SELAMAT MEMBACA

Friday, 6 September 2013

POLITISASI KEBIJAKAN PEMERINTAH



Problema Pembangunan SUTT di Kota Kupang
Oleh. Ian Haba Ora

NTT butuh pasokan listrik, maka perlu perluasan jaringan listrik melalui Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT). SUTT merupakan saluran tenaga listrik yang menggunakan kawat telanjang (bare conductor) di udara bertegangan di atas 35 kV sampai dengan 245 kV, sesuai dengan standar di bidang ketenagalistrikan (TL-KNLH, 2007:1).

Setiap bentangan kawat jaringan SUTT memerlukan “ruang bebas” yaitu ruang sekeliling penghantar yang dibentuk oleh jarak bebas minimum sepanjang jalur SUTT. Artinya, dalam ruang bebas tidak boleh ada satupun benda-benda seperti bangunan atau pohon lain di dalam ruang tersebut. Dengan adanya ruang bebas ini, pengaruh medan elektromagnetik terhadap lingkungan sekitar dapat dicegah. Penjelasan dalam UU No. 15/1985 tentang ketenagalistrikan dan Kepmen Tamben No. 975 K/47/MPE/1999 tentang Perubahan Permen Tamben No. 02.P/47/M.PE/1992 tentang Ruang Bebas SUTT dan SUTET, dan SNI 04.6918-2002 tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET serta SNI 04.6950-2003 tentang Nilai Ambang Batas Medan Listrik dan Medan Magnet SUTT dan SUTET. Gabungan antara medan listrik (V/m) dan medan magnet (Tesla atau Gauss) dinyatakan gelombang elektromagnetik. Semakin besar arus yang dialirkan, medan magnet dan medan listrik yang dihasilkan semakin besar.

Manfaat SUTT sangat besar. Tanpa SUTT pendistribusian listrik akan terhambat. Namun tidak dipungkiri, pembangunan SUTT pasti membawa dampak negatif, mulai prakonstruksi, kontruksi, operasional dan pasca operasional. Lahan sekitar SUTT akan memiliki keterbatasan dalam pemanfaatannya. Aturan Ruang Bebas membuat pemilik lahan tidak leluasa lagi memiliki pohon yang tinggi. Tinggi bangunan harus dibatasi. Jika masuk dalam wilayah ruang bebas, pohon harus dipangkas dan bangunan harus dibongkar. Pembatasan pemanfaatan lahan sekitar SUTT dapat mengurangi minat orang membeli tanah itu. Situs sejarah sekitar akan terganggu dan merusak pemandangan. Pada akhirnya masyarakat terkungkung dalam keterbatasan pemanfaatan lahan, bahkan menimbulkan sengketa di antara penduduk sendiri. Masyarakat yang menolak menjual tanahnya akan bersebrangan dengan yang menjual lahannya.

SUTT dengan kapasitas ≤150 kV sudah dapat diduga menimbulkan keresahan masyarakat karena penurunan nilai jual tanah, keresahan karena medan magnet dan medan listrik, serta dampak lain berkaitan aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Seharusnya dokumen UKL-UPL harus menyatakan dampak lingkungan yang terjadi mulai dari sumber dampak, jenis dampak, upaya pengelolaan lingkungan, dan upaya pemantauan lingkungan rencana kegiatan SUTT secara spesifik, lengkap, dan jelas sehingga kesalahpahaman suatu potensi dampak dapat dihindari dan derajat kepentingan dapat dinilai dengan benar (Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007:12-13).

Dampak Elektromagnetik dari SUTT
Setiap gelombang elektromagnetik pasti menimbulkan radiasi, sekecil apapun. Gangguan umum paling banyak diderita akibat radiasi elektromagnetik adalah electrical sensitivity, yaitu gangguan fisiologis dengan tanda dan gejala neurologis maupun kepekaan, berupa berbagai gejala dan keluhan. Ahli telekomunikasi membenarkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh alat-alat listrik dapat mengganggu kesehatan pengguna dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya (Swamardika, 2009:106).

Anies (2005) dan Swamardika (2009:107-109) mengkaji pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan manusia adalah timbul berbagai fenomena yang menyebabkan seseorang merasa tidak aman dan kurang nyaman, bahkan merasa cemas, pada hakikatnya tidak dalam kondisi sehat atau mengalami gangguan kesehatan.

Indikasi politik adu domba
Salah satu unsur terbentuknya negara adalah rakyat. Tetapi terkadang negara (baca: Pemerintah) cenderung mengdiskualifikasi elemen rakyat dalam setiap kebijakan. Pro-kontra pun muncul. Salah satu cara pemerintah menekan rakyat adalah politik adu domba. Indonesia tidak terlepas dari sejarah penjajahan Belanda melakukan politik adu domba “devide et empera” untuk memecah bela persatuan dan kesatuan rakyat. Selain itu, pendekatan represif (kekerasan) menjadi pendekatan aksi membungkam kedaulatan rakyat dalam berpendapat dan berkreasi.

Pemenuhan pasokan listrik NTT maka pemerintah membangun SUTT (tower 51) di pemukiman penduduk Fatukoa Kota Kupang. Warga sekitar menolak pembangunan SUTT, karena warga berpendapat belum sepenuhnya memahami potensi dampak yang ditimbulkan dari pembangunan SUTT. Penolakan warga dianggap pembangkangan kebijakan pemerintah.

Pemerintah mulai mengundang pakar bergelar Doktor dan Profesor untuk menjadi narasumber positif seminar bertema “SUTT untuk pemenuhan listrik bagi rakyat NTT”, tetapi dampak ikutan tidak menjadi konsideran SUTT. Padahal sesuai buku panduan terbitan Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2007:17) dampak pembangunan SUTT yang tidak dapat terduga adalah sekitar 20-30 tahun. Artinya, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan “bom waktu” bagi rakyatnya sendiri.

Penulis pernah membaca satu artikel media massa lokal NTT, tertulis bahwa dengan terhambatnya pembangunan SUTT di Fatukoa, maka masyarakat Kota Kupang akan mengalami kekurangan pasokan listrik dan akan terkendala dalam perluasan jaringan listrik khususnya sedaratan Timor Barat. Pandangan ini tidak dapat disalahkan, tetapi disisi lain dapat menimbulkan konflik adu domba antara warga Fatukoa dan warga wilayah lain sedaratan Timor. Demikian dengan upaya adu domba yang saat ini digencar Pemkot dalam pembangunan Bendungan Kolhua, Pemerintah mulai mencari para pakar untuk memberikan tanggapan ilmiah fiktif  mendukung program pemerintah. Dasar pemerintah, tidak bernurani, menghalalkan segala cara.

Pengakuan warga ketika mengadukan persoalan ke DPD RI, Sarah Lery Mboeik bahwa warga menyesal Walikota Jonas Salean dan DPRD Kota Kupang tidak konsisten dengan pernyataannya. Mengapa? Satu pihak Walikota dan DPRD menolak pembangunan SUTT di pemukiman warga, tapi dilain pihak tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan menerjunkan anggota “Satpol PP, Polri, dan TNI” yang terindikasi arogan terhadap warga.

Dampak phisyologis Warga Fatukoa.
Warga Fatukoa saat ini menjadi dilema, pro dan kontra. Pada akhirnya, warga dibingungkan dengan berbagai persoalan pembangunan SUTT. Konflik sedikit demi sedikit telah menjurus pada perpecahan komunal, antara yang mendukung dan menolak. Bahkan yang lebih parah adalah masyarakat tidak mengerti apa-apa tentang manfaat SUTT dan dampak ikutannya.

Misalkan pertemuan antara DPD RI dan warga Fatukoa, ada seorang berprofesi guru asal Sandlewood (dokumentasi testimoni) ketika memberikan pendapat terkesan tidak tahu apa-apa tentang SUTT “pokoknya tolak SUTT, apapun alasannya”. Pernyataan ini menjustifikasi bahwa warga sebenarnya bingung dengan manfaat dan dampak yang ditimbulkan SUTT itu sendiri.

Pemahaman melalui temu ilmiah dan sosialisasi harus terus diprogramkan pemerintah untuk memberikan sinkronisasi pandangan manfaat SUTT serta harus libatkan ahli yang jujur dan berintegritas (bukan konsultan bayaran) untuk memberikan pemahaman yang baik pada masyarakat. Pemerintah wajib menjamin integritas dan akuntabel dalam penyiapan dokumen AMDAL. Jangan membangun konflik holisontal dan vertikal. Apapun kebijakannya, masyarakat sangat membutuhkan listrik, tetapi tidak harus mengorbankan masyarakat sekitar. (Tulisan ini dipublikasi Harian Kota KURSOR, 6 September 2013).

Penulis. Ketua FPAR KOMUNITAS DAMPINGAN PIAR NTT

TRANSLATE: