Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Freepublik
NTT)
Opini ini dipublikasi oleh Harian Kota Kursor pada
Rabu, 26 Maret 2014
Pengantar
Kurang
lebih 10 ribu angka fantastis kematian perempuan di Indonesia mati karena hamil
dan melahirkan. Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia tahun 2007 berkisar
228/100.000 kelahiran hidup (KH), lebih parah dari seluruh negara Asean selain
Laos (470), Timor Leste (300), dan Kamboja (250). Indonesia diperkirakan sulit
capai target harapan MDGs sesuai rasio AKI 102/100 KH ditahun 2015. Simulasi
dilakukan Kemenkes untuk menguji laju penurunan AKI saat ini berkisar
173/100.000 KH pada tahun 2015. Salah satu respon Pemerintah turunkan AKI di
Indonesia melalui program Jaminan Persalinan (Jampersal) dari tahun 2011 dengan
tujuan meningkatkan jumlah persalinan yang dibantu tenaga kesehatan dan
fasilitas kesehatan, mengingat faktor tingginya AKI di Indonesia disebabkan pendarahan,
eklampsia, dan infeksi yang terlambat atau gagal ditangani tenaga terlatih di
fasilitas kesehatan. Bagaiman dengan AKI di NTT?
Gambaran
AKI di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 10 kali lipat jumlah ibu
yang mati di DKI Jakarta, padahal jumlah penduduk NTT kurang dari separuh
penduduk Jakarta. AKI NTT mencapai 306/100.000 KH menjadikan NTT sebagai salah
satu provinsi dengan AKI yang tertinggi di Indonesia, hampir sama dengan Timor
Leste yang baru satu dekade merdeka (Fanggidae dan Manu, 2013). Ironisnya,
alokasi Jampersal dari Pemerintah Pusat hanya mampu diserap 25% di Kota Kupang
dan 68% di Kabupaten Kupang dan berdampak pada implementasi Jampersal selain
ketiadaan infrastruktur kesehatan.
Program
Jampersal ditujukan meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan dan pelayanan nifas, peningkatan cakupan pelayanan bayi baru lahir,
KB pasca persalinan dan komplikasi hendak dicapai dengan pembebasan biaya.
Namun ternyata, aplikasi dari program jauh panggang dari api.
Tantangan dan Isu Seputar
Pelaksanaan Jampersal
Biaya
kesehatan mahal, minim alat transportasi, minim alat kesehatan dan tenaga
kesehatan, ketidaktahuan masyarakat dan rumitnya klaim program Jampersal
diindikasikan menjadi tantangan tingginya AKI sehingga implementasi (penerapan)
program Jampersal terhambat.
Biaya
tambahan transport ke fasilitas kesehatan masih menjadi komponen biaya tambahan
diluar biaya pemeriksaan dan bersalin, dan pasien masih membayar biaya rujukan.
Kondisi ini umumnya terjadi di pedesaan. Penelitian Prakarsa 2013 menyebutkan
sekitar dua pertiga dari responden harus mengeluarkan biaya transport untuk
ibu, ditambah hampir 5% untuk keluarga yang mengantar, dan biaya yang
dikeluarkan berkisar lima sampai 300 ribu rupiah untuk ibu dan dan anggota
keluarga lain antara 10 sampai 250 ribu rupiah. Biaya ini memberatkan karena
hampir 80% penduduk NTT mengaku berpendapatan di bawah satu juta rupiah per
bulan. Belum lagi infrastruktur jalan dan jarak yang jauh. Dalam desain Program
Jampersal, biaya transport ditanggung oleh negara bagi pasien yang dirujuk,
dengan asumsi persalinan normal dapat dilakukan di fasilitas kesehatan seperti
puskesmas yang tidak membutuhkan biaya transportasi yang signifikan. Ironi,
masih terdapat 60% ibu melahirkan dan dirujuk masih menanggung biaya transport
maupun akomodasi. Bahkan ada Bidan memintah biaya tambahan untuk melahirkan
karena uang klaim Jampersal dipotong oleh Dinas Kesehatan untuk peralatan
seperti sarung tangan, kapas, dan lain-lain.
Minimnya
alat kesehatan dan absennya tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (Pustu,
Poskesdes, Polindes) kerap dibiarkan terlantar karena tidak dilengkapi
alat-alat dan tiadanya petugas jaga seperti Pustu Desa Fatukona Kabupaten
Kupang dibiarkan terlantar menjadi kandang hewan. Peranan tenaga kesehatan
untuk meningkatkan status kesehatan sangat penting. WHO menyebutkan bahwa
tenaga kesehatan berkontribusi 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan.
Laporan WHO tahun 2006, Indonesia termasuk salah satu dari 57 negara yang
menghadapi krisis SDM kesehatan, baik dalam jumlah maupun distribusi. Tetapi
NTT angka kematian ibu dan anak masih tinggi, padahal jumlah bidan telah dirasa
memadai. NTT terdapat 2.696 bidan (PNS, PTT dan Kontrak), jika dibagi 3.117 desa/kelurahan,
berarti mendekati satu bidan per desa. Kenyataannya masih banyak desa yang
kekurangan bidan karena banyak yang memilih berpraktek di perkotaan. WHO (2010)
menyebutkan disparitas (perbedaan) antara pedesaan dan perkotaan sangat besar
yaitu antara 63% dan 88%.
Tulang
punggung penolong persalinan belum memaksimalkan tugasnya karena keberadaan
bidan di desa yang dianggap ‘tidak senior’ dan tidak ‘stand-by’ menyebabkan masih banyak ibu bersalin yang tidak ditolong
bidan. Pembuktian ini dapat dilihat pada
hasil survey Prakarsa Jakarta (2013) yang menemukan masih terdapat 44,4% dari
responden survei melahirkan di rumah ditolong oleh dukun, risiko kematian ibu
dan bayi terjadi. Misalkan di desa Oenuntono Kabupaten Kupang: karena lebih
percaya pada dukun, seorang ibu dan keluarga menolak untuk dibawa oleh bidan ke
rumah sakit, ibu yang berumur 35 tahun berserta banyinya harus meninggal akibat
pendarahan di rumah.
Tantangan
lain misalnya sosialisasi kepada pemanfaat dan pemahaman mengenai manfaat dan
persyaratan Jampersal yang masih minim baik oleh masyarakat maupun tenaga
kesehatan, berakibat ditolaknya pasien mendapatkan pelayanan persalinan di
rumah sakit. Responden masyarakat yang mengerti bahwa Jampersal adalah hak
mereka, masih ada hampir sepertiga yang tidak tahu bahwa sebagai peserta
Jampersal, mereka berhak atas pembebasan biaya pemeriksaan kehamilan, nifas,
dan persalinan. Hanya dua pertiga dari tenaga kesehatan baik dokter maupun
bidan yang menjelaskan mengenai keringanan biaya dari Jampersal yang bisa diakses
masyarakat. Masyarakat kota pun masih banyak yang tidak paham bahwa Jampersal
mesyaratkan pemeriksaan kehamilan (K1-K4) dan persalinan normal di rumah sakit
(kecuali rujukan/komplikasi dan risiko tinggi), padahal secara jarak,
seringkali lebih mudah mengakses rumah sakit yang berada di tengah kota
daripada Puskesmas atau praktek bidan.
Klaim
Jampersal dianggap rumit dan prosesnya lama oleh bidan dan adanya pemotongan
dana oleh Dinas Kesehatan dengan dalih pengadaan alat kesehatan. Masalah
administrasi menjadi isu penghambat penyerapan anggaran dan pemanfaatan
Jampersal. Klaim yang diajukan bidan baru cair dalam waktu sampai 3 bulan,
sehingga cukup memberatkan bagi para bidan yang harus ‘menalangi’ biaya
persalinan sampai klaim mereka disetujui. Selain itu, masih ada pemotongan
biaya terhadap klaim yang diajukan bidan.
Penutup
Tantangan
dan isu dalam penyerapan dan pemanfaatan Program Jampersal menjadi cirikhas
pemunduran capaian target penurunan angka kematian ibu dan anak. Pemerintah
belum mampu untuk meningkatkan dan mensosialisasikan secara masif dan benar
pemanfaatan dana dan program Jampersal. Selain itu ketiadaaan fasilitas dan
infrastruktur kesehatan menjadi tantangan pembangunan dunia kesehatan
kedepannya, khusus angka kematian ibu dan anak saat hamil, melahirkan, dan
pasca melahirkan. Jampersal akan optimal jika ada sinkronisasi sinkronisasi
antara pembangunan infrastruktur dan penyediaan tenaga kesehatan, serta
penguatan monitoring fungsi infrastruktur kesehatan pascapembangunan. Selain
itu, redistribusi tenaga kesehatan ke daerah terpencil yang terencana dan
dikoordinasikan antara pemerintah pusat dan daerah dengan Kementrian kesehatan
sebagai lead. Sistem insentif bagi
bidan yang ditempatkan di daerah terpencil perlu dibuat lebih menarik sehingga
para tenaga medis tetap tinggal di daerah terpencil. Jampersal perlu
mempertimbangkan memasukan komponen transportasi yang sistem reimbursement-nya/penggantian dipermudah
bagi pemanfaat, terutama di daerah terpencil. Hal terakhir yang perlu dilakukan
adalah memperluas sosialisasi Jampersal kepada sasaran program dan keluarganya,
serta memperkuat sistem monitoring dan evaluasi yang melibatkan masyarakat.
Catatan
di atas dan isi tulisan merupakan ringkasan catatan penulis saat mengikuti
diskusi nasional “Strategi Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak” yang
diselenggarakan oleh Prakarsa Jakarta (19 Maret 2014) bertempat di T-More Hotel
Kupang.