Oleh. Fellyanus Haba Ora
Ketua Freepublik PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi Harian Kota KURSOR (Kamis, 6
Februari 2014)
Pengantar
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas (Anak
Berkebutuhan Khusus/ABK) harus dihentikan. Kehadiran pendidikan inklusi
merupakan langkah menghilangkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Pendidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang
dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimiliki. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi masih belum terlaksana
maksimal kerena tidak terakomodasinya kebutuhan siswa di luar kelompok siswa
normal. Demikian intisari yang dikemukakan Kabid Pendidikan Inklusi Dinas P dan
K NTT Sunarto pada seminar di UPTD Dinas Sosial NTT Sabtu, 1 Februari 2014.
Bagaimanapun usaha pemerintah untuk memaksimalkan dan
mengoptimalkan keterbukaan ABK untuk berinteraksi dan bernormalisasi di
lingkungan masyarakat akan terasa sulit diterapkan ke masyarakat karena
paradigma warga yang belum sadar untuk menganggap ABK sebagai bagian dari hidup
manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya lebih untuk mengintensifkan
cara yang lebih memaksimalkan cara pandang agar masyarakat lebih terbuka dalam
menerima ABK sebagai esensi dari Hak Asasi Manusia.
Cara lebih kontinue dan lebih aktif adalah dengan cara
membentuk komunitas-komunitas ABK diseluruh negeri untuk menjadi wadah naungan
aspirasi dan perjuangan merebut simpati warga negara. Komunitas AIDS mampu
merebut simpatik warga untuk menerima kaum ini sebagai bagian dari warga negara,
begitupun komunitas Lepra mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan bidang
kesehatan untuk memberikan ruangan khusus bagi penderita lepra melakukan
pengobatan dilingkungan kesehatan. Demikian juga kaum Waria sedikit demi
sedikit mulai menunjukkan eksistensi sebagai bentuk apresiasi dan kreativitas
melakukan perjuangan aspirasi dan inovatif berdasarkan soft skill yang
dimiliki. Selama ini Pemerintah terlalu banyak mengatur dan campur tangan
terhadap eksistensi ABK sehingga dapat menciptakan ketergantungan berlebih pada
pemerintah. Seharusnya Pemerintah hanya menjadi fasilitator dan mediator saja
bukan untuk mengatur.
Diskriminasi ABK
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang
mengalami keterlambatan lebih dari dua aspek perkembangan dan lebih dari satu
tingkat umur atau anak yang mengalami penyimpangan. Gangguan dan hambatan dalam
beberapa aspek, yaitu: fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa); bahasa dan
komunikasi (tunarungu, anak dengan gangguan komunikasi); emosi dan perilaku
(tunalaras); sensorimotor (tunadaksa); intelektual (tunagrahita); bakat (umum
dan khusus); authisme; gangguan belajar (learning disabilities). Para
penyandang ini mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitar
terlebih dari negara. Khusus pendidikan para penyandang belum sepenuhnya
mendapat pengakuan yang sama dengan anak-anak yang tergolong normal. Data
Kementrian Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa baru 40% atau 16 ribu jiwa
anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang tersentuh pendidikan dari 300 ribu
jiwa lebih penyandang anak berkebutuhan khusus (http://www.portalkbr.com/). Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan Nusa Tenggara Timur (FKKADK
NTT) melaporkan data penyandang disabilitas di NTT mencapai 30 ribu orang lebih.
Sejumlah sepuluh ribu orang anak diantaranya merupakan penyandang difabilitas.
Sekitar 3.370 orang diantaranya mengikuti pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMA Luar
Biasa. Selebihnya belum mengecap pendidikan diberbagai lembaga pendidikan (http://teenvoice.co.id/2012/04/26/).
Keterlambatan ABK dalam
bertindak, berpikir, maupun bersosialisasi mengharuskan anak dengan status ABK
tereliminasi dari hak-hak sebagai warga negara. Kebutuhan akan pendidikan tidak
menjadi perhatian utama dari Pemerintah meskipun secara konstitusi telah
menggarisbawahi bahwa kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan anak
bangsa. Ironi ketika konstitusi tersebut hanya menjadi pedoman baku yang terus
tercatat dalam dokumen negara namun mubazir. Pemerintah Daerah pun cenderung
mendominasi pendidikan merujuk pada formalisasi infrastruktur bagi lembaga
pendidikan normal.
Selama ini perjuangan
Pemerintah hanya memaksimalkan program-program ABK dibidang pendidikan belum
pada multi sektor. Padahal diskriminasi yang terjadi di ABK terjadi diseluruh
sektor. Misalkan program-program kebijakan daerah masih pada perspektif warga
yang normal belum pada warga berkebutuhan khusus. Salah satu cara perjuangannya
adalah melalui politik. ABK sampai saat ini belum satupun yang mampu bersaing
dikontes perpolitikan Indonesia. Kemenangan-kemenangan ABK dalam lomba
disabilitas nasional menjadi contoh kemampuan bakat yang dimiliki oleh kaum
ABK. Penemuan-penemuan dibidang riset dan kajian intelektual juga mampu
ditorehkan oleh ABK. Atlet-atlet nasional bidang olahraga juga telah mampu
diberikan oleh ABK. Jabatan-jabatan struktural pemerintahan belum mampu
terakomodir dalan sistem pemerintahan baik nasional maupun daerah. Jika kita
mencontohkan bagaiman komunitas-komunitas kaum perempuan memperjuangkan gender
mampu merebut simpatik dan empati negara melalui perjuangan-perjuangan riil
dimasyarakat. Itu semua dikarenakan komunitas perjuangan.
ABK perlu diberi ruang
khusus untuk berskspresi dan berinovasi melalui komunitas-komunitas sebagai
wadah ekspresi dan aspirasi memperjuangkan hakekat ABK. Contoh Martha seorang slow learner sebagai pengusaha sukses
dan pengajar pascasarjana Universitas
Indonesia hanya sebatas narasi yang diketahui oleh suksesnya bagi orang normal
(http://rizkipuspa-plbuns2012.blogspot.com). Habibie Afsyah dengan keterbatasan fisiknya
mampu mendulang sukses dan prestasi menguasai teknologi komputer dan internet (http://wismakreatif.blogspot.com). Siswa penyandang disabilitas asal NTT berhasil
meraih empat medali emas dalam ajang paragemes (olahraga bagi penyandang
disabilitas) di Myanmar (Victory News, Selasa-4 Februari 2014). Alesandro Aurel
Amadeo Nadeak pengidap down syndrome (kelainan
genetik yang terjadi pada kromosom 21) mampu berprestasi di dunia musik, bahkan
menjadi pengajar pada penderita disabilitas yang lebih usia (http://news.liputan6.com). cerita-cerita sukses tersebut hanya menjadi
dokumen kebanggaan negara namun belum terekspos secara masif yang dapat
diketahui masyarakat.
Intensif Komunitas Memaksimalkan Prestasi ABK
Ketika Francis Xavier pergi
sendirian ke berbagai benua untuk memberitakan Injil, Ia menemukan kekuatan
dalam kesadaran bahwa Ia adalah milik sebuah komunitas yang mendukung dia dalam
doa dan kasih persaudaraan. Dan banyak orang Kristen yang memperlihatkan
ketekunan dalam menjalankan tugas yang berat sendirian, menemukan kekuatan
mereka di dalam ikatan dengan komunitas yang didalamnya mereka melakukan
pekerjaan mereka (http://www.dci.org.uk/zipped/komunitas.pdf). Hillery (1995) menyatakan komunitas dapat
didekatkan melalui sekelompok orang, interaksi secara sosial diantara anggota
kelompok itu, dan berdasarkan adanya kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri
mereka atau diantara anggota kelompok yang lain, serta adanya wilayah-wilayah
individu yang terbuka untuk anggota kelompok yang lain.
Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski dalam tulisan Andhika Dutha Bachari (2011) melihat
komunitas sebagai segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas)
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, yang
turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian
komunitas (community) adalah
sekelompok masyarakat yang mempunyai persamaan nilai (values), perhatian (interest),
yang merupakan kelompok khusus dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan
norma dan nilai yang telah melembaga (Sumijatun dkk., 2006). Mubarak (2006)
mencontohkan komunitas-komunitas ini seperti kelompok ibu hamil, kelompok ibu
menyusui, kelompok anak balita, kelompok lansia, kelompok masyarakat dalam desa
binaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam kelompok masyarakat ada masyarakat
petani, masyarakat pekerja, masyarakat petani, masyarakat pedagang, masyarakat
pekerja, masyarakat terasing, dan sebagainya.
Perjuangan akan nilai dan
kepentingan harus melalui wadah organisasi. Namun selama ini, khusus ABK tidak
pernah terakomodir dalam sebuah wadah perjuangan yang masksimal karena lebih
banyak campur tangan pemerintah. Seharusnya pemerintah mampu memediasi dan
memfasilitator pembentukan komunitas-komunitas ABK untuk melanjutkan
perjuangan-perjuangan dan potensi-potensi yang dimiliki ABK. Berbicara ABK yang
lebih memahami adalah ABK bukan orangnon ABK. Kebijakan yang pro akan ABK harus
diperjuangkan sendiri oleh ABK tidak bisa maksimal oleh pemerintah.
Komunitas akan sangat mendukung
kerja-kerja dan potensi ABK dalam normalisasi dan adaptasi ABK terhadap
lingkungan sosial maupun multi sektor. Meskipun peran orang tua dan pemerintah
sangat mampu dan berkontribusi terhadap pemberdayaan ABK namun masih diperlukan
pembenahan-pembenahan dibeberapa potensi harus dimaksimalkan. Apa yang
dibutuhkan oleh ABK, hanya ABK yang mengetahui kebutuhan dan perilaku mereka. Oleh karena itu, Pemerintah
harus memberikan kesempatan pada ABK untuk memaksimalkan potensi ABK sebagai
kaum terdiskriminasi yang mencari jati diri.
Penutup
Setiap orang memiliki potensi
dan bakat masing-masing termasuk ABK. Komunitas merupakan strategi untuk wadah
perjuangan aspirasi dan potensi. Keteraturan cara pandang dan bertindak akan
cepat terealisasi ketika tanggungjawab langsung diberikan pada kaum
termarginalisasi. Pemerintah harus mampu memediasi dan memfasilitasi kebutuhan
dan aktivitas ABK. Pemerintah juga harus sinkronisasi sosialisasi massif pada
masyarakat untuk mampu menerima ABK sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hentikan
dikriminasi disabilitas!