SELAMAT MEMBACA

Friday, 30 August 2013

SURAT PEMBACA BUAT DIRLANTAS POLDA NTT



Ketamakan Polisi Lalu Lintas
Oleh. Ian Haba Ora

Implementasi UU 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan (LLAJ) belum ditaati dan diketahui secara baik dan benar. Bukti pemberitaan media, masih banyak warga yang terjaring gelar tertib kendaraan oleh Satlantas Polri. Kecelakaan lalu lintas menjadi indikator lain kelalaian berkendara di atas jalan raya. Sebaik apapun konsideran hukum, tanpa didorong perilaku baik, maka aturan tersebut hanya tulisan indah di atas kertas. Jangan berharap tertib berkendaraan jika korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mengakar dan subur pada pemilik kewenangan yang dimandatkan yaitu polisi.

Setiap saat, baik pagi hingga subuh, saya sering temui tertib kendaraan oleh Satlantas Polri. Tidak mengenal capek dan lelah, apalagi libur, melakukan tindak pelanggaran (tilang). Bahkan cenderung mengada-adakan kesalahan pengguna kendaraan bermotor. Alhasil, “ratusan kendaraan terjaring”, tapi realita menunjukkan tertib kendaraan oleh Satlantas Polri terkesan bisnis. Apresiasi konotatif yang diancungi jempol. Parah!!! Jadi diharapkan DIRLANTAS POLDA NTT harus menyadari kemungkinan KETAMAKAN Satlantas Polri yang sering terjadi, khususnya di Satlantas Polres-Polres.

Rahasia umum “jika reposisi perwira di lingkungan Polri (Kapolda, Kapolres/Kapolresta) maupun hajatan institusi, biaya dan nota kegiatan dibayar oleh Satlantas”. Bisnis tilang damai pun digencarkan dimana-mana. Lorong, gang, setapak, dan tempat-tempat umum menjadi area operasi, meskipun hujan, badai, dan puting beliung, tidak mampu menghambat bisnis ini. Reformasi Polri gagal!

Tiga agenda reformasi Polri yaitu: instrumen, birokrasi, dan budaya dilakukan setengah hati. Perilaku absurt dan manipulatif kewenangan institusi membisniskan ‘tilang damai’ mengkonfigurasi identitas polri yang tamak.

Oleh karena itu, pengendara perlu berhati-hati agar tidak terjebak. Caranya, memahami aturan tertib berlalu lintas, dengan sendirinya pengendara terlibat aktif dalam memberantas polisi tamak. Kita aman berkendara, Polisi tidak bisa melakukan tilang damai, secara perlahan-lahan kehidupan lalulintas kita dapat tertib, aman dan tentram. Jika semuanya dilakukan maka tidak adalagi yang munafik diantara warga dan Polisi!!

Demikian surat pembaca ini dibuat, atas perhatian Surat Kabar “KURSOR” yang bersedia mempublikasikan, diucapkan terima kasih! (SURAT PEMBACA INI DIPUBLIKASI HARIAN KOTA “KURSOR”, 27 AGUSTUS 2013)

(Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT)

Thursday, 29 August 2013

POLISI YANG GAGAL



POLDA NTT IMPOTEN
Oleh. Ian Haba Ora

Pengantar
Kata sahabatku Herlina Umbu Deta, semakin orang/lembaga dikritisi maka semakin memberikan perubahan maupun progress report untuk tidak lagi dikritisi. Tapi, saya mulai berpikir, apakah perkataan itu masih menjadi mantra untuk saat ini dengan dinamika hukum yang mampu dibeli dan diintervensi secara manipulatif.

Alasan saya mendasar ketika suatu modus hukum dikritisi maka tidak akan jauh dari terali besi penjara atas dasar pencemaran nama baik seseorang ataupun institusi. Prita Mulyasari ketika mengkritisi Rumah Sakit ternama karena diskriminasi pelayanan kesehatan harus mendekam di sel. Sarah Lery Mboeik ketika mengkritisi penegakan HAM di NTT harus dianggap musuh dan komunis oleh Letkol Arif Rahman ketika masih menjabat Danrem Kupang. Romo Frans Amanue harus dicap sebagai pastor yang tidak berbobot karena mengadvokasi ketimpangan hukum kaum miskin di Flores. Dumul Djami harus ditendang dari kabinet Pemkot Kupang dan hampir dipolisikan karena mengkritisi kebijakan subjektif yang tidak propoor mantan Sekda Kota Kupang Jonas Salean. Begitupun penulis pernah di polisikan karena sering mendemo kebijakan pemkot kupang saat menjadi mahasiswa. Tetapi bersyukur, nama populis yang disebutkan tidak sampai mendekam di bui penjara karena masih dilindungi kemurahan Tuhan dan dibela rakyat.

Negara dan Rakyat
Rakyat tidak dapat dipisahkan dari pengertian negara karena salah satu unsur adanya sebuah negara adalah rakyat selain kedaulatan, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan defakto negara lain. Dengan demikian, rakyat menyerahkan sepenuhnya kepada negara untuk menjalankan kewajiban secara perundang-undangan demi terciptanya kepuasan hukum dan kesejateraan bagi rakyat itu sendiri.

Tetapi kini batas antara kewajiban negara dalam perlindungan rakyat sangat tipis dibandingkan dengan kemampuan (vitalitas) negara dalam melindungi rakyatnya. dr. Boyke dalam sebuah acara televisi menuturkan ketidakmampuan dalam memuaskan hasrat klimaks reproduksi disebut impotensi. Jika diilustrasikan pada ketidakmampuan vitalitas lembaga terhadap kepuasan rakyat maka dapat juga disebut impoten.

Berbagai pemberitaan di NTT yang hampir dikritisi setiap hari dalam headline media massa adalah kinerja penegakan hukum di Nusa Tenggara Timur. Kinerja penegakan hukum selalu dipertanyakan oleh berbagai kalangan baik korban maupun pemerhati hukum terhadap progress report sebuah kasus. Lembaga yang paling banyak dikritisi adalah Polda NTT. Telah berganti pimpinan setiap periode, namun tetap saja tidak mampu (impoten) memberikan kepastian penegakan hukum di Flobamora.

Impotensi Polda NTT
Sarah Lery Mboeik Anggota DPD RI setiap kali reses selalu membuat merah telinga Kapolda NTT karena selalu menjudge ketidakmampuan Polda untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum, terlebih-lebih jika kasus hukum melibatkan anggota Polri maupun aktor hukum lain (TNI, Jaksa, Hakim dan konglomerat).

Beberapa kasus yang menjadi dasar kritikan impotensi kinerja di Polda NTT adalah kasus terbunuhnya Paulus Usnaat dalam Sel Mapolsek Nunpene-TTU tanggal 2 Juni 2008 yang diduga terencana secara sistemik melibatkan penguasa wilayah dan anggota Polri harus berulang tahun hampir satu dekade. Mutilasi pada seorang perempuan yang dibuang pada bak sampah Fontein awal tahun 2011 diduga melibatkan seorang aktor keamanan hingga kini belum ada kemajuan hukumnya, hanya menjadi wacana proses hukum yang semu. Terakhir adalah tewasnya Bripka Obaja Nakmofa yang diduga terbunuh oleh rekan sesama polisi Robson belum sepenuhnya memberikan nilai keadilan pada keluarga korban. Ironisnya, terduga pelaku tidak terhukum atas kasus pembunuhan tetapi terjerat atas kasus penggelapan motor curian. Pertanyaannya, korban yang adalah anggota Polri tidak mampu diselesaikan secara hukum oleh lembaga yang menaunginya, apalagi kasus hukum yang korbannya kaum miskin dan marginal? Jawabnya adalah jauh panggang dari api.

Kapolda NTT Brigjen Pol Untung Yoga Ana pernah mengatakan pada sebuah temu antara Kompolnas dan Aktivis serta Pengamat Hukum di ruang rapat utama Mapolda NTT, “bahwa Polri ini telah baik kerjanya, tapi banyak juga masyarakat yang tidak puas, itu karena mereka tidak tahu apa yang kita kerjakan”. Subjektivitas Kapolda ini sebenarnya menunjukkan ‘espirit de corps’ perlindungan korps yang dapat memberikan keleluasan penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota Polri.

Kritik itu baik.
Sebuah buku tulisan Widodo Umar (2009) yang saya baca ada tertulis, “jangan berhenti mengkritik polisi” menjadi inspirasi tulisan ini. Semakin dikritik sebenarnya kita menjadi pionir dalam memperbaiki kinerja hukum makin profesional dan akuntabel di Indonesia.

Maksud dari polisi profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi pelayanan terbaik; otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggaan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian, bertanggungjawab atas monopoli keahlian dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian, yaitu: 1) Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2) Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3) Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.

Mengharapkan profesioanal dan akuntabel dari kepolisian tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa didukung pengawasan dari eksternal organisasi, yaitu masyarakat. Ciri khas pendekatan pengawasan rakyat era reformasi dan demokrasi adalah kritik. Kritik tanpa memberikan solusi adalah tidak membangun, dan kritik tanpa resolusi adalah sebuah absurtisme.

Solusi dan Resolusi
Morat maritnya penegakan hukum menjadi pertanda kemunduran esensi hukum itu sendiri. Secara gradual, reformasi Polri tidak segampang membalikkan telapak tangan layaknya berjabat tangan. Tetapi, kontrol publik akan menjadi penyemangat dalam mensikronkan reformasi untuk dilakukan secara bertahap, teratur, dan berkesinambungan.

Untuk itu, beberapa hal yang dapat ditawarkan adalah:
1.    Setiap pergantian pucuk pimpinan di setiap teritori dan otoritas lingkup Polri harus ditandatangani pernyataan target penyelesaian sebuah kasus sistemik yang terdekam tanpa ada kemajuan penanganan kasus. Kompolnas harus memberi warning kasus prioritas penyelesaian untuk  dievaluasi progres report setiap semester maupun setiap tahun, dan kasus-kasus tersebut harus dipublikasi melalui media setiap dievaluasi. Solusi ini pasti dianggap sebagai retorika oleh Polri, tetapi kenyataan selama ini, institusi Polri belum memiliki grand desighn yang jelas dan populis setiap pergantian pucuk pimpinan di Polda NTT.

2.    Membentuk tim pencari fakta independent dengan menggandeng LSM seperti PIAR NTT, Pengacara, dan praktisi hukum. Laporan TPF harus dibarengi dengan pelatihan khusus oleh Polri dalam mencari fakta dan data sekaligus memberikan perlindungan kepastian hukum pada TPF jauh dari intervensi pihak Polri. Ataupun, memintah bantuan Kontras Jakarta dan LSM lain yang capable dan integrity menyelidik kasus-kasus tertentu yang sulit dipecahkan Polri. Solusi ini pasti akan dibantah habis-habisan oleh Polri karena ketiadaan anggaran dan ketakutan dianggap tidak mampu, tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa TPF bentukan LSM lebih mampu dibandingkan penyelidikan Polri. Misalkan TPF Munir mampu membongkar aktor belakang layar pembunuhan aktivis Munir, namun eksekusi hukumnya saja yang tumpul pada penegakan hukum untuk memberi keadilan pada korban.

3.    Kapolda NTT perlu memikirkan pemberantasan mafia hukum dalam internal institusi karena dari pengamatan publik sebenarnya Kapolda NTT banyak tertipu dari bawahannya. Kapolda selalu dianggap tidak mampu memimpin oleh publik tetapi sebenarnya dengan otoritas yang dimiliki Kapolda mampu secara prerogratif untuk memaksa dan meminta pertanggungjawaban kinerja bawahan, jika dari evaluasi tidak memberikan kemajuan maka direkomendasikan untuk di non job kan dari jabatan. Misalkan kasus-kasus korupsi, bawahan lebih menjadikan tersangka sebagai tempat pemerasan “katanya permintaan Kapolda” tetapi sesungguhnya itu adalah akal busuknya bawahan. Kasian Kapolda dikritisi karena ketidakjujuran dan ketidakbecusan bawahan.

Mengkritisi Polri bukan merupakan ketidaksenangan masyarakat akan institusi tetapi lebih dominasi kekecewaan hasil hukum yang diterima korban dan pengamat hukum akan kemunduran reformasi Polri. Kritikan publik harus dianggap sebagai penyamangat reformasi Polri, tidak harus dijadikan sebagai ancaman. Demikian tulisan ini dibuat sebagai wujud pemerhati Polri. Bravo POLRI. {Tulisan ini dipublikasi oleh Timor Exprees pada 27 Agustus 2013}

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT


Friday, 23 August 2013

REFORMASI TNI DAN ODITUR MILITER

Refleksi HUT RI Ke-68 dan ABSURTISME ODITURAT MILITER
Oleh. Ian Haba Ora

Perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 tidak saja dikomandai oleh ABRI saja, namun semua elemen masyarakat bahu-membahu mewujudkan pembebasan negeri dari penjajah. Ketika NKRI dinyatakan merdeka, ABRI menjadi sentral kekuasan monopoli dan arogansi hampir disetiap sektor, kekerasan pun menjadi ciri utama menekan rakyat. Ketika tahun 1999 terjadi reformasi, ABRI mereposisi menjadi TNI agar jelas tugas dan fungsi sebagai institusi pertahanan negara.

Hasil penelitian Kontras (2009:19) dibukukan “Ketika Moncong Senjata Ikut Bicara”, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota militer tidak pernah diakui sebagai kegiatan ‘institusional’, atau seandainya diakui selalu disebut sebagai tingkah laku “oknum militer”. Awalnya militer membelah diri dengan menolak mengakui perbuatan tersebut. Belakangan ketika bukti-bukti yang disampaikan publik sulit untuk dibantah, militer berkelit dengan menyatakan bahwa operasi tersebut merupakan inisiatif pribadi prajurit-prajurit, bukan kehendak institusi.

Kekerasan dan impunitas hukum mengakar di institusi TNI. Dulu sampai sekarang, kekerasan menjadi justifikasi anggota TNI dan berlindung dibalik tegar benteng pengadilan militer sebagai sarana impunity for protected is abuse of power.

Ketika TNI mulai menata diri dengan konsep reformasi secara keinstitusian, wajib menanggalkan falsafah/paradigma “dwifungsi ABRI” menjadi TNI “defense” (back to barracks) sehingga domain TNI pada penugasan pertahanan (Laut, Udara dan Darat) dan nir military (TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004). Kemanjaan TNI (Baca: ABRI) sebagai penentu legislasi, penyelenggara eksekutif dan wasit di Yudikatif di era Soeharto harus ter-destruktifkan/ditanggalkan.

Reformasi perundang-undangan (istrumen hukum), TNI melakukan perubahan dalam struktur keorganisasian diantaranya: melikuidasi staf komunikasi sosial pada tahun 2005 (Skep Panglima TNI No. 21/VI/2005); netralitas TNI dalam Pemilu dan penghapusan bisnis militer. Selain itu, TNI dituntut concern sesuai TUPOKSI TNI Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 ayat (1) bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara (Tap MPR No. VI/2000 Pasal 2 ayat (1) dan Tap MPR No. VII/2000 Pasal 2).

Cita-cita reformasi dalam tatakelola demokrasi, terbantahkan dan tereliminasi. Tindakan brutal dan bejat (ekstra judicial killing) diluar sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia masih saja terjadi. Tewasnya Charles Mali (24 tahun), warga Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua yang disinyalir dilakukan oleh 19 ‘penjahat’ oknum berseragam loreng di Mako Yonif 744/SYB (TIMEX-Senin, 14 Maret 2011) menjadi salah satu contoh di NTT.

TNI Rawan Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM (UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (6)) terjadi jika setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang ini, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Moniche Saubaki (2013) menuturkan pelanggaran HAM terjadi dalam 2 (dua) hal, yakni: pertama, Pelanggaran HAM terjadi bila seorang aparat negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya secara langsung (by commission) melanggar HAM seseorang (menangkap sewenang-wenang, membubarkan rapat, membubarkan organisasi, menyiksa, atau membunuh); kedua, Pelanggaran HAM terjadi bila aparat negara dengan segala kewenangannya membiarkan terjadinya serangan terhadap HAM seseorang (by ommission). Contohnya si A membunuh si B. Kemudian negara membiarkan si A sehingga A bisa bebas dan tidak dihukum.

Mengharapkan kejujuran netralitas TNI di pengadilan militer sangat absurt. Hakim-hakim berlatar belakang militer dapat disinyalir lebih mengedepankan impunitas (espirit de corps). Pelaku pelanggaran HAM mendapat perlakuan istimewa dan kebal hukum, bersembunyi dibalik topeng pengadilan militer, manipulatif dan distorsi kasus menjadi kodifikasi pelanggaran disiplin aparat. Sedangkan espirit de corps sebagai usaha membela korps “tabu membuka aib institusi”.

Sipil menyangsikan adanya imparsialitas dan pengadilan yang fair (fair of trial) penegakan hukum semakin sumir terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, bahkan vonis bebas sidang pengadilan militer (kasus MUNIR, SEMANGGI I & II, TRISAKTI, DLL) menjustifikasi tidak ada rasa keadilan bagi warga sipil, seperti persidangan Munir, Galuh Wandita (aktivis HAM) menyindir vonis bebas Mucdi PR (Kepala Badan Intelijen Negara) terduga aktor intelektual pembunuh aktivis HAM Munir dalam buku Almanak HAM di Sektor Keamanan Indonesia (2009:17) bahwa Pemerintah harusnya menindak pelaku bukan sebaliknya memberikan penghargaan kepada pembunuh. Maksud saya (Baca:Galuh), harusnya pelaku kejahatan harus dihukum, kalau dia (terduga) malah dinaikkan pangkatnya, begitu juga nanti (menjadi) Jenderal. Artinya mereka diberi penghargaan karena mereka pembunuh kehormatan. Besok-besok aparat negara membunuh (lagi) karena dihargai dengan kenaikan pangkat.

Belum genap dua tahun kasus Atambua, kini dihebohkan lagi dengan tewasnya 4 orang lelaki di dalam sel tahanan Lapas Cebongan dibrondong peluru hingga kini penyelesaiannya masih di Oditurat Militer. Apakah negara akan berdiam? Kita tunggu saja!!! Keempat orang yang tewas ditangan Anggota Kopasus Kandang Menjangan tersebut adalah Hendrik Benyamin Angel Sahetapi alias Diki Ambon, 31 tahun; Adrianus Candra Galaja alais Dedi, 33 tahun; Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, 29 tahun; Yohanes Juan Manbait alias Juan, 38 tahun.

Refleksi HUT RI ke-68
Perayaan HUT RI ke-68 menjadi pintu masuk refleksi kebrutalan anggota TNI sebagai pelaku pelanggaran HAM. Pengadilan Militer (oditurat) belum maksimal memberikan rasa keadilan pada korban. Vonis bebas beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM menjadi catatan buruk penegakan hak asasi di negeri ini.

Indonesia telah memiliki UU Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000, namun absurtisme terminologi masih mendiskriminasi pelanggaran HAM itu sendiri. Pasal 4 (UU 26/2000) mensyaratkan pengadilan HAM hanya pada pelaku pelanggaran HAM berat (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sitemik). Sedangkan di Indonesia, dilakukan secara sistemik tetapi dianggap inisiatif pribadi (oknumisasi). Strategi konstruksi “oknumisasi” merupakan salah satu modus operandi ideologi dwifungsi ABRI. Dengan strategi ini, maka setiap kali ada kesalahan yang terjadi dilingkungan TNI, maka hal itu dinisbahkan kepada individu sang pelaku, dan diceraikan dari kemungkinan kekeliruan institusional maupun, apalagi, ideologis (M. Najib Azca dalam buku berjudul “Hegemoni Tentara”, terbitan Lkis, Yogyakarta, 1998).

Dengan demikian, salah satu strategi mutakhir dan refleksi penegakan HAM di Indonesia untuk memperingati HUT NKRI, maka negara harus merevisi UU 26/2000 khususnya pasal genosida dan kejahatan kemanusiaan karena masih multi tafsir dengan defenisi pelanggaran HAM berat. (Tulisan ini dipublikasi Harian Kota "KURSOR" Jumat, 23 Agustus 2013)

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT 

TRANSLATE: