Ian Haba Ora
Ketua FPAR Kota Kupang Dampingan PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi oleh SKH TIMEX-Selasa,
7 Januari 2014
Pengantar
Prinsip reformasi tahun 1999 menjadi
perhatian khusus dalam penataan bangsa untuk terus mengefisiensikan era
transformasi sentralistik ke otonomi daerah. Daerah diberikan keleluasan untuk
dapat mengatur urusan rumah tangga daerahnya sendiri sesuai UU Nomor 32 Tahun
2004. UU tersebut menggaris bawahi bahwa
Daerah Otonom berwenang mengurus urusannya sendiri terkecuali politik luar
negeri, Pertahan dan keamanan, agama, kebijakan moneter, dan kehakiman
(yudikatif).
Kebijakan otonomi daerah ini ternyata
tidak diikuti oleh prinsip demokrasi oleh daerah-daerah untuk lebih
mengefektifkan pelayanan publik sebagai bentuk pendekatan responsif dalam
kemanfaatan pada masyarakat.
Ironisme akut juga ketika setiap
harapan masyarakat melalui Musrembangdes, Musrembangcam, sampai
musrembangkab/kota tidak ada satupun program dan kebutuhan masyarakat
terealisasi. Setiap rancangan menjadi isapan jempol semata dan sebatas pada
tulisan indah yang dibahas. Desa menjadi kebo congek yang selalu mengikuti
program yang diturunkan oleh pemerintah daerah yang tidak menyentuh kebutuhan
masyarakat.
Selain itu, pemerintah tidak pernah
memikirkan kontektualisasi budaya dan kearifan lokal yang ada dimasyarakat
desa. Budaya gotong royong dan kekeluargaan yang ada di desa luntur akibat
program proyek-proyek dari Pemda setempat. Desa hanya dijadikan sebagai objek
realisasi keuntungan proyek pemerintah, dan lebih parah adalah desa menjadi
sarana politisir oleh arogansi pemerintah.
Nominal anggaran daerah untuk
pembangunan daerah tidak pernah terdistribusi secara transparan dan akuntabel.
Desa hanya dijadikan sebagai sarana pembangunan fisik infrastruktur tanpa
dipikirkan potensi-potensi desa untuk mendukung pembangunan. Akibatnya
infrastruktur desa tidak mendukung potensi tersebut, misalkan infrastruktur
jalan dibutuhkan masyarakat dalam mendukung transportasi hasil kebun dan
persawahan namun Pemda menurunkan pembangunan waduk-waduk yang sedianya telah
ada dukungan pengairan yang selama ini ada di masyarakat untuk bercocok tanam.
Realitas ini menjadikan desa
seolah-olah di “stir” oleh
kepentingan Pemda. Oleh karena itu, untuk menjawab agar desa itu mandiri dan
profesional dalam peningkatan pelayanan publik serta idependensi desa maka
perlu diatur dalam bentuk instrumen. Ada beberapa hal yang harus menjadi
perhatian serius dalam pendekatan desa mandiri dan profesional yaitu: harus
dipisahkan akan identitas desa baik strukturnya secara pemerintahan dan
kearifan lokal desa tersebut; perlu ada indikator kinerja hak dan kewajiban
dari pemangku kepentingan desa dan partisipasi masyarakat; perlu ada alokasi
anggaran yang propoor dalam konteks angka (“minimal persentase rupiah bagi desa”)
agar menjadi pengelolaan berbasis kinerja. Tiga hal ini menjadi penting untuk
menuju desa yang mandiri.
Perjuangan RUU Desa
18 Desember 2013 menjadi tonggak
sejarah baru dalam kemandirian desa untuk lebih dioptimalkan pembangunan
berbasis kinerja. Sekian lama RUU Desa yang menjadi polemik akhirnya teralisasi
dengan baik untuk disahkan menjadi Undang-Undang yang baru. UU ini diharapkan
menjadi semangat dan roh baru untuk lebih memaksimalkan kinerja pemerintahan
desa. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan RUU ini disahkan menjadi
Undang-Undang yaitu bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan
cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; selain itu dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa
telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat
menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan
menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Realisasi RUU ini menjadi UU tidak
terlepas dari perjuangan Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk menggerakkan
mesin partai Demokrat mendukung disahkannya UU Desa sebagai RUU Inisiatif
Pemerintah. Alhasil UU Desa dapat diterbitkan dan terdaftar dalam lembaran negara
Republik Indonesia. DR Jefri Riwu Kore,
MM.,MH calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat Nomor Urut 2 pernah berkata “Berdasarkan UU tersebut,
setiap desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan alokasi dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari belanja pusat dan dana
tersebut akan digunakan untuk pembangunan berbasis desa yang penggunaannya 30%
untuk operasional dan 70% untuk program pembangunan”. Ir. Sarah Lery Mboeik calon Anggota DPD RI asal NTT Nomor Urut
33 pun mendukung pembicaraan koleganya bahwa “total dana yang dialokasikan
tersebut mencapai 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam
APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus”. Dengan kata lain, dana sekitar Rp
104,6 triliun bila dibagi untuk sekitar 72.000 desa maka setiap desa
mendapatkan dana sekitar Rp 1,4 miliar per tahun. Chris Petrus Mboeik Calon Anggota DPRD Propinsi NTT dari Partai
NASDEM Dapil Kota Kupang Nomor Urut 2 mengatakan bahwa dengan berlakunya
Undang-Undang Desa sudah tentu desa diberi ruang untuk berekspresi dan
berkreativitas menuju kemandirian desa yang profesional dan bersinergi sesuai
potensi daerah dan dalam UU ini juga ada penghargaan positif terhadap
nilai-nilai kebudayaan dengan diakui adanya desa adat.
UU Desa disahkan
Desa sebelumnya memiliki dasar hukum
yuridis dalam UU nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana desa
sebagai pembantu dalam penyelenggaraan publik pada aras paling bawah. Tetapi
pada UU Desa menegaskan pangaturan lebih terperinci tentang asas pengaturan,
kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan
pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa,
keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan pedesaan,
badan usaha milik desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga
adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, Undang-Undang Desa
mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk desa adat sebagaimana
diatur dalam Bab XIII.
Ada beberapa hal kemajuan dari
disahkannya UU Desa dibandingkan ketika masih terinklave dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu: UU Pemerintahan Desa
hanya mengatur kelembagaan desa dimana desa dianggap sebagai otoritas kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
NKRI. Namun pengertian ini telah diubah pada UU Desa Pasal 1 ayat (1) diperluas
pengertiannya menjadi desa dan desa adat. Pangklasteran ini memungkinkan
optimalisasi kerja-kerja berbasis kearifan lokal dan potensi desa. Jabatan
kepala desa pada UU 32/2004 yang semula 2 periode ditambah menjadi 3 periode
atau 18 tahun masa jabatan. Asas pengaturan yang semula desentralisasi botom up
yang abstrak makin diperjelas dalam UU desa dengan asas pengaturan rokognisi,
subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan,
musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan,
keberlanjutan berbasis lokal. Sehingga desentralisasi yang bersifat top down
abstrak pada UU 32/2004 lebih disensitivitas dominan bottom up. Selain itu, kewenangan, hak dan kewajiban kepala desa
diatur lebih terintegratif dan jelas pada UU Desa. Begitupun profesionalitas,
akuntabilitas, dan transparansi tertata dalam mekanisme desa dan warga desa
berserta perangkat desa tergambar cukup jelas termasuk hak dan kewajiban kepala
desa dan warga desa. Hal yang lebih memantapkan kemandirian pembangunan berbasis
desa adalah ketentuan khusus dalam UU Desa yang mengatur bawa setiap desa
minimal mendapat alokasi anggaran desa minimal sebesar 10% dari APBN yang
teralisasi. Jika dengan statistik saat ini berkisar 72.000 desa dengan 104,6
triliun rupiah maka desa ditaksir mendapatkan 1,4 M per tahun. Angka fantastis
yang diberikan negara oleh pemerintahan SBY untuk berinisiatif memuluskan
pembahasan RUU Desa di parlemen.
Penutup
Desa dalam bingkai NKRI boleh berlega
hati karena RUU Desa telah disahkan menjadi Undang-Undang untuk dioptimalisasi
dalam pembangunan berbasis desa. Abstraksi yang selama ini ada pada istrumen
Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah tergeser dan diperjalan dalam UU Desa.
Desa saat ini diberi ruang untuk
mengoptimalisasi dan memaksimalkan kinerja agar pembangunan pedesaan dapat
berjalan optimal dibandingkan dengan kejadian-kejadian lalu yang menganggap
desa sebagai objek pembangunan Pemda tanpa memikirkan pendekatan lokal sesuai
potensi desa.