Ian Haba Ora
Ketua FPAR Kota Kupang
Pengantar
Permasalahan
publik hari ke hari kian menunjukkan carut marut yang tidak terselesaikan.
Harapan warga dalam mengakses dan meminta tanggungjawab penyelenggara publik
(baca pemerintah) untuk memberikan fungsi pelayanan yang baik, cepat,
transparan, dan akuntabel belum optimal dan maksimal. Rumitnya akses informasi,
pelayanan petugas yang tidak ramah, biaya yang tinggi, birokrasi yang panjang,
dan ketiadaan mekanisme komplain yang memadai memberikan skeptisme dan rasa
pesimistis warga untuk mendapatkan pelayanan publik yang efisien, efektif, dan
cepat jauh panggang dari api.
Dunia
kependidikan merupakan gambaran rumit yang sering tidak tertata baik mulai dari
pelayanan terhadap hak-hak siswa di sekolah-sekolah sampai pada kewajiban
negara dalam memenuhi kualitas pendidikan bagi anak didik siswa. Kepentingan
siswa cenderung terabaikan dengan salah pandang (paradigma) tertentu yang
terpolarisasi intrik tertentu, bahkan esensi dari suatu peningkatan pelayanan
publik dikaburkan dengan birokratisasi yang panjang dan ketakutan tertentu dari
penyelenggara publik pendidikan di sekolah-sekolah terhadap ancaman
pimpinan-pimpinan daerah.
Beberapa
data sampel yang dikumpulkan oleh rekan-rekan komunitas Kota Kupang terhadap
rumitnya akses informasi dan pengakuan negara terhadap penerima manfaat (warga)
tentang identitas siswa menjadi problema tersendiri ketika banyak warga yang
mengadu sulitnya mendapatkan Surat Keterangan sebagai anak didik siswa pada
sekolah-nya. Padahal, Surat Keterangan Siswa merupakan sesuatu hak yang
dimiliki siswa ketika terdaftar pada suatu sekolah tempat siswa tersebut
menuntut ilmu. Retorika absurt ini menjustifikasi bahwa pemerintah masih
setengah hati ataupun belum terpahami sepenuhnya akan arti dari sebuah
peningkatan penyelenggaraan publik.
Esensi dari
pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (UU No. 25
Tahun 2009, Pasal 1 ayat (1)). Jaminan ini terkesan menjadi instrumen rutinitas
belaka yang tidak terkondensasi (terlaksana) dengan baik.
Pelayanan Publik
Manifestasi
perlindungan negara terhadap warga negara wajib ditunjukkan melalui kewajiban
negara melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik dan merupakan amanat UUD
1945 sekaligus membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang
dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus
dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk
tentang peningkatan pelayanan publik. Selain itu, sebagai upaya untuk
mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta
terwujudnya tanggungjawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
maka disepakatilah konsensi melalui Undang-Undang Pelayanan Publik sebagai
upaya peningkatan kualitas dan jaminan penyediaan pelayanan publik sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang
di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Penegasan
penyelenggaraan pelayanan publik dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
merupakan derivasi (turunan) dari amanat konstitusi yang tercantum dalam UUD
1945 seperti pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27,
Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 281 ayat (2) dan Pasal
34 ayat (3). Selain itu, jaminan penyelenggaraan pelayanan publik juga tidak
terlepas dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Pasal 3 dalam
UU Pelayanan Publik menegaskan bahwa tujuan dilakukan pengaturan pelayanan
adalah untuk terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak,
tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan
korporasi yang baik, terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dan terwujudnya perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Begitu
pentingnya penciptaan pemerintah yang bersih dan baik melalui instrumen,
struktural, dan perilaku demi terwujudnya profesionalitas dan akuntabilitas
penyelenggara publik namun masih menyisahkan persoalan serius ketika banyak
penerima manfaat (warga) mengeluh akan setiap pelayanan hak warga yang tidak
sesuai harapan.
Ambiguitas Pelayanan Publik
Ketika
negara menjamin hak warga negara dengan memberikan ruang kebijakan dan program
demi perbaikan kualitas dan menjawab kebutuhan warga negara, namun masih
dibarengi manipulasi perilaku aktor-aktor penyelenggara publik untuk membatasi
bahkan mengeliminasi kepentingan publik. Justifikasi (pembenaran) ini dapat
diperhatikan dari data komunitas FPAR Kota Kupang yang menemukan pengeluhan
warga ketika ingin mengakses dan meminta hak anak-anak mereka untuk mendapatkan
Surat Keterangan Sekolah yang menyatakan bahwa anak mereka terdaftar sebagai
anak didik siswa pada sekolah tersebut. Berbagai alasan yang tidak masuk akal
dilakoni oleh Kepala Sekolah dan aparatur sekolah lainnya untuk tidak
memberikan Surat Keterangan tersebut.
Sesuai
dengan kewajiban penyelenggara publik, ketika ada hak penerima manfaat publik,
maka penyelenggara harus memenuhi sesuai aturan perundangan yang belaku, tidak
berdasarkan logika absurt. Konyol ketika hak-hak warga dibatasi hanya
didasarkan dugaan-dugaan manipulatif kepentingan tertentu. Aparatur publik
cenderung mengaitkan kewenangan yang dimiliki untuk dipolitisir menjadi
stigmatisasi (vonis negatif) ketika manfaat publik dimiliki dan diberikan pada
warga negara.
Contoh
kasus pengaduan warga yang diterima FPAR Kota Kupang dari seorang warga yang
anaknya bersekolah di SMP milik Pemerintah Kota Kupang bahwa anak-nya tidak
diberikan surat keterangan sebagai siswa di sekolah tersebut karena dianggap
mendapatkan bantuan beasiswa di luar dari yang dimiliki oleh sekolah tersebut.
Pertanyaannya adalah bahwa Surat Keterangan Siswa merupakan hak siswa atau
tidak? Jika permasalahannya adalah dipergunakan untuk apa, berati ada
konsekuensi hukum dari pengguna tersebut secara klausa hukum. Bukan dikarenakan
dugaan emosional dengan kewenangan yang dimiliki mengeliminasi hak-hak warga
negara.
Terpaan
logika semu selalu menghalau harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
publik yang betul-betul memenuhi rasa keadilan dan tanggungjawab negara untuk
melindungi warga negara. Warga negara selalu dijadikan korban pemikiran semu
dan tidak pada tempatnya, dapat menghambat esensi dari amanat Undang-Undang
penyelenggaraan publik itu sendiri.
Pemerintah
seharusnya mulai berpikir untuk terus mensosialisasikan esensi dari
Undang-Undang Pelayanan Publik untuk dapat diketahui oleh aparatur negara
sehingga pelayanan publik tidak harus terhambat akibat cara pandang dari
aparatur sekolah yang lemah bahkan di luar dari konteks hak warga negara.
Penutup
Mengharapkan terciptanya pertanggungjawaban
pemerintah (baca sekolah-sekolah) untuk memenuhi hak warga negara dalam
penyelenggaraan pelayanan publik telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009. Namun belum terimplementasi baik dikarenakan ketidakpahaman dan
ketidaktahuan aparatur struktural pemerintah untuk melaksanakan amanat UU
tersebut mulai dari pemimpin daerah hingga jabatan struktural yang paling
bawah. Selain itu, masalah perilaku aktor negara untuk menyalahgunakan
kewenangan (abuse of power) menjadi
gambaran realitas telah terjadi pembunuhan hak-hak warga negara untuk mengakses
dan memintah akuntabilitas penyelenggara publik.
Warga
negara perlu melakukan upaya kritis dalam meminta pertanggungjawaban
penyelenggara publik yang tidak sesuai dengan mekanisme dan amanat konstitusi.
Warga negara harus berani menuntut penyelenggara publik agar memberikan hak-hak
anak didik siswa karena itu merupakan kewajiban penyelenggara.