SELAMAT MEMBACA

Friday, 31 January 2014

SITUASI DARURAT ANAK DI PROVINSI NTT


Ian Haba Ora
(Ketua FREEPublik NTT)
Publikasi oleh Victory News pada Selasa, 28 Januari 2014

Pengantar
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang dalam situasi darurat anak yang serius. Pasalnya, 58% (115 anak-anak) telah menjadi korban penjualan manusia(trafficking), penganiayaan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Sebanyak 41% sisanya dialami perempuan dewasa dan satu persennya oleh laki-laki. Demikian catatan akhir tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTT sepanjang tahun 2013 (Victory News, 19 Januari 2014). Masih pada edisi yang sama, Dany Manu Koordinator Divisi Perubahan Kebijakan LBH APIK NTT mengatakan pemberitaan media terkait perempuan dan anak paling banyak diberitakan oleh koran Victory News (43%), Pos Kupang (36%), dan Kursor (21%).

Hasil riset deskriptif yang dilakukan LBH APIK dapat menjadi referensi bahwa NTT belum maksimal dalam memberantas bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pemerintah baik provinsi dan Kabupaten/Kota belum mampu memaksimalkan peran pemberdayaan perempuan dan anak untuk meminimalisir bahkan menghilangkan bentuk kekerasan yang terjadi. Begitupun Kepolisian masih menganggap bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai bentuk pelanggaran subjektif dimana perempuan masih dianggap sebagai penyebab kekerasan yang terjadi. Ironinya, setiap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selalu dimanipulatif sebagai upaya damai tanpa memberikan efek hukum dan pidana pada pelaku kekerasan. Selain itu, paradigma warga akan budaya patriarkat menjadikan anggapan perempuan dan anak adalah kaum korban dan dampaknya adalah posisi tawar perempuan dan anak selalu menjadi orang yang dinomor duakan. Media sebagai pusat pembentuk opini dan cara pandang dalam pemberitaan belum semaksimal mungkin untuk memberikan pencerdasan pada masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini banyak media yang meninggalkan ruang publik dengan banyaknya iklan dan berorientasi bisnis. Dampak dari ketidakprofesionalan dan ketidakpedulian empat pilar pendukung turunnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, yakni Pemerintah, Kepolisian, Masyarakat, dan Media menjadikan NTT berada pada situasi darurat anak.

Namun ada satu hal yang belum sepenuhnya disadari yaitu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak sepenuhnya tidak saja terjadi secara fisik tetapi lebih daripada itu sejauh mana penghargaan dan kepedulian terhadap ruang publik bagi perempuan dan anak mendapatkan hak-haknya secara psikis dan ruang kebebasan.

Degradasi Peran Pemerintah, Kepolisian, Media, dan Masyarakat
Berbicara tentang tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di NTT tidak lepas dari peran Pemerintah untuk melakukan tindakan pembiaran. Pemerintah tidak tegas untuk menerapkan aturan-aturan melalui instrumen-instrumen yang telah dimiliki seperti Perda Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak dan Perda Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkerja. Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak sebagai nahkoda dalam mensosialisasikan peran pemerintah untuk menekan angka kekerasan terasa tumpul dan mati suri. Pemerintah masih bersifat reaktif ketika sebuah kejadian bersifat aktual dan booming di masyarakat. Bahkan Pemerintah dapat menjadi aktor pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kurang sensitifnya pemerintah dalam memberikan kesempatan pada perempuan untuk memimpin merupakan sebuah bentuk kekerasan. Isu gender hanya dipakai pemerintah sebagai media kampanye dan propaganda untuk menutupi kebohongan yang terjadi. Bentuk pelecehan seksual oleh aparat pemerintah juga merupakan cara mendiskriminasi perempuan sebagai korban. Tingginya angka putus sekolah menjadikan citra buruk bahwa pemerintah belum sensitif hak-hak anak.

Kepolisian yang diharapkan sebagai garda terdepan penuntutan hukum masih belum mampu menunjukkan keperkasaannya. Impotenitas kepolisian masih merajalela dengan mengendapnya kasus hukum kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak. Perempuan dan anak masih dianggap sebagai subordinitas yang dapat dibawah ke ranah hukum apabila jalur kekeluargaan tidak mampu lagi ditempuh. Pelaku kekerasan masih dapat bebas dari jeratan hukum apabila kekerasan tersebut tidak membuahkan kematian. Anggapan-anggapan primordialistik seperti ini yang membuat aktor-aktor kepolisian mengganggap kekerasan terhadap perempuan dan anak belum menjadi sesuatu hal yang penting. Mungkin juga disebabkan pemahaman gender dan hak asasi manusia yang belum sepenuhnya terinternalisasi dengan baik ditubuh Polri.

Media massa dan elektronik sebagai trajektori (peluru) pembentuk opini dimasyarakat melalui pemberitaan belum mampu memberikan pencerdasan dan juga ruang publik berita lebih banyak diisi oleh iklan-iklan bisnis. Orientasi bisnis inilah yang terkadang menjadikan ruang baca dan ruang nonton publik dalam mendapatkann informasi tidak tersampaikan dengan baik. Media yang awal-awalnya idealis dan bersifat kritis menjadi suram dengan pembentukan opini berganti gegap gempita dalam keuntungan bisnis. Jika mau jujur, NTT telah memiliki bayak media baik visual maupun audio visual tetapi mengapa masyarakat lebih banyak disuguhi dengan pemberitaan advetorial. Media belum mampu memetakan ruang-ruang baca aktual dalam edisi terbitan, dan masih dimanipulatif dengan berita-berita seputar momentum. Media jarang memberitakan kasus secara detail dan mengikuti setiap kasuistik yang telah terjadi. Momentum berita lebih dipentingkan oleh redaksi. Tidak ada satupun media yang terus mengikuti kronologis awal sampai akhirnya sebuah kasus.

Selain peran pemerintah, aparatur hukum, dan media yang telah tergradasi, masyarakat juga masih terpolarisasi akan budaya patriarkat yang menganggap perempuan dan anak sebagai orang yang lemah. Anggapan lemah ini mendiskripsikan perempuan dan anak hanya sebagai korban karena mereka memang adalah kaum yang lemah. Anggapan ini membentuk paradigma masyarakat jika terjadi kekerasan maka sudah sewajarnya ataupun kekerasan yang terjadi adalah sebagai akibat dari bentuk ketidakmampuan dari perempuan ataupun anak. Akumulasi-akumulasi dari cara pandang ini yang pada akhirnya membentuk primordialisme budaya.

Multilayered System
Multi layered system (MLS) dipahami sebagai bentuk pengawasan berlapis yang diadopsi oleh kalangan aktivis dalam melakukan kerja-kerja pendampingan dan advokasi sebuah kejadian. MLS merupakan kemitraan antara yudikatif, eksekutif, legislatif, dan masyarakat untuk memainkan peran masing-masing dalam melakukan pengontrolan kejadian kasus tanggap darurat agar sebuah kejadian tidak berkembang atau menyebabr menjadi borok. Kalangan Pemerintah, aparatur hukum dan legilatif harus melakukan kemitraan yang baik untuk menjerat pelaku-pelaku kekerasan dengan berbagai instrumen, bila perlu dapat ekstrim untuk memberikan efek jera. Masyarakat harus diberi penyadaran secara terus menerus agar dapat diubah mindset agar tidak terjebak budaya primordialisme yang sering merongrong nilai-nilai kesetaraan.

Selama ini pelaku-pelaku kekerasan selalu dibiarkan dengan aksinya tanpa mendapat perhatian serius dari negara (eksekutif, legislatif, dan aparatur hukum). Peran pendampingan oleh kalangan aktivis pun masih terhalang oleh kejanggalan-kejanggalan advokasi yang lebih bersifat reaksioner ditambah dengan peran media yang hanya mampu membackup berita tidak bersifat investigasi tetapi lebih menjadi corong informasi saja.

Catatan LBH APIK menjadi sebuah gelitik kritikan untuk NTT atas ketidakmampuan seluruh aparatur negara dalam merespon situasi darurat anak dan perempuan. Meskipun berbagai instrumen aturan telah dirancang dan ditetapkan menjadi peraturan yang mengikat namun jika lemah dalam pengontrolan dan pengawasan maka akan menjadi tulisan indah dalam sebuah dokumen yang mubasir. NTT perlu berbenah dan menginstropeksi instrumen yang telah ada namun menjadi tumpul atas tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Evaluasi akan setiap aturan perlu dilakukan untuk membatasi ruang gerak diskriminasi dan kekerasan sehingga metode terbaik adalah kemitraan empat pilar penunjang sebuah negara yaitu pemerintah, legislatif, yudikatif, dan masyarakat termasuk media, LSM, dan stakeholder lainnya untuk sama-sama melakukan fungsi pengontrolan berbasis pencerdasan warga.

TRANSLATE: