TENTARA HARUS DIBATASI PERANNYA
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR KOMUNITAS DAMPINGAN PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi SKH Timor Express pada Kamis, 7 Nopember 2013)
Pengantar
Indonesia secara kekinian meskipun
telah 15 tahun melaksanakan agenda reformasi kebangsaan namun belum sepenuhnya menunjukkan
progress report adanya pemahaman nilai-nilai luhur bangsa secara instrumen,
strukktur, dan culture terhadap eksistensi penghargaan nilai-nilai hak asasi
manusia. Represifitas dan arogansi negara cenderung tidak sepakat untuk diawasi
oleh rakyat sebagai kekuasaan kedaulatan namun dianggap sebagai sebuah ancaman.
Anggapan ancaman ini terlebih-lebih
dilakukan oleh institusi berlabel hijau yang kebakaran jenggot ketika banyak
instrumen demokrasi saat ini menjurus pada proses transparansi partisipatif
pemilik kedaulatan terhadap institusi negara. Dengan berbagai cara dan pola
yang mungkin tertanam akut diparadigma diduga membuat TNI berusaha untuk
menghalau era kebebasan demokrasi. TNI dianggap terusik singgasananya ketika
rakyat menuntut agar institusi TNI diaudit penggunaan anggaran, ketika rakyat
menuntut agar tupoksi TNI dalam operasi nir militer (operasi selain perang)
diperjelas deskripsi dan tafsirannya, dan terakhir adalah ketika pemilik
kedaulatan menuntut agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) direvisi
karena dianggap cacat nilai dalam memberi keadilan perspektif HAM dan mendorong
agar Mahkamah Militer berada pada pengawasan Sipil. Meskipun masih banyak
menimbulkan perdebatan namun TNI dianggap mulai merasa kekuasaan absolut yang
selama ini tidak terganggu mulai terongrong oleh era demokratisasi.
Kondisi ini dapat dianggap sebagai
kesialan nasib TNI (baca ABRI) yang selama kejayaan mulai era orde baru hingga
reformasi kini mulai melemah atas nilai-nilai dan prinsip hak asasi manusia
sebagai fondasi dasar nilai reformasi mulai menunjukkan kewibawaannya.
Seharusnya otoritas sipil harus dan wajib untuk menekan TNI agar lebih
profesional khusus untuk pertahanan negara bukan lagi terreinkarnasi tentara
politik dan tentara bisnis.
Anggapan TNI terhadap Dinamika Reformasi
Ketika
semangat reformasi untuk menuntut pola pikir negara akan demokratisasi dalam
perspektif HAM, TNI turut mengikuti tetapi dengan cara pandang yang dapat
dianggap salah. Respon terhadap reformasi, TNI membuat tafsir sendiri akan konsep
demokrasi dan peran yang mereka akan jalankan, termasuk peran politik dan
penegakan keamanan. Konsep TNI menyatakan bahwa peran mereka di masa depan
tetap tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan peran pertahanan keamanan negara
dan pembangunan kebangsaan. Dalam ’paradigma baru’nya, pandangan-pandangan
konservatif tersebut muncul dalam pernyataan-pernyataan seperti, ”...(s)ikap dan komitmen TNI sangat
jelas bahwa pilihan bentuk Negara Kesatuan sudah final, dan menolak bentuk
negara federasi karena dapat menjadikan disintegrasi bangsa. ...(m)emarjinalkan
TNI dengan back to barracks, berarti mengeliminasi hak politik anggota
TNI sebagai warga negara, sekaligus memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi
tumpuan kekuatan dan basis jati diri TNI.”
Tafsir tersebut kemudian dikembangkan dalam rumusan Peran Sosial
Politik TNI yang tidak selalu harus didepan, berubah dari menduduki menjadi
mempengaruhi, berubah dari mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung
dan bersedia melakukan political and role sharring dengan komponen
bangsa lainnya. Tidak aneh jika
kemudian agenda reformasi versi TNI dalam 15 tahun terakhir tidak lebih dari 5
isu yang notabene juga merupakan isu politik yang menguntungkan atau mengancam
otonomi politik TNI, yaitu soal hak pilih TNI, pengalihan bisnis militer,
Komando Teritorial, TNI dan Departemen Pertahanan, serta Peradilan Militer
(Mabes TNI “Paradigma Baru Peran TNI (Sebuah Upaya Sosialisasi)” Edisi
III Hasil revisi, Juni 1999, h. 2-7).
Selain
itu, seluruh elemen masyarakat tahu bahwa institusi TNI merupakan lembaga yang
paling tidak akuntabel apalagi sejauh ini belum ada pertanggungjawaban terkait
dengan berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa lalu seperti
pembunuhan, penculikan dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) lainnya,
oleh karena itu TNI tidak boleh diberi ruang yang terlalu besar dalam
ruang-ruang selain yang tertera pada Legislasi.
Strategi Membuat TNI Paham Tentang Demokrasi
Berbicara Hak Asasi Manusia di TNI
merupakan sesuatu hal yang kompleks dan rumit. Sipil akan berhadapan langsung
dengan militeristik yang masih terlihat angker. Untuk itu, membuat TNI dapat
menjadi bagian dari identitas reformasi maka hal utama yang harus dilakukan
adalah mengkritisi lewat media, dan membantu bermitra untuk mendorong agenda
reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI. Kekhawatiran sipil adalah
ketika bersebrangan paham dengan TNI maka dampaknya adalah distigmatisasi jika
tidak dianggap sebagai kriminalisasi. Maka dari itu, rakyat harus tetap kritis
agar TNI jangan lagi terkooptasi untuk mereinkarnasi institusi seperti jaman
orde baru. Jika sipil tidak terlibat maka kemungkinan yang terjadi adalah patronisasi
negara totaliter dan pastinya mengarah pada indikasi pelanggaran HAM.
Oleh karena itu mendorong reformasi TNI
adalah wajib, maka hal-hal yang perlu dilakukan seperti saran Ismail seorang
Peneliti Security sector reforms (2013:5) adalah delegitimasi kekuasaan rezim
Soeharto, artinya Sipil harus bekerja keras agar cara pandang TNI tidak
terpolarisasi dan terpatron pada jaman Soeharto yang cenderung memperlihatkan
kekerasan dan arogansi sebagai ciri khas ABRI. Tetap mengeliminasi TNI dari
kancah politik adalah strategi cerdas untuk menghilangkan peran TNI dalam
dwifungsi ABRI. Selain itu, publik harus memintah pertanggungjawaban hukum atas
‘kejahatan’ dimasa lalu sebagai wujud tanggungjawab negara akan dominasi
penculikan dan pembunuhan pejuang demokrasi sekaligus komitmen negara dalam
menanam esensi dari penegakan hak asasi manusia. Dan yang paling terpenting
adalah, sipil harus mampu dan berani untuk melakukan penguatan otoritas politik
sipil sehingga esensi demokrasi dapat berjalan sesuai normalisasi reformasi.
Pemenuhan Prinsip-Prinsip Reformasi
Terdapat beberapa hal yang perlu
dicermati oleh TNI dalam pemenuhan prinsip-prinsip reformasi, yaitu pertama TNI berkewajiban melaksanakan
peran, fungsi dan tugas pokoknya sebagaimana diatur undang-undang sehingga
semangat demokrasi dalam pembatasan peran TNI tetap konsisten sesuai dengan
regulasi TNI yang telah ditetapkan, yakni pada UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang
Pertahanan dan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Kedua, mengutip pendapat Makaarim (2010) bahwa konstitusi dan
undang-undang dengan tegas menggarisbawahi adanya supremasi otoritas politik
sipil atas institusi militer. Angkatan
bersenjata adalah pihak yang seharusnya loyal pada kepentingan negara (bukan
penguasa), bukan kekuatan yang independen atau netral dari kepentingan negara,
tidak membuat tafsir sendiri tentang kepentingan negara melainkan berdasarkan
perintah otoritas politik sipil tertinggi (presiden).
“Perang adalah hal yang terlalu
penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal,” kata Winston Churcill.
Profesionalisme militer bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan
negara yang dipimpin oleh otoritas demokratik. Militer didesain untuk membantu
mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk menjawab
pertanyaan, “Apakah lebih baik memerangi atau berdamai dengan sumber ancaman
tersebut ?” Politisi sipil-lah yang mengambil keputusan (dan dapat
mendengar masukan dari para jenderal) dan mempertanggungjawabkannya secara
konstitusional.
Penutup
Menjadikan TNI yang profesionalitas
tidak sebatas pada mereposisi TNI tidak berpolitik dan berbisnis tetapi lebih
daripada itu adalah mendorong TNI sesuai dengan harapan kebangsaan agar TNI
tetap merformasi diri menjadi institusi yang respek terhadap Hak Asasi Manusia dan
berusaha agar penegakan hukum pada perilaku bejat aktor TNI mendapat
penghukuman sesuai prinsip keadilan umum.
Diakui bahwa militer adalah kekuatan
strategis dalam negara demokratis namun dapat juga berbahaya secara politik,
sebagaimana juga polisi, lembaga penegak hukum dan partai politik. Karenanya
perlu diatur dalam undang-undang yang khusus (lex specialis). Samuel
Adams, salah seorang penandatangan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang
juga memiliki pengalaman militer menyatakan, “Bahkan ketika ada kebutuhan
akan kekuatan militer di seluruh penjuru negeri sekalipun, masyarakat yang
bijaksana dan hati-hati akan selalu memasang mata yang seksama dan berjaga-jaga
terhadap hal tersebut.” Para pendiri Amerika serikat menyadari pentingnya
membangun institusi militer yang mampu mempertahankan negara secara layak
sekaligus menyadari bahwa apabila kekuatan militer tidak dikendalikan secara
seksama, maka kekuatan militer tersebut dapat dipergunakan untuk merebut
kontrol dari tangan pemerintah dan kemudian mengancam keberlangsungan demokrasi
(Makaarim, 2010).