SELAMAT MEMBACA

Friday, 19 July 2013

POLITIK



JANGAN PILIH POLITISI BUSUK
Oleh. Ian Haba Ora

Politisi Busuk
Menjelang Pemilu 2014, masyarakat perlu hati-hati dalam memilih politisi untuk dititipkan aspirasi. Pasalnya, banyak politisi yang tidak mengapresiasi keterwakilannya dengan kinerja dan komitmen. Menjadi wakil rakyat harus amanah dan jauh dari image politisi busuk. Ray Rangkuti (2012) mencirikan image politisi busuk dari empat kriteria, yaitu: pertama adalah mereka yang pernah terlibat dengan beberapa kasus amoral seperti tindak pencurian dan perzinahan. Kedua, mereka yang mengandalkan uang jelang pemungutan suara untuk mengeruk suara terbanyak. Ciri ketiga adalah mereka yang terlibat tindak pidana korupsi. Dan ciri keempat adalah mereka yang tidak menghormati hak asasi manusia (HAM).

Mencitrakan seorang menjadi politisi busuk tidak sebatas opini saja namun dari pada itu wajib memiliki data yang sahih dan valid, variabel jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Pelabelan itupun bukan garansi bebas masalah, apalagi mengkampanyekannya, rawan digugat dengan delik penfitnahan dan pencemaran nama baik. Jika data dan variabel yang digunakan keliru, konsekuensinya adalah hukum.

Indonesia Coruption Watch (ICW) dalam agenda pemberantasan korupsi menempatkan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai propinsi terkorup nomor dua setelah propinsi Jawa Timur (2012). Sekarang, ketika ICW merilis 36 anggota DPR RI yang diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, lima orang diantaranya merupakan legislator asal NTT, yaitu legislator Golkar (Setya Novanto, Charles Mesang, Melkias Mekeng), PDIP (Herman Herry), dan Gerindra (Pius Lustrilanang).

Ironis, tahun 2012 sebagai propinsi terkorup dan tahun 2013 pada keterlibatan aktor. Publik bertanya, apakah kelima legislator tersebut dapat dikategorikan sebagai politisi busuk? Tidak bermaksud untuk memvonis, namun variabel-variabel yang ditentukan dalam pelabelan oleh ICW memiliki perspektif ilmiah.

Gerakan Anti Politisi Busuk
Gerakan memberantas politisi busuk atau bermasalah cenderung masih terkonsentrasi di kalangan penggiat gerakan masyarakat sipil. Hingga kini gerakan tersebut belum meluas pada masyarakat. Grass root people cenderung belum memahami gerakan ini. Aktualitas ini nampak dari masih dipercayanya oleh rakyat untuk memilih legislator-legislator bermasalah periode 2009. Kesadaran dan kecerdasan politik masyarakat sepenuhnya belum optimal.

Perlu revolusi dan restorasi untuk membuat gerakan anti politisi busuk. Aktivis Perempuan, Moniche Saubaki menuturkan Gerakan Anti Politisi Busuk (GAPB) akan berhasil di tanah air, seperti yang pernah dilakukan di Negara Korea dan Negara Jepang dalam melawan politisi yang korupsi. Kehadiran GAPB tersebut sangat positif disosialisasikan kepada masyarakat di NTT karena momentum itu bersamaan dengan menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 nanti. NTT harus diberitahu perihal kehadiran politisi busuk itu sebelum menentukan wakil yang akan duduk baik di DPR, DPRD, maupun DPD. Tentunya penilaian GAPB tersebut ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat dari hasil investigasi, hingga rakyat dalam mengikuti pemilu nantinya akan mengetahui siapa saja politisi busuk tersebut (2013).

Tetapi penting daripada itu, strategi memanggil publik untuk melakukan evaluasi dan membuka kenyataan kualitas legislator, serta memvonis lebih awal agar masyarakat bisa memilih yang tepat. Pencitraan dan pelabelan politisi yang diragukan komitmennya menjadi strategi dasar dalam merebut opini publik.

Politik Pencitraan
Pencitraan kualitas. Opini publik dipengaruhi pencitraan yang dijelmahkan dalam akumulasi pendekatan-pendekatan politik. Politic approach dapat dilakukan dengan cara Suku, Agama, dan Ras selain money politic. Seringkali masyarakat terjebak dalam metafora politik yang manipulatif. Rakyat jenuh dengan gagalnya pemerintah, kemiskinan terstruktur, dan tranparansi otonomi. Akumulasi tersebut menggagalkan pencerdasan politik rakyat.

Pencitraan politik kini dan nanti sebatas slogan. Kemandirian warga menentukan pilihannya tidak lagi dipengaruhi spirit reform, namun berdasar pada distorsi kepercayaan. Kemunduran kepercayaan untuk perubahan sebuah daerah, dan pesimis akan adanya politik yang demokratis. Pandangan moderat ini menjadi darah daging di rakyat, tampak dari tingginya angka golput maupun masih terpilihnya para politisi-politisi busuk dan bermasalah.

Ruang publik yang diberikan negara pada KPU untuk mensosialisasikan daftar caleg sementara (DCS) tidak menjadi jaminan partisipasi publik memberi masukan dan saran sebagai apresiasi demokrasi namun cenderung pada tahapan prosedural pemilu. Nyata, terindikasi beberapa caleg dalam DCS yang terduga korupsi masih tetap diakomodir partai dan KPU mengikuti pemilihan legislatif.

Partai sebagai wadah keterwakilan publik belum memiliki peran dan fungsi nyata. Bagaimana mungkin partai berperan fungsi jika struktur organisasi dikuasai para politisi busuk. Absurtisme pertanyaan masa lampau dalam dunia yang baru, pertanyaan yang sama dalam setiap momen politik, namun belum terjawab hingga sekarang.

Seyogyanya, reformasi dan desentralisasi kekuasaan kepada rakyat membuka ruang publik untuk terlibat dalam menentukan aktor-aktor legislator yang amanah. Namun kurangnya sosialisasi pendidikan politik membuat masyarakat apatis akan hak-hak politik mereka. Gerakan sipil dalam pengawasan aktor politik belum sepenuhnya terserap hingga arus bawah (rakyat). Perlu diketahui, kualitas aktor/figur tidak dipengaruhi oleh latar belakang partai namun lebih ditekankan pada komitmen subjektif untuk tidak terlibat sebagai politisi busuk. Meskipun terkadang secara sistem dipengaruhi oleh komunalisasi politisi partai, namun jika pengawasan konstituen/rakyat yang ketat dengan pendidikan politik yang baik maka akan meminimalisir terbentuknya politisi busuk.

Ir. Sarah Lery Mboeik, aktivis HAM dan Anti Korupsi NTT pernah mengatakan “biarpun kita kecil, kalau bersama kenapa takut???” korupsi telah merenggut harkat dan martabat bangsa ini, bangsa yang dulu besar, kini dikenal sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia. Penderitaan datang silih berganti karena para koruptor masih bebas beraksi seenaknya, tanpa punya rasa malu, apalagi hati nurani. Tak ada kata berhenti untuk sebuah perjuangan, tak ada kata diam untuk sebuah kebenaran, tak ada kata takut untuk sebuah keadilan, karena kebenaran dan keadilan harus ditegakkan. Cukup sudah! Saatnya kita bergerak, Gerakan Anti Politisi Busuk. (Tulisan ini dipublikasi oleh Harian Kota KURSOR Senin, 29 Juli 2013, halaman 7 dan 11).


Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Thursday, 11 July 2013

PENDIDIKAN DAN PELAYANAN PUBLIK



PENGAWASAN PELAYANAN PUBLIK PENDIDIKAN
Oleh: Ian Haba Ora

Esensi Pendidikan
Pendidikan memanusiakan manusia menjadi mandiri, kreatif, inovatif, dan profesional. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai suatu proses pemberdayaan untuk tumbuh kembang kemandirian manusia. Romo Mangun memandang manusia sebagai makluk kreatif yang dianugerahi kebebasan agar dapat menentukan dirinya sendiri. Untuk mengekplorasi kemampuan maka diperlukan kebebasan yang menjamin interaksi didik mendidik.  Paulo Freire memandang proses memanusiakan manusia  lewat interaksi harus dalam suasana kemerdekaan dan kebebasan (Aminuddin Bakry, 2010).

Dengan demikian, pendidikan tidak lepas dari kekuasaan yang memberikan kebebasan untuk berekspresi, mengeksplorasi potensi dasarnya dan berinteraksi sesama manusia sehingga jatidirinya sebagai manusia dewasa dan sempurna dapat terwujud. Apabila diinginkan suatu masyarakat  demokrasi maka hal utama yang dilakukan adalah mendemokratisasikan pendidikan. Bukan berarti pendidikan untuk mencekoki peserta didik dengan ilmu pengetahuan tetapi ilmu pengetahuan itu dimiliki karena pengalaman peserta didik dalam suasana kebebasan dan kemerdekaan (Tilaar dan Nugroho, 2008).

Aminuddin Bakry (2010) menuturkan pentingnya pendidikan untuk pembentukan manusia dalam ilmu pengetahuan merupakan kebijakan publik. Dikatakan kebijakan publik didasarkan: 1) kebijakan pendidikan berkaitan dengan upaya pemberdayaan peserta didik karena pendidikan merupakan ilmu praksis maka kebijakan pendidikan merupakan proses interaksi pemanusiaan dalam lingkungan alam dan sosial tertentu. Derivasinya terletak seberapa besar sumbangan kebijakan bagi proses pemerdekaan individu dan pengembangan individu kreatif  dalam transformasi masyarakat dan budayanya. 2) kebijakan pendidikan lahir dari ilmu praksis pendidikan sehingga kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan, walaupun model kebijakan mempunyai kelemahan, namun dengan kombinasi berbagai model dapat dihasilkan kebijakan yang layak. 3) pendidikan milik masyarakat (publik) maka suara rakyat dalam partisipasi publik perlu didengar dan diakomodasi.

Esensi Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik).

Pertanggungjawaban pelayanan publik ada pada pemerintahan (Moenir, 1998). Thoha (1995:4) menegaskan bahwa tugas pelayan lebih menekankan pada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik, sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasaan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.

Hal ini sesuai yang diungkapkan Moenir (1998: 41) bahwa “hak atas pelayan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan yaitu pemerintah. “Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat”.  Menurut Thoha (1995;4) bahwa tugas pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasaan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.

Hakikat Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintahan masih banyak dijumpai kekurangan sehingga jika dilihat dari kualitas masih jauh dari harapan masyarakat. Pengeluhan-pengeluhan pelayanan publik mudah dijumpai dimedia massa, aksi-aksi demonstrasi, hasil-hasil penelitian, dan diskusi-diskusi tematik.           Jika tidak direspon pemerintah maka akan menimbulkan citra kurang baik terhadap pemerintahan. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai tujuan negara (Men PAN, 2004 dan Mulyadi dkk, 2012). Tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peranan pelayanan akan dapat dirasakan begitu besar dan menentukan manakala dalam kegiatan usaha organisasi dapat berkompetisi dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik sehingga menimbulkan kepuasan dikalangan masyarakat yang memerlukan pelayanan (Mulyadi dkk, 2012). Lebih lanjut diuraikan bahwa persepsi atau tanggapan yang baik dari masyarakat merupakan kunci keberhasilan bagi suatu organisasi dalam memberdayakan masyarakat terutama masyarakat miskin dan tertimpa musibah untuk mendapatkan penghidupan pendidikan yang layak dan bermartabat. Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem pelayanan dan komunikasi yang baik antara penyelenggara pendidikan dengan masyarakat agar masyarakat dapat merasakan kepuasan dari pelayanan yang diberikan. Kondisi ini dikarenakan pendidikan merupakan salah satu pelayanan publik dasar yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk memenuhi dan menyediakan, sehingga memungkinkan bagi setiap anak usia sekolah mendapatkan pendidikan yang berkualitas (Darius Beda Daton, 2013)

Pengawasan dan Pelayanan Publik
Seindah dan semuluk apapun ide kebijakan dan program serta perencanaan digariskan akan menjadi just on paper (hanya di kertas) jika tidak terlaksana dalam praktek karena lemahnya pengendalian dan pengawasan (M. Solly Lubis, 2007). Esensi pelayanan publik adalah adanya partisipasi masyarakat. Pentingnya partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat juga bentuk penghargaan dan pengakuan terhadap eksistensi individu dan masyarakat sebagai “pemegang kekuasaan” atas pembangunan (Wignyo Adiyoso, 2009). Selain esensi otonomi daerah yang melibatkan pemerintah dan rakyat, juga didasari pada prinsip keterwakilan aspirasi melalui parlementer demokrasi, dimana peran legislator menjalankan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan. Kesesuaian antara pemerintah, masyarakat, dan legislatif termasuk yudikatif akan menghasilkan proses penyelenggaraan pelayanan publik khususnya pendidikan yang transparan dan akuntabel menuju pencapaian profesionalitas.

Afrizal Zaini (2011) menjelaskan fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Tujuan utama dari pengawasan yakni menjamin agar pemerintah menjalankan kegiatan sesuai rencana pembangunan; menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyelewengan yang ditemukan; membutuhkan motivasi, perbaikan, pengurangan, dan peniadaan penyimpangan-penyimpangan dibirokrasi itu sendiri; meyakinkan bahwa kinerja pemerintah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; dan menekan angka korupsi.

Namun demikian, praktik good public governance pada fungsi pengawasan saat ini masih membutuhkan beberapa improvement agar dapat mencapai tujuan tersebut. Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara lain dengan melakukan beberapa hal, yaitu memaknai cara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga dapat menjadi mekanisme check and balance yang efektif; optimalisasi pengawasan agar dapat memberikan kontribusi yang diharapkan pada pengelolaan pemerintah;  merumuskan standar, sistem dan prosedur baku pengawasan yang telah ditetapkan; dan membuat mekanisme yang efisien untuk partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan, dan saluran penyampaian informasi masyarakat dapat berfungsi efektif sebagai salah satu alat pengawasan.

Saat ini ujian nasional telah berakhir dan akan dimulai dengan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB), banyak sekali masalah yang kerap terjadi, misalkan pada PPDB pada sekolah negeri dimana menbludaknya pendaftar, pungutan dalam bentuk uang atau barang, masuk lewat pintu belakang hingga pungutan untuk seragam dan SPP selama satu semester sekaligus sehingga memberatkan siswa (Release pers, Ombudsman Perwakilan NTT-NTB 2013). Namun jika fungsi pengawasan diperketat baik pemerintah (sistem pengawasan melekat), DPRD (fungsi control legislatif), dan masyarakat (civil society) akan tercipta pelayanan publik yang on the track karena menerapkan sistem pengawasan berlapis (multi-layered oversight system). Dengan demikian, dapat menimalisir kemungkinan terjadinya permasalahan-permasalahan tersebut di atas. (Tulisan ini dipublikasi oleh HARIAN KOTA KURSOR, 11 Juli 2013)


Penulis: Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Wednesday, 10 July 2013

TNI DAN PELANGGARAN HAM

Labirin; For My Friends Charles Mali
Oleh. Ian Haba Ora
           
Bicara soal Tentara Nasional Indonesia (TNI), mungkin tak terlupakan akan kekerasan (abuse of power) ABRI sewaktu era Orde Baru. Era itu, hampir semua lini/sektor pembangunan baik politik, ekonomi, pertahahan dan keamanan, sosial dan sektor riil lainnya, dimonopoli oleh kekuatan yang namanya dwi fungsi ABRI. Dari dulu hingga sekarang, kekerasan menjadi justifikasi oleh anggota TNI dan berlindung dibalik tegarnya benteng pengadilan militer sebagai sarana impunity for protected is abuse of power.

Kini, ketika TNI mulai menata diri dengan konsep reformasi secara keinstitusian, wajib menanggalkan falsafah/paradigma “dwifungsi ABRI” menjadi TNI yang mengurusi penugasan “defense” (back to barracks). Dengan demikian, domain TNI hanya pada penugasan pertahanan (Laut, Udara dan Darat) terikat secara spasial penugasan nir military (TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004). Dimaksudkan, menata diri dalam vitalisasi “Reformasi TNI”. Mufti Makaarim (IDSPS, 2009), menjelaskan setelah pergolakan 1999 (runtuhnya rezim orde baru), secara normatif, gerakan ini berhasil mendorong TNI melakukan perubahan paradigma, peran fungsi dan tugasnya. Pemerintah pun ‘mewujudkan’ upaya penghapusan hak-hak istimewa TNI selama Orde Baru melalui beberapa kebijakan dan peraturan yang meliputi pengaturan tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR No VI/2000), pengaturan peran TNI dan Polri (Tap MPR No. VII/2000), UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian, kemanjaan TNI (Baca: ABRI) sebagai penentu legislasi, penyelenggara eksekutif dan wasit di Yudikatif di era Soeharto harus ter-destruktifkan/ditanggalkan dan wajib.

Selain reformasi secara perundang-undangan (istrumen hukum), TNI juga melakukan perubahan dalam struktur keorganisasian diantaranya: melikuidasi staf komunikasi sosial pada tahun 2005 (Skep Panglima TNI No. 21/VI/2005); netralitas TNI dalam Pemilu dan penghapusan bisnis militer. Selain itu, TNI juga dituntut agar lebih concern sesuai TUPOKSI TNI Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 ayat (1) bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Ini sesuai dengan fungsi TNI sebagai defense military (Tap MPR No. VI/2000 Pasal 2 ayat (1) dan Tap MPR No. VII/2000 Pasal 2). Dengan demikian, segala urusan keamanan dalam negeri (kamtibmas, lalulintas, kriminalitas, dll) selain pertahanan menjadi domain Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002).

Namun, cita-cita pionir reformasi dalam tatakelola demokrasi, terbantahkan dan tereliminasi. Cita-cita reformasi TNI secara gradual seiring dengan massifnya kampanye reformasi sektor keamanan (security sector reforms) dengan tindakan brutal dan bejat diluar sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia, law enforcement (dapat dikategorikan: ekstra judicial killing) terkangkangi. Tewasnya Charles Mali (24), warga Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua yang disinyalir dilakukan oleh 19 ‘penjahat’ oknum berseragam loreng di Mako Yonif 744/SYB, Kabupaten Belu. “Penjahat” pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) itu, menganiaya Korban (Baca: Charles) pada wajah hingga robek dan lebam hitam; tidak pada wajah saja melainkan disekujur tubuh seperti dada, perut dan bagian belakang; lebih biadabnya lagi, aksi ini diwarnai layaknya melukis tubuh orang dengan sulutan api rokok (pengembangan, TIMEX-Senin, 14 Maret 2011).

Kejam dan kejam, barbar, penjahat, apapun istilahnya, tak akan mampu menyamai semantisme pengistilahan ketidakperikemanusiaan ini. Pelanggaran HAM pun tak dapat di sangkalkan lantaran ‘pembunuhan’ ini dilakukan di institusi negara (Mako Yonif 744/SYB) dan unsur otoritas negara (anggota TNI). Pelanggaran HAM dalam UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (6); terjadi jika setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang ini, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pengertian ini seturut dengan Moniche Saubaki dalam wawancara disuatu kesempatan bersama penulis; menurutnya, konteks pelanggaran HAM dapat terjadi dalam 2 (dua) hal, yakni : pertama, Pelanggaran HAM bisa terjadi bila seorang aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung (by commission) melanggar HAM seseorang (menangkap sewenang-wenang, membubarkan rapat, membubarkan organisasi, menyiksa, atau membunuh); kedua, Pelanggaran HAM juga terjadi bila aparat negara dengan segala kewenangannya membiarkan terjadinya serangan terhadap HAM seseorang (by ommission). Contohnya si A membunuh si B. Kemudian negara membiarkan si A sehingga A bisa bebas dan tidak dihukum.

Secara kasuistik, meskipun secara kronologis aksi ini berawal dari aksi pemalakan oleh Charles cs pada salah seorang anggota TNI, secara institusi (TNI) tidak memiliki wewenang untuk menangkap dan memeriksa pelaku karena aksi ini adalah murni pidana biasa dan tak ada hubungannya dengan persoalan state disintegration, sehingga merupakan domain dari pihak kepolisian. Apalagi menjadikan orang tua pelaku (baca; Charles) sebagai jaminan dan harus menjalani wajib lapor di Mako Yonif selama enam hari tanpa makan minum (TIMEX, 15/3/2011) adalah diluar ambang instrumen hukum TNI. Ini tidak berbeda jauh ketika di era Orde Baru, ABRI (TNI) memain determinasi tugas Kepolisian. Parahnya lagi, Yonif 744/SYB di Atambua melakukan tugas kepolisian sebagai penyidik untuk ditetapkan tersangka bagi para pelaku dengan aksi kekerasan dan penyiksaan hingga salah seorang (Charles) meregang nyawa. ALANGKAH NAIFnya oknum TNI ini sehingga tidak menginternalisasi TUPOKSI sesuai amanah aturan perundang-undangan.

Abuse of power para aktor TNI di Atambua dalam mengkangkangi dan mendistorsi perintah UU, ternyata dirasakan juga oleh masyarakat di lima Kecamatan di Kabupaten Belu yakni Kecamatan Tastim, Lasiolat, Raihat, Lamaknen dan Lamaknen Selatan. Ini terjadi, dimana setiap warga yang melewati Pos Provost di Gerbang Masuk Mako Yonif yang menghubungkan lima kecamatan tersebut selalu diperiksa hingga menimbulkan ketidakamanan pengguna jalur tersebut, (Andreas Bere Asa. Timex, 15/3/2011).

Walaupun telah ada pengakuan dan komitmen Danden POM Kupang, Mayor (CPM) Putu Wiguna Brata pada Wartawan selaku representatif public, berjanji akan menyelidiki kasus ini hingga tuntas, sesuai aturan yang berlaku. Jika terbukti, pihaknya tidak main-main untuk menyeret ke Pengadilan Militer. Tapi, janji ini masih disangsikan lantaran komitmen ini sebatas wacana yang transedental. Bagaimana mungkin, secara epistemologi dan empirisme, intrumen hukum dan koridor the rule of law, kronologis (tempus and locus delicti), otoritas dan destruktif arogansi memvisualisasi adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia masih diwacanakan ...akan...dan jika terbukti....

Cermatan lain yang perlu di ketahui publik adalah…Pengadilan Militer terdiri dari hakim-hakim berlatar belakang militer, dan mungkin saja dapat disinyalir adanya impunitas dan e spirit de corps. Impunitas dimaksudkan pelaku pelanggaran HAM mendapat perlakuan istimewa dan kebal akan hukum, bersembunyi dibalik topeng pengadilan militer, memanipulatif dan mendistorsi kasus menjadi pengkodifikasi pelanggaran disiplin aparat. Sedangkan e spirit de corps dipahami sebagai usaha membela korps dan keanggotaan dengan prinsip “tabu membuka aib institusi”.

Kesangsian sipil akan adanya imparsialitas dan pengadilan yang fair (fair of trial) dalam penegakan hukum semakin sumir dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM (bukan pelanggaran HAM berat versi UU No. 26/2000) yang tak terselesaikan bahkan ada yang divonis bebas dalam sidang pengadilan militer (kasus MUNIR, SEMANGGI I & II, TRISAKTI, DLL), menjustifikasi tidak adanya rasa keadilan bagi warga sipil. Kasus tewasnya Munir misalnya, seorang aktivis menyindir divonis bebasnya Mucdi PR seorang ahli Badan Intelijen Negara (BIN) yang diduga terlibat dalam pembunuhan aktivis HAM Munir “Pemerintah harusnya menindak pelaku bukan sebaliknya memberikan penghargaan kepada pembunuh. Maksud saya harusnya pelaku kejahatan harus dihukum, kalau dia malah dinaikkan pangkat dari Kopral naik terus, begitu juga nanti (menjadi) Jenderal. Artinya mereka diberi penghargaan karena mereka pembunuh kehormatan. Besok-besok aparat negara membunuh (lagi) karena dihargai dengan kenaikan pangkat (Galuh Wandita, “Akuntabilitas Kejahatan HAM Masa Lalu: Impunitas versus Keadilan Transisi,” Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia; Terbitan IDSPS, HRWG, DCAF dan Komnas HAM; Tahun 2009. hal. 17).
           
Kekecewaan dan kesangsian keluarga dari makluk tak bernafas (Charles Mali) akan adanya penegakan hukum yang adil, jauh dari impunitas dan e spirit de corps negara melalui DenPOM AD maupun pengadilan militer, cukup mengkonfigurasi dan mempresentatifkan public other, “ada yang salah di internal TNI dalam mencita-citakan reformasi TNI”. TNI yang menghargai nilai-nilai HAM (respect to human rights), …not abuse of power (tidak menyalahgunakan kekuasaan), paham aturan dan kode etik, dan jauh dari pelanggaran HAM. Selain itu, pengadilan yang bersih dan adil dalam imparsialitas penegakan hukum kini menjadi momentum holistik reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI meskipun itu bersifat gradual.

Kasus tewasnya Charles Mali hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kasus penyalagunaan kekuasaan aparatur negara dalam hal ini TNI. Diibaratkan fenomena gunung es, tampak mengerucut di permukaan namun semakin melebar yang tak kelihatan. Tapi, kasus ini dapat dijadikan sebagai ajang pembuktian reformasi TNI tidak saja menjadi wacana nasional namun telah merambah menjadi komitmen intitusi TNI itu sendiri. TNI dari Rakyat wajib memberikan Keadilan bagi Rakyat.

Belum genap dua tahun kasus Atambua, kini dihebohkan lagi dengan tewasnya 4 orang lelaki di dalam sel tahanan Lapas Cebongan yang hingga kini penyelesaiannya masih di Oditurat Militer. Apakah negara akan berdiam? Kita tunggu saja!!! Keempat orang yang tewas ditangan Anggota Kopasus Kandang Menjangan tersebut adalah Hendrik Benyamin Angel Sahetapi alias Diki Ambon, 31 tahun; Adrianus Candra Galaja alais Dedi, 33 tahun; Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun; Yohanes Juan Manbait alias Juan, 38 tahun.

Labelisasi preman tidak dapat menjadi kepastian dan pembenaran tindakan namun lebih daripada itu adalah asas hukum menjadi spirit penegakan hukum berdasar prinsip dan kesatuan NKRI.

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: