Problema Pembangunan SUTT di Kota
Kupang
Oleh. Ian
Haba Ora
NTT butuh pasokan listrik, maka perlu
perluasan jaringan listrik melalui Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT). SUTT merupakan saluran tenaga listrik
yang menggunakan kawat telanjang (bare
conductor) di udara bertegangan di atas 35 kV sampai dengan 245 kV, sesuai
dengan standar di bidang ketenagalistrikan (TL-KNLH, 2007:1).
Setiap bentangan kawat jaringan SUTT
memerlukan “ruang bebas” yaitu ruang sekeliling penghantar yang dibentuk oleh
jarak bebas minimum sepanjang jalur SUTT. Artinya, dalam ruang bebas tidak
boleh ada satupun benda-benda seperti bangunan atau pohon lain di dalam ruang
tersebut. Dengan adanya ruang bebas ini, pengaruh medan elektromagnetik
terhadap lingkungan sekitar dapat dicegah. Penjelasan dalam UU No. 15/1985
tentang ketenagalistrikan dan Kepmen Tamben No. 975 K/47/MPE/1999 tentang
Perubahan Permen Tamben No. 02.P/47/M.PE/1992 tentang Ruang Bebas SUTT dan
SUTET, dan SNI 04.6918-2002 tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum SUTT
dan SUTET serta SNI 04.6950-2003 tentang Nilai Ambang Batas Medan Listrik dan
Medan Magnet SUTT dan SUTET. Gabungan antara medan listrik (V/m) dan medan
magnet (Tesla atau Gauss) dinyatakan gelombang elektromagnetik. Semakin besar
arus yang dialirkan, medan magnet dan medan listrik yang dihasilkan semakin
besar.
Manfaat SUTT sangat besar. Tanpa SUTT
pendistribusian listrik akan terhambat. Namun tidak dipungkiri, pembangunan
SUTT pasti membawa dampak negatif, mulai prakonstruksi, kontruksi, operasional
dan pasca operasional. Lahan sekitar SUTT akan memiliki keterbatasan dalam
pemanfaatannya. Aturan Ruang Bebas membuat pemilik lahan tidak leluasa lagi
memiliki pohon yang tinggi. Tinggi bangunan harus dibatasi. Jika masuk dalam
wilayah ruang bebas, pohon harus dipangkas dan bangunan harus dibongkar. Pembatasan
pemanfaatan lahan sekitar SUTT dapat mengurangi minat orang membeli tanah itu.
Situs sejarah sekitar akan terganggu dan merusak pemandangan. Pada akhirnya
masyarakat terkungkung dalam keterbatasan pemanfaatan lahan, bahkan menimbulkan
sengketa di antara penduduk sendiri. Masyarakat yang menolak menjual tanahnya
akan bersebrangan dengan yang menjual lahannya.
SUTT dengan kapasitas ≤150 kV sudah
dapat diduga menimbulkan keresahan masyarakat karena penurunan nilai jual
tanah, keresahan karena medan magnet dan medan listrik, serta dampak lain berkaitan
aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Seharusnya dokumen UKL-UPL harus menyatakan
dampak lingkungan yang terjadi mulai dari sumber dampak, jenis dampak, upaya
pengelolaan lingkungan, dan upaya pemantauan lingkungan rencana kegiatan SUTT
secara spesifik, lengkap, dan jelas sehingga kesalahpahaman suatu potensi
dampak dapat dihindari dan derajat kepentingan dapat dinilai dengan benar
(Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007:12-13).
Dampak Elektromagnetik dari SUTT
Setiap gelombang elektromagnetik pasti
menimbulkan radiasi, sekecil apapun. Gangguan umum paling banyak diderita akibat
radiasi elektromagnetik adalah electrical
sensitivity, yaitu gangguan fisiologis dengan tanda dan gejala neurologis
maupun kepekaan, berupa berbagai gejala dan keluhan. Ahli telekomunikasi
membenarkan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh alat-alat listrik
dapat mengganggu kesehatan pengguna dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya
(Swamardika, 2009:106).
Anies (2005) dan Swamardika (2009:107-109)
mengkaji pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap kesehatan manusia adalah
timbul berbagai fenomena yang menyebabkan seseorang merasa tidak aman dan
kurang nyaman, bahkan merasa cemas, pada hakikatnya tidak dalam kondisi sehat
atau mengalami gangguan kesehatan.
Indikasi politik adu domba
Salah satu unsur terbentuknya negara
adalah rakyat. Tetapi terkadang negara (baca: Pemerintah) cenderung mengdiskualifikasi
elemen rakyat dalam setiap kebijakan. Pro-kontra pun muncul. Salah satu cara
pemerintah menekan rakyat adalah politik adu domba. Indonesia tidak terlepas
dari sejarah penjajahan Belanda melakukan politik adu domba “devide et empera” untuk memecah bela
persatuan dan kesatuan rakyat. Selain itu, pendekatan represif (kekerasan)
menjadi pendekatan aksi membungkam kedaulatan rakyat dalam berpendapat dan berkreasi.
Pemenuhan pasokan listrik NTT maka
pemerintah membangun SUTT (tower 51) di pemukiman penduduk Fatukoa Kota Kupang.
Warga sekitar menolak pembangunan SUTT, karena warga berpendapat belum sepenuhnya
memahami potensi dampak yang ditimbulkan dari pembangunan SUTT. Penolakan warga
dianggap pembangkangan kebijakan pemerintah.
Pemerintah mulai mengundang pakar
bergelar Doktor dan Profesor untuk menjadi narasumber positif seminar bertema
“SUTT untuk pemenuhan listrik bagi rakyat NTT”, tetapi dampak ikutan tidak
menjadi konsideran SUTT. Padahal sesuai buku panduan terbitan Kementrian Negara
Lingkungan Hidup (2007:17) dampak pembangunan SUTT yang tidak dapat terduga
adalah sekitar 20-30 tahun. Artinya, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan
“bom waktu” bagi rakyatnya sendiri.
Penulis pernah membaca satu artikel
media massa lokal NTT, tertulis bahwa dengan terhambatnya pembangunan SUTT di
Fatukoa, maka masyarakat Kota Kupang akan mengalami kekurangan pasokan listrik
dan akan terkendala dalam perluasan jaringan listrik khususnya sedaratan Timor
Barat. Pandangan ini tidak dapat disalahkan, tetapi disisi lain dapat
menimbulkan konflik adu domba antara warga Fatukoa dan warga wilayah lain
sedaratan Timor. Demikian dengan upaya adu domba yang saat ini digencar Pemkot
dalam pembangunan Bendungan Kolhua, Pemerintah mulai mencari para pakar untuk
memberikan tanggapan ilmiah fiktif mendukung program pemerintah. Dasar
pemerintah, tidak bernurani, menghalalkan segala cara.
Pengakuan warga ketika mengadukan
persoalan ke DPD RI, Sarah Lery Mboeik bahwa warga menyesal Walikota Jonas
Salean dan DPRD Kota Kupang tidak konsisten dengan pernyataannya. Mengapa? Satu pihak Walikota dan DPRD
menolak pembangunan SUTT di pemukiman warga, tapi dilain pihak tidak mampu
berbuat apa-apa, bahkan menerjunkan anggota “Satpol PP, Polri, dan TNI” yang
terindikasi arogan terhadap warga.
Dampak phisyologis Warga Fatukoa.
Warga Fatukoa saat ini menjadi dilema,
pro dan kontra. Pada akhirnya, warga dibingungkan dengan berbagai persoalan
pembangunan SUTT. Konflik sedikit demi sedikit telah menjurus pada perpecahan
komunal, antara yang mendukung dan menolak. Bahkan yang lebih parah adalah
masyarakat tidak mengerti apa-apa tentang manfaat SUTT dan dampak ikutannya.
Misalkan pertemuan antara DPD RI dan
warga Fatukoa, ada seorang berprofesi guru asal Sandlewood (dokumentasi testimoni) ketika memberikan pendapat terkesan
tidak tahu apa-apa tentang SUTT “pokoknya tolak SUTT, apapun alasannya”.
Pernyataan ini menjustifikasi bahwa warga sebenarnya bingung dengan manfaat dan
dampak yang ditimbulkan SUTT itu sendiri.
Pemahaman melalui temu ilmiah dan
sosialisasi harus terus diprogramkan pemerintah untuk memberikan sinkronisasi
pandangan manfaat SUTT serta harus libatkan ahli yang jujur dan berintegritas (bukan
konsultan bayaran) untuk memberikan pemahaman yang baik pada masyarakat. Pemerintah
wajib menjamin integritas dan akuntabel dalam penyiapan dokumen AMDAL. Jangan membangun konflik holisontal dan
vertikal. Apapun kebijakannya, masyarakat sangat membutuhkan listrik, tetapi
tidak harus mengorbankan masyarakat sekitar. (Tulisan
ini dipublikasi Harian Kota KURSOR, 6 September 2013).
Penulis. Ketua FPAR KOMUNITAS
DAMPINGAN PIAR NTT