News-Rabu, 11 September 2013).

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: