GENJATAN DALAM
SINDIKASI MAFIA PROYEK DINAS PU PROPINSI NTT[1]
Oleh: Fellyanus
HabaOra*
*Penulis:
Tenaga Ahli DPR RI A:445 dan Mantan Dosen FKH Undana Kupang
(dapat juga diakses dalam http://www.timorexpress.com/opini/genjatan-dalam-sindikasi-mafia-proyek-dinas-pu-propinsi-ntt)
Tuntutan publik dalam upaya
kesejahteraan publik melalui mekanisme good
and clean governance merupakan esensi dari implikasi tujuan dan visi
kebangsaan yang telah diatur dalam bingkai empat visi kebangsaan yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pancasila, Bhineka
Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga dalam
tatalaksana bernegara, kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan demi
kemakmuran rakyat. Ironi jika harapan
untuk kemakmuran rakyat diperhadapkan pada kondisi absurt oleh mekanisme
aparatur (baik pemerintah maupun lembaga perwakilan rakyat) yang inkonstitusional.
Perihal penjelasan di atas dalam
mekanisme inkonstitusional merujuk
pada headline berita tentang
perseteruan APBD Jakarta antara Gubernur Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Pimpinan DPRD DKI pro Haji
Lulung. Perseteruan diantara keduanya berawal dari legalitas Ahok sebagai Gubernur Jakarta memangkas
habis “proyeksi dana siluman” dalam APBD Jakarta yang disinyalir titipan proyek
Haji Lulung sebagai Anggota DPRD Jakarta. Ahok
tidak ingin agar pemerintahannya adalah pemerintahan yang korup. Sampai opini
ini ditulis perseteruan tersebut masih menjadi perbincangan publik dan media.
Demikian juga di Provinsi Nusa Tenggara
Timur, indikasi dalam propestik penyalagunaan kepercayaan rakyat menguat
seturut dengan temuan 14 paket proyek yang disinyalir sebagai “dana siluman”
yang terlampir dalam program kegiatan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT. Dalam
lansir berita: www.timorexpress.com
(24 Maret 2015) dengan judul: “14 Proyek Siluman di Dinas PU NTT”, menulis
Kepala Dinas PU NTT Andre Kore mempertanyakan 14 Paket proyek siluman yang
tiba-tiba muncul tanpa esensi kebutuhan yang diusulkan SKPD. “terdapat dalam 14
item proyek siluman, dan proyek-proyek tersebut baru muncul setelah pembahasan
di tingkat komisi, artinya 14 paket proyek tersebut muncul di Bandan Anggaran,
bahkan mereka kemudian bersepakat untuk tidak lagi membuka ruang untuk membahas
hal tersebut, ungkap Andre Kore seperti yang dilansir timorexpress.com. Tetapi
juga dalam pemberitaan tersebut, Andre selaku Kepala Dinas berani membeberkan
sejumlah proyek siluman yang dititipkan dalam APBD dalam satuan perangkat
daerah kedinasan PU, kemudian Andre pun mau untuk menyetujui proyek tersebut
dan memberikan jaminan bahwa akan terakomodir lagi dalam program kegiatan Dinas
PU. “terkait dengan nasib 14 paket proyek
tersebut, Andre tetap menjamin akan tetap diakomodir meski harus direncanakan
lagi. Yah, termasuk 14 paket,” ungkap Andre.
Sindikasi ketidakkonsistenan Andre Kore
mempersepsikan bahwa Andre sebagai Kepala Dinas setengah-setengah dalam upaya
penciptaan good governance, artinya
bahwa setiap program harus independen dari campur tangan proyek-proyek siluman.
Ketidakkonsistenan Andre Kore juga mungkin disebabkan dari posisi tawar
pemerintah daerah yang lemah terhadap DPRD ataupun dapat disinyalir adanya
opini kong-kalikong antara pemangku
kepentingan diantara Pemerintah Daerah dan DPRD.
Pemerintah daerah cenderung lemah
terhadap posisi tawar DPRD. DPRD sebagai lembaga aspirasi memiliki kewenangan
dalam peran dan fungsi yang dapat dianggap superbody
dibandingkan dengan bentuk sentralisasi dan desentralisasi fungsi negara
lainnya. Keistimewaan DPRD tersebut dijamin dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3/UU 17/2014); dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014).
Kedua Undang-Undang tersebut mengatur jelas tentang kewenangan istimewa DPRD
yang terimplementasi dalam tiga tugas, yaitu: legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Seharusnya, keistimewaan fungsi DPRD sebagai mandat aspirasi rakyat
wajib dijalankan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Fungsi anggaran
tersebut akan dihasilkan melalui kebijakan maupun peraturan hukum yang disebut
“Peraturan Daerah (Perda)”. Perda harus berorientasi pada kepentingan publik.
Satjipto Rahardjo (2009) menyatakan: “Peraturan Daerah dengan kajian apapun
yang dibentuk oleh dua unsur penyelenggara pemerintah daerah sekaligus pemangku
wewenang legislasi dapat dipastikan memiliki dampak terhadap masyarakat. Tujuan
dari pembentukan hukum, berimplikasi pada diharapkannya suatu peraturan daerah dapat
mencerminkan kebijakan yang prorakyat. Kedua lembaga tersebut diharapkan dapat
berkerja sama dalam peranannya mewujudkan kebijakan pemerintahan yang tercemin
dalam peraturan daerah yang pro rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang
sesungguhnya”.
Ditinjau dari Pasal 99 ayat (2) UU
23/2014 seperti yang dijelaskan Kaerwati, fungsi penganggaran merupakan
penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama
pemerintah daerah. Implementasi pasal ini, DPRD sepatutnya aktif dan proaktif, bukan
reaktif. DPRD sebagai legitimate
usulan APBD yang diajukan Pemda. Untuk mendorong proseionalisme dan
akuntabilitas penyusunan anggaran oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, maka perlu
dicermati publik mengingat maknanya yang penting bagi kemakmuran rakyat, yaitu:
(1). APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal (fungsi alokasi, fungsi distribusi,
dan fungsi stabilisasi); (2). APBD sebagai fungsi investasi daerah; (3). APBD
sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah (fungsi perencanaan, fungsi
otorisasi, dan fungsi pengawasan).
Kaerwati dalam artikel ilmiah
menjelaskan bahwa, dalam konteks good
governance, peran serta DPRD harus diwujudkan dalam tiap proses penyusunan
APBD dengan menjunjung fiduciary duty.
Kondisi demikian akan semakin cermat apabila diwujudkan dalam kecermatan
penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA), penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS), Rancangan Peraturan APBD Provinsi, dan sosialisasi APBD.
Penyusunan KUA harus berdasarkan
efektivitas dalam pembentukan jaring asmara (aspirasi masyarakat); eliminasi
kepentingan individu, kelompok, dan golongan; pembenahan penyusunan RPJMD dan
Renstra-SKPD; peningkatan kapasitas pemerintah daerah dal DPRD dalam merumuskan
KUA. Kemudian, penyusunan PPAS harus memperhatikan akuntabilitas terhadap nilai
anggaran; kelengkapan data-data pendukung; peningkatan kapasitas anggota DPRD
dan Pemerintah Daerah dalam menyusun prioritas urusan dan program; dan
kesesuaian antara prioritas program dengan kebutuhan rakyat.
Oleh karena itu, seharusnya antara Pemerintah
Provinsi dan DPRD wajib mendorong pencapaian good governance, yaitu: (1). Eliminasi budaya KKN. Dalam
memaksimalkan pemberantasan KKN dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak.
Tidak hanya itu saja, perwujudannya harus komprehensif, mulai dari preventif (mencegah terjadinya korupsi
dengan cara menghilangkan faktor-faktor penyebab atau peluang korupsi), detektif (mengidentifikasi terjadinya
perbuatan korupsi), dan represif
(menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku). (2). Reformasi birokrasi/administrasi public, upaya ini dapat
dilakukan melalui efficiency and
effectiveness penggunaan sumberdaya, kemitraan terhadap sektor atau
penyedia pelayanan, desentralisasi, dan penggunaan teknologi informasi. (3). Penyusunan
peraturan perundang-undangan yang berdampak pada efektivitas dalam hal
implementasinya. (4). Kejelasan fungsi dan peran setiap instansi pemerintah
dalam kaitannya antara instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan
legislatif, antara instansi pemerintah dengan masyarakat (publik), dengannya
akan menghindari terjadinya tumpang tindih peran yang dilaksanakan. (5).
Peningkatan kapasitas dan kapabilitas serta akuntabilitas, tentunya harus
diikuti dengan evaluasi kerja. (6). Transpran dalam pengambilan keputusan serta
mampu menerapkkan nilai budaya kerja dalam praktek penyelenggara negara. (7).
Sesuai code of conduct bagi pejabat
publik.
Pemberitaan media tentang adanya 14
paket proyek siluman wajib dipertanyakan oleh anggota DPRD sebagai perpanjangan
tangan rakyat. Tetapi penting juga diketahui bahwa disinyalir bahwa proyek
siluman tersebut bukan miliki pejabat pemerintahan daerah tetapi kuat dugaan
milik oknum-oknum yang ada di DPRD Propinsi. Informasi ini berdasarkan pemberitaan
bahwa Kadis PU mempertanyakan 14 paket proyek yang tidak direncanakan dalam
program di Dinas PU tetapi tiba-tiba muncul dalam item anggaran. Meskipun
saling lempar tanggungjawab antara DPRD dan Pemerintah, yang pasti publik
menganggap telah ada dugaan mafia proyek yang terjadi di program pemprov NTT.
Tujuh syarat untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih seharusnya jangan dikotorkan oleh oknum DPRD atau
pejabat publik daerah. Berkaca dari tokoh Ahok
Gubernur DKI Jakarta seharusnya menjadi spirit bagi pemerintahan daerah
untuk mendorong adanya clean governance di
daerah. Demikian juga, DPRD harus member contoh kepada publik bahwa kepercayaan
mandat aspirasi yang ada di DPRD terjaga dengan baik.
Gubernur NTT harus berani mengambil
sikap terhadap bawahannya (Kepala Dinas PU NTT) atas ketidakkonsistenan
bawahannya yang telah berani menyatakan ada 14 item proyek siluman di Dinas PU
NTT namun dalam pertemuan bersama anggota DPRD menyetujui agar 14 item proyek
siluman tersebut masuk dalam cluster anggaran
APBD tanpa ada pembahasan yang intens terhadap item proyek tersebut. Demikian
juga, Kadis PU NTT dan DPRD harus berani mempublikasikan oknum-oknum DPRD yang
bermain mata anggaran program di Badan Anggaran sehingga dapat menjadi
informasi publik. Jika adanya relasi yang professional dan akuntabel diantara
Pemerintah Daerah-Legislatif-Masyarakat maka dengan sendirinya akan tercipta good governance and clean governance di
bumi Flobamora.
Kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur DKI
Jakarta yang mampu melakukan efisiensi anggaran dan memangkas adanya proyek
siluman di Pemda DKI merupakan contoh nyata bagi kepemimpinan yang pro rakyat
dan pro pemerintahan yang baik. Meskipun DPRD memiliki kewenangan yang istimewa
tidak menjadi sandungan demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik. Sindikasi
proyek siluman di Dinas PU Provinsi NTT jangan dijadikan genjatan (penundaan) tetapi harus menjadi awal dari reformasi
birokrasi saat ini.