Oleh.
Ian Haba Ora
Ketua
FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi oleh SKH TIMOR EXPRESS)
Pengantar
Merefleksi semangat reformasi tahun
1998 di Indonesia masih menyisahkan berbagai persoalan kekinian. Di jaman demokratisasi
saat ini, negara masih memandang para aktivis Hak Asasi Manusia sebagai
penghambat kehidupan bernegara. Labelisasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi
menjadi indikator penting strategi negara dalam mengintimidasi sekaligus
merepresif aktivis pembela HAM di Indonesia. ironisnya lagi, negara dapat
terlibat langsung dalam upaya penghilangan nyawa dan daya juang para aktivis
melalui pembunuhan, penculikan, dan penganiayaan sering menjadi berita buruk
yang tersiar dan ditonton negeri ini.
Pembunuhan Wartawan Jogja Udin, aktivis
buruh Marsinah, kasus Munir, kasus pembunuhan terhadap jurnalis Papua,
Ardiansyah Matrais, kasus penganiayaan terhadap aktivis anti-korupsi ICW, Tama
S. Langkun, penganiayaan terhadap aktivis lingkungan Walhi Bali, I Wayan Suardana
alias Gendo, Stigmatisasi komunis pada aktivis PIAR NTT dan beberapa
pastor-pendeta merupakan gambaran masifnya penghargaan negara terhadap hak
asasi manusia masih lemah.
Namun adahal lain bahwa labelisasi dan
intimidasi terhadap Aktivis Hak Asasi Manusia tidak saja dilakukan oleh aktor
negara, namun telah bergeser juga pada aktor-aktor non negara seperti
kapitalis, milisi/premanisme, ormas-ormas, partai politik, terorisme, dan lain
sebagainya. Bahkan dapat juga intimidasi dan represif pada aktivis merupakan
konspirasi antara aktor negara dan aktor non negara.
Begitu rentannya aktivis Hak Asasi
Manusia dari tindakan represif dan intimidasi negara dan non negara maka
pejuang-pejuang HAM perlu dilindungi. Negara Indonesia merupakan negara hukum
maka salah satu cara perlindungan terhadap mereka adalah melalui legislasi.
Aktivis
Hak Asasi Manusia
Mencari defenisi aktivis Hak Asasi
Manusia memang belum memiliki defenisi yang baku di Indonesia, namun secara
kontekstual Aktivis atau pembela HAM dapat dikategorikan pada siapa saja baik
individu ataupun organisasi yang mempromosikan HAM, dari level akar rumput
hingga internasional, tidak memandang dari berbagai jenis kelamin, umur serta
latar belakang, tidak juga hanya LSM (NGO).
Keterbatasan dukungan negara dalam
perlindungan aktivis Hak Asasi Manusia menjadikan para aktivis HAM sering
menjadi sasaran atau terget negara maupun non negara dalam membungkam semangat
juang aktivis untuk mendukung dan mendorong nilai-nilai penegakan hak asasi
manusia. Untuk itu diperlukan jaminan hukum akan eksistensi aktivis Hak Asasi
Manusia (Human Rights Defender).
Sebenarnya negara Indonesia sudah
memiliki instrumen penghargaan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (khususnya
kerja-kerja HAM) seperti UUD 1945 amandemen Pasal 28C ayat (2), UU No 39/1999
Tentang HAM, UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM Berat, UU No 13/2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, UU No 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi.
Turunan dari setiap jawaban instrumen tersebut tersebar dalam pembentukan
lembaga-lembaga seperti KOMNASHAM, OMBUDSMAN, LPSK, dan lain sebagainya. Namun
konteks instrumen tersebut sebatas pada cara kerja Hak Asasi Manusia belum pada
perlindungan aktivis HAM. Pada akhirnya para aktivis HAM dapat diintimidasi,
diteror, diancam, dikriminalisasi, dan bahkan dibunuh. Sungguh kontras antara
paradigma kerja HAM dan Pekerja-Pekerja HAM.
Perlindungan terhadap aktivis HAM
sangat diperlukan karena jika tidak terlindungi maka aktivis HAM selalu menjadi
target dan sasaran. Meskipun saat ini draf RUU tentang perlindungan terhadap
pembela HAM telah ada dalam jadwal PROLEGNAS namun masih kabur dalam proses
pembahasannya. DPR sebatas memasukkannya pada agenda Prolegnas namun tidak ada
kepastian pembahasannya. Seharusnya Indonesia sebagai negara yang memiliki
otoritas politik dalam legislasi perlu mendorong semangat juang perlindungan
Hak Asasi Manusia seperti pada kewajiban negara yang telah diatur dalam “Declaration on the Rights and Responsibility
of individuals, Groups, and Organs of Society to promote and Protect
universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”, dinyatakan
untuk melindungi memajukan dan melaksanakan HAM secara keseluruhan; menjamin
bahwa semua orang dalam yuridiksinya dapat menikmati semua hak-hak sosial,
ekonomi, politik serta hak-hak dan kebebasan lainnya; mengadopsi dalam lingkup
legislatif, administratif dan tahapan lain yang dibutuhkan untuk menjamin
pelaksanaan yang efektif dari hak dan kebebasan tersebut; menyediakan
penggantian yang efektif terhadap korban HAM; melakukan investigasi yang cepat
dan tepat serta imparsial terhadap pelanggaran HAM yang terjadi; melakukan
semua langkah yang dibutuhkan untuk menjamin perlindungan terhadap setiap orang
dari segala pelanggaran, ancaman, pembalasan, tindakan diskriminasi, tekanan,
atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari kegiatan yang
sah menurut deklarasi pembela HAM; memajukan pemahaman publik tentang hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; menjamin dan mendukung pembuatan
dan pengembangan institusi nasional independen untuk memajukan dan melindungi
HAM; memajukan dan memfasilitasi pendidikan HAM pada semua level baik
pendidikan formal maupun non formal.
Negara
Wajib Melindungi Aktivis HAM
Kompleksnya otoriansime dan totaliter
negara dalam merepresif dan menjustifikasi aktivis HAM dengan berbagai indimidasi
dan kriminalisasi bahkan pembunuhan menjadikan kerja-kerja aktivis HAM tidak
optimal dan bahkan terancam nyawa setiap kali melakukan tugas dan kerja-kerja
HAM. Selain kekuasaan negara, pekerja HAM juga berhadapan dengan aktor-aktor
non negara seperti milisi, premanisme, ormas-ormas intoleransi, hingga partai
politik menjadikan pekerja HAM selalu terancam dari segala sisi.
Perjuangan pembela HAM untuk mendapat
jaminan perlindungan negara akan kerja-kerja aktivis HAM tidak harus dipandang
sebagai kekhawatiran pembela HAM terhadap taruhan nyawa dan idealisme karena
menjadi pembela HAM maka resiko utama yang harus dihadapi adalah siap “mati”
dalam kondisi apapun. Perlindungan yang dimaksudkan adalah agar apa yang
dikerjakan aktivis HAM lebih optimal dan terhindar dari intimidasi dan
kriminalisasi negara. Diharapkan ketika seorang aktivis dibungkam maka
kerja-kerja perjuangan HAM tetap dilakukan oleh yang lain (continuitas). Bahkan
ketika negara menghambat dalam kerja-kerja HAM, dapat diminta pertanggungjawabannya
termasuk aktor-aktor non negara.
Sehingga menurut saya, Undang-Undang
khusus perlindungan terhadap aktivis HAM perlu dilakukan oleh negara melalui
kebijakan politik, meskipun tidak, negara harus berani untuk merevisi UU HAM
agar memasukan pasal yang memuat khusus tentang perlindungan terhadap pembelah
HAM. Maksudnya adalah memberi kepastian kerja-kerja pembelah HAM dan memberi impunitas
atas perjuangan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.