KUHP (Kasih Uang Habis Perkara)
Oleh. Ian Haba Ora
Pengantar
Korupsi
di Indonesia sudah menjadi darah daging, bahkan telah dianggap sebagai virus
berbahaya dan mematikan. Berbagai upaya preventif (pencegahan) dan kuratif
(pengobatan) telah disosialisasi massif ke pelosok daerah. Preventif dan
kuratif dilakukan dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Badan-Badan Pengawas Keuangan (BPK, Inspektorat, dan lain sebagainya). Tidak
hanya itu saja, masalah korupsi tidak diberikan wewenang pada satu lembaga
saja, tetapi telah dikoordinasi secara multi sektor, yaitu kepolisian dan
kejaksaan. Singkatnya reformasi hukum dan birokrasi untuk membentuk
pemerintahan yang bersih dan baik telah dijalankan namun sama saja, perjalanan
pembarantasan korupsi negeri ini masih berjalan di tempat. Semua ini karena
reformasi instrumen dan struktural belum didukung sepenuhnya oleh reformasi
perilaku.
Benteng
terakhir dalam penuntasan dan penghukuman bagi perilaku korupsi adalah di
Pengadilan, dan fungsi penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan
pengadilan ada di Kejaksaan. Dengan demikian, ketika penyidikan akan sebuah
kasus korupsi yang terjadi, pemutusan lanjut ke pengadilan atau tidak, berada
ditangan Jaksa. UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal
1 ayat (1), Jaksa diartikan sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penyelidik dan penyidik, penuntut
umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (kewenangan eksekusi) serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jika
ingin memberantas korupsi maka hal utama yang perlu dilakukan adalah memperkuat
institusi Kejaksaan.
Victory
News edisi 10 September 2013 menulis berita kasus korupsi pengadaan buku di
Dinas PPO Kota Kupang dengan terduga mantan Walikota Kupang Daniel Adoe
dimanfaatkan oknum Jaksa di Kejati NTT untuk melobi pengacara terduga agar
kasus ini tidak dilanjutkan, asalkan harus ada imbalan jasa terhadap sang Jaksa.
Fenomena ini tidak saja satu kali terjadi, hampir disemua kasus korupsi sering
dipertontonkan ulah Jaksa yang terindikasi bejat dan amoral meminta imbalan
atas jasanya mengamankan sebuah kasus korupsi. Dengan demikian benar juga
dikatakan Paul SinlaEloE bahwa kelemahan ini baik secara sadar
maupun tidak sadar, sering menjadi celah bagi para koruptor untuk lepas bahkan bebas
dari jeratan hukum.
Pameo KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara)
Jaman
ekonomi yang serba sulit membuat orang mudah terbeli menjadi munafik.
Menghalalkan segala cara untuk menggapai impian. Tidak peduli berdasarkan
idealisme atau spirit perjuangan, intinya semua slogan itu mampu dikaburkan
dengan kekuasaan. Betul juga kata
Moni Saubaki bahwa kekuasaan cenderung korup. Dengan kekuasaan uang dan jabatan
mampu memanipulatif dan berspekulatif membeli atau menukar idealisme dan moral
dengan kemunafikan.
Negara
ini sebenarnya harus berbangga dengan upaya massif dalam memberantas korupsi di
negeri ini. Senjata ampuh warisan Belanda dalam menetapkan seseorang bersalah
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun masih timbul
perdebatan akan sebuah warisan Belanda atas penghukuman yang absurt mengikuti
kehendak penjajah saat itu, tetapi dapat memberikan nilai penegakan hukum yang
cukup adil. Beberapa tersangka kasus selama ini divonis dengan pasal-pasal yang
ada di KUHP.
Ungkapan
kekecewaan penegakan hukum rakyat bukan pada konsideran hukum yang terjadi
tetapi lebih difokuskan pada ulah para pelaku institusi hukum yang sering
‘bermain mata’ untuk menentukan pasal-pasal meringankan atau memberatkan dengan
imbalan jasa sesuai yang diminta Jaksa.
Saya
mencurigai adanya stigmatisasi pada Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai
provinsi terkorup memang benar adanya dan tidak perlu disangkali. Stigmatisasi
ini didasarkan atas tingginya kasus-kasus korupsi di NTT yang hingga saat ini
belum terselesaikan dengan baik. Catatan akhir tahun 2012 PIAR NTT membeberkan
penanganan kasus korupsi yang terjadi di NTT jalan ditempat bahkan ada yang
dapat berulang tahun kasus meskipun terduga pelaku telah meninggal dunia.
Fenomena hukum yang parah.
Keseluruhan
kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT ini, tersebar di 20 (dua puluh)
Kab/Kota dan 1 (satu) daerah
dekonsentrasi yakni, Prov. NTT. Peta penyebaran kasus per-wilayah cukup
merata, yakni berkisar antara 1 – 20 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Kab.
Rote Ndao dengan 20 kasus dan di “susul” oleh jajaran pemerintahan Prov NTT dengan 17 kasus, Kota Kupang 15 kasus, Kab. TTS 13 kasus, Kab. Sikka 13 kasus, Kab. Manggarai 9
kasus, Kab. Flores Timur 8 kasus, Kab. TTU
7 kasus, Kab. Ende 7 kasus, Kab.
Kupang 5 Kasus, Kab. Belu 4 kasus, Kab. Alor 4 kasus, Kab. Sumba Barat Daya 2
kasus, Kab Sumba Timur 2 kasus,
Kab. Manggarai Barat 2 kasus, Kab. Lembata 2 kasus. Selanjutnya di Kab. Sumba
Barat, Kab. Nagakeo, Kab. Manggara Timur dan Kab Sabu Raijua masing-masing
terdapat 1 kasus, dari beberapa kasus tersebut masih sebatas bolak balik
kejaksaan-kepolisian (Paul SinlaEloE,2013).
Maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi NTT lamban
dan jalan ditempat sebenarnya telah memberikan sebuah kesimpulan konotasi bahwa
pelaku-pelaku korupsi telah dijerat hukum mafia peradilan maupun mafia
Kejaksaan. Pasal-pasal dan ayat sebagai vonis yang diberikan sebagai imbalan
perbuatan telah menjadi sebuah upaya tukar guling yang harus dimaknai sebagai
bentuk kerjasama dalam menetapkan jumlah sesuatu yang dipahami sebagai KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara). Retorika dan dinamika hukum terjadi tidak di NTT
saja tetapi diseluruh pelosok negeri ini.
Lembaga yang dianggap sebagai pemberi keadilan dan
kebenaran dalam hal penyidikan, penuntutan dan eksekusi proses hukum di
Kejaksaan telah diciderai oleh oknum Jaksa. Ironi ketika amoralitas oknum Jaksa
tidak pernah mendapat sanksi dan pusnishmen dari institusi ketika anggotanya
terindikasi melakukan perilaku-perilaku diluar kode etik dan aturan yang ada.
Ketika masyarakat merasa kecewa dengan penanganan
kasus korupsi yang terjadi di institusi Kejaksaan maka akan disangkali dengan
perbuatan oknum, padahal secara kelembagaan merupakan tanggung jawab institusi.
Oknumisasi merupakan strategi masa Orde Baru untuk mempertahankan integritas
institusi sebagai bentuk perlindungan korps (espirit de corp-bahasa Perancis). Strategi konstruksi “oknumisasi” merupakan salah satu
modus operandi ideologi Soeharto. Dengan strategi ini, maka setiap kali ada
kesalahan yang terjadi dilingkungan institusi negara, maka hal itu dinisbahkan
kepada individu sang pelaku, dan diceraikan dari kemungkinan kekeliruan
institusional maupun, apalagi, ideologis (M. Najib Azca dalam buku berjudul
“Hegemoni Tentara”, terbitan Lkis, Yogyakarta, 1998).
Strategi yang ditawarkan
Mencermati
problema hukum yang terjadi oleh tingkahlaku Jaksa yang menyalahgunakan
kewenangan yang terjadi di negeri ini, maka solusi yang dapat ditawarkan
adalah:
Pertama, setiap indikasi amoralitas dan penyalahgunaan wewenang
Jaksa yang terekspos media maupun informasi publik harus menjadi prioritas
penyelesaian kasus untuk memberikan garansi publik keadilan kasus. Ruang
pengawasan perlu menjadi ruang publik sebagai cheks and balance dalam penegakan hukum kasus-kasus korupsi.
Kedua, Kejaksaan
harus mampu menjalankan fungsi kontrol dan evaluasi kasus-kasus korupsi untuk
menjadi pembelajaran penanganan kasus yang responsif, cepat, dan berasaskan
nilai keadilan.
Ketiga, Negara harus berani menghukum mati
atau sangat berat sesuai Undang-Undang terhadap Jaksa yang terlibat langsung
maupun tidak langsung menjadikan sebuah kasus korupsi sebagai alat pemerasan.
Basis rekruitmen perlu dilakukan sinkronisasi pembelajaran dari metode-metode
rekruitmen seperti KPK dan Komnas HAM. Perlu dilakukan reformasi perilaku atas
dasar kode etik Jaksa yang masih berdasarkan oknumisasi menjadi etika profesi
Kejaksaan sehingga jika penyalahgunaan wewenang oknum wajib menjadi
tanggungjawab kelembagaan. (Artikel
ini dipublikasi Surat Kabar Harian Victory News-Rabu, 11 September 2013).
Penulis.
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT