SELAMAT MEMBACA

Thursday, 26 March 2015

Genjatan Dalam Sindikasi Mafia Proyek Dinas PU Propinsi NTT



GENJATAN DALAM SINDIKASI MAFIA PROYEK DINAS PU PROPINSI NTT[1]
Oleh: Fellyanus HabaOra*
*Penulis: Tenaga Ahli DPR RI A:445 dan Mantan Dosen FKH Undana Kupang
(dapat juga diakses dalam http://www.timorexpress.com/opini/genjatan-dalam-sindikasi-mafia-proyek-dinas-pu-propinsi-ntt)

Tuntutan publik dalam upaya kesejahteraan publik melalui mekanisme good and clean governance merupakan esensi dari implikasi tujuan dan visi kebangsaan yang telah diatur dalam bingkai empat visi kebangsaan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga dalam tatalaksana bernegara, kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan demi kemakmuran rakyat. Ironi jika harapan untuk kemakmuran rakyat diperhadapkan pada kondisi absurt oleh mekanisme aparatur (baik pemerintah maupun lembaga perwakilan rakyat) yang inkonstitusional.
Perihal penjelasan di atas dalam mekanisme inkonstitusional merujuk pada headline berita tentang perseteruan APBD Jakarta antara Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Pimpinan DPRD DKI pro Haji Lulung. Perseteruan diantara keduanya berawal dari legalitas Ahok sebagai Gubernur Jakarta memangkas habis “proyeksi dana siluman” dalam APBD Jakarta yang disinyalir titipan proyek Haji Lulung sebagai Anggota DPRD Jakarta. Ahok tidak ingin agar pemerintahannya adalah pemerintahan yang korup. Sampai opini ini ditulis perseteruan tersebut masih menjadi perbincangan publik dan media.
Demikian juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur, indikasi dalam propestik penyalagunaan kepercayaan rakyat menguat seturut dengan temuan 14 paket proyek yang disinyalir sebagai “dana siluman” yang terlampir dalam program kegiatan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT. Dalam lansir berita: www.timorexpress.com (24 Maret 2015) dengan judul: “14 Proyek Siluman di Dinas PU NTT”, menulis Kepala Dinas PU NTT Andre Kore mempertanyakan 14 Paket proyek siluman yang tiba-tiba muncul tanpa esensi kebutuhan yang diusulkan SKPD. “terdapat dalam 14 item proyek siluman, dan proyek-proyek tersebut baru muncul setelah pembahasan di tingkat komisi, artinya 14 paket proyek tersebut muncul di Bandan Anggaran, bahkan mereka kemudian bersepakat untuk tidak lagi membuka ruang untuk membahas hal tersebut, ungkap Andre Kore seperti yang dilansir timorexpress.com. Tetapi juga dalam pemberitaan tersebut, Andre selaku Kepala Dinas berani membeberkan sejumlah proyek siluman yang dititipkan dalam APBD dalam satuan perangkat daerah kedinasan PU, kemudian Andre pun mau untuk menyetujui proyek tersebut dan memberikan jaminan bahwa akan terakomodir lagi dalam program kegiatan Dinas PU. “terkait dengan nasib 14 paket proyek tersebut, Andre tetap menjamin akan tetap diakomodir meski harus direncanakan lagi. Yah, termasuk 14 paket,” ungkap Andre.
Sindikasi ketidakkonsistenan Andre Kore mempersepsikan bahwa Andre sebagai Kepala Dinas setengah-setengah dalam upaya penciptaan good governance, artinya bahwa setiap program harus independen dari campur tangan proyek-proyek siluman. Ketidakkonsistenan Andre Kore juga mungkin disebabkan dari posisi tawar pemerintah daerah yang lemah terhadap DPRD ataupun dapat disinyalir adanya opini kong-kalikong antara pemangku kepentingan diantara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Pemerintah daerah cenderung lemah terhadap posisi tawar DPRD. DPRD sebagai lembaga aspirasi memiliki kewenangan dalam peran dan fungsi yang dapat dianggap superbody dibandingkan dengan bentuk sentralisasi dan desentralisasi fungsi negara lainnya. Keistimewaan DPRD tersebut dijamin dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3/UU 17/2014); dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014). Kedua Undang-Undang tersebut mengatur jelas tentang kewenangan istimewa DPRD yang terimplementasi dalam tiga tugas, yaitu: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Seharusnya, keistimewaan fungsi DPRD sebagai mandat aspirasi rakyat wajib dijalankan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Fungsi anggaran tersebut akan dihasilkan melalui kebijakan maupun peraturan hukum yang disebut “Peraturan Daerah (Perda)”. Perda harus berorientasi pada kepentingan publik. Satjipto Rahardjo (2009) menyatakan: “Peraturan Daerah dengan kajian apapun yang dibentuk oleh dua unsur penyelenggara pemerintah daerah sekaligus pemangku wewenang legislasi dapat dipastikan memiliki dampak terhadap masyarakat. Tujuan dari pembentukan hukum, berimplikasi pada diharapkannya suatu peraturan daerah dapat mencerminkan kebijakan yang prorakyat. Kedua lembaga tersebut diharapkan dapat berkerja sama dalam peranannya mewujudkan kebijakan pemerintahan yang tercemin dalam peraturan daerah yang pro rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sesungguhnya”.
Ditinjau dari Pasal 99 ayat (2) UU 23/2014 seperti yang dijelaskan Kaerwati, fungsi penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah. Implementasi pasal ini, DPRD sepatutnya aktif dan proaktif, bukan reaktif. DPRD sebagai legitimate usulan APBD yang diajukan Pemda. Untuk mendorong proseionalisme dan akuntabilitas penyusunan anggaran oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, maka perlu dicermati publik mengingat maknanya yang penting bagi kemakmuran rakyat, yaitu: (1). APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal (fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi); (2). APBD sebagai fungsi investasi daerah; (3). APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah (fungsi perencanaan, fungsi otorisasi, dan fungsi pengawasan).
Kaerwati dalam artikel ilmiah menjelaskan bahwa, dalam konteks good governance, peran serta DPRD harus diwujudkan dalam tiap proses penyusunan APBD dengan menjunjung fiduciary duty. Kondisi demikian akan semakin cermat apabila diwujudkan dalam kecermatan penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA), penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Rancangan Peraturan APBD Provinsi, dan sosialisasi APBD.
Penyusunan KUA harus berdasarkan efektivitas dalam pembentukan jaring asmara (aspirasi masyarakat); eliminasi kepentingan individu, kelompok, dan golongan; pembenahan penyusunan RPJMD dan Renstra-SKPD; peningkatan kapasitas pemerintah daerah dal DPRD dalam merumuskan KUA. Kemudian, penyusunan PPAS harus memperhatikan akuntabilitas terhadap nilai anggaran; kelengkapan data-data pendukung; peningkatan kapasitas anggota DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menyusun prioritas urusan dan program; dan kesesuaian antara prioritas program dengan kebutuhan rakyat.
Oleh karena itu, seharusnya antara Pemerintah Provinsi dan DPRD wajib mendorong pencapaian good governance, yaitu: (1). Eliminasi budaya KKN. Dalam memaksimalkan pemberantasan KKN dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak. Tidak hanya itu saja, perwujudannya harus komprehensif, mulai dari preventif (mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan faktor-faktor penyebab atau peluang korupsi), detektif (mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi), dan represif (menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku). (2). Reformasi birokrasi/administrasi public, upaya ini dapat dilakukan melalui efficiency and effectiveness penggunaan sumberdaya, kemitraan terhadap sektor atau penyedia pelayanan, desentralisasi, dan penggunaan teknologi informasi. (3). Penyusunan peraturan perundang-undangan yang berdampak pada efektivitas dalam hal implementasinya. (4). Kejelasan fungsi dan peran setiap instansi pemerintah dalam kaitannya antara instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan legislatif, antara instansi pemerintah dengan masyarakat (publik), dengannya akan menghindari terjadinya tumpang tindih peran yang dilaksanakan. (5). Peningkatan kapasitas dan kapabilitas serta akuntabilitas, tentunya harus diikuti dengan evaluasi kerja. (6). Transpran dalam pengambilan keputusan serta mampu menerapkkan nilai budaya kerja dalam praktek penyelenggara negara. (7). Sesuai code of conduct bagi pejabat publik.
Pemberitaan media tentang adanya 14 paket proyek siluman wajib dipertanyakan oleh anggota DPRD sebagai perpanjangan tangan rakyat. Tetapi penting juga diketahui bahwa disinyalir bahwa proyek siluman tersebut bukan miliki pejabat pemerintahan daerah tetapi kuat dugaan milik oknum-oknum yang ada di DPRD Propinsi. Informasi ini berdasarkan pemberitaan bahwa Kadis PU mempertanyakan 14 paket proyek yang tidak direncanakan dalam program di Dinas PU tetapi tiba-tiba muncul dalam item anggaran. Meskipun saling lempar tanggungjawab antara DPRD dan Pemerintah, yang pasti publik menganggap telah ada dugaan mafia proyek yang terjadi di program pemprov NTT.
Tujuh syarat untuk menciptakan pemerintahan yang bersih seharusnya jangan dikotorkan oleh oknum DPRD atau pejabat publik daerah. Berkaca dari tokoh Ahok Gubernur DKI Jakarta seharusnya menjadi spirit bagi pemerintahan daerah untuk mendorong adanya clean governance di daerah. Demikian juga, DPRD harus member contoh kepada publik bahwa kepercayaan mandat aspirasi yang ada di DPRD terjaga dengan baik.
Gubernur NTT harus berani mengambil sikap terhadap bawahannya (Kepala Dinas PU NTT) atas ketidakkonsistenan bawahannya yang telah berani menyatakan ada 14 item proyek siluman di Dinas PU NTT namun dalam pertemuan bersama anggota DPRD menyetujui agar 14 item proyek siluman tersebut masuk dalam cluster anggaran APBD tanpa ada pembahasan yang intens terhadap item proyek tersebut. Demikian juga, Kadis PU NTT dan DPRD harus berani mempublikasikan oknum-oknum DPRD yang bermain mata anggaran program di Badan Anggaran sehingga dapat menjadi informasi publik. Jika adanya relasi yang professional dan akuntabel diantara Pemerintah Daerah-Legislatif-Masyarakat maka dengan sendirinya akan tercipta good governance and clean governance di bumi Flobamora.
Kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang mampu melakukan efisiensi anggaran dan memangkas adanya proyek siluman di Pemda DKI merupakan contoh nyata bagi kepemimpinan yang pro rakyat dan pro pemerintahan yang baik. Meskipun DPRD memiliki kewenangan yang istimewa tidak menjadi sandungan demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik. Sindikasi proyek siluman di Dinas PU Provinsi NTT jangan dijadikan genjatan (penundaan) tetapi harus menjadi awal dari reformasi birokrasi saat ini.


[1] Artikel ini telah dipublikasi oleh Surat Kabar Harian Timor Express-Rabu, 25 Maret 2015, hal.4

TRANSLATE: