Ian Haba Ora
(Ketua Freepublik NTT)
Pengantar
Mendekati pemilihan umum (Pemilu)
tanggal 9 April 2014, sekiranya rakyat tidak lagi tertipu janji dan rayu para
politisi busuk yang tiba-tiba muncul dengan kekuatan bak pahlawan mengaku telah
berbuat banyak untuk daerah pemilihannya. Berbagai kritikan keras dilontarkan
oleh berbagai praktisi dan pengamat politik terhadap perilaku koruptif politisi,
namun belum mampu dan masif di tengarai oleh masyarakat. Beberapa politisi yang
tidak layak dipilih dari Daerah Pemilihan NTT sesuai data ICW (2013) dan
pemberitaan Victory News (Minggu,6/4/2014) yakni, Setya Novanto dan Melkias
Mekeng (Caleg dari Golkar), Herman Herry (Caleg PDIP), dan Pius Lustrilanang
(Caleg Gerindra) merupakan rekomendasi sebagai Caleg yang diduga kuat tidak pro
pemberantasan korupsi. Wajar saja sindiran Viktor Bungtilu Laskodat dan Sarah
Lery Mboeik praktisi politik NTT merasa kuatir atas perilaku calon yang
memanfaatkan kekuasaan uang dan kewenangan jabatan untuk berbuat apa saja
terhadap rakyat yang buta politik. Apa yang ditegaskan oleh Laskodat dan Mboeik
harus menjadi cara pandang warga keluar dari bentuk perilaku koruptif politisi.
Menjadi trend tersendiri ketika
mendekati hari pencoblosan, para politisi berani bersuara untuk mengkampanyekan
komitmen perjuangan aspirasi rakyat. Kompetisi diantara petarung politik
(politisi) merebut kursi parlemen baik senator senayan, propinsi, maupun
kabupaten/kota menjustifikasi (membenarkan) setiap kandidat menghalalkan strategi
khusus pemenangan kompetisi pemilihan umum. Demikian pula golongan incumbent (masih menjabat).
Masyarakat wajib melek politik, paham dinamika
berpolitik, dan mampu memilih figur politisi yang memiliki jiwa kejujuran
nurani dan cerdas memperjuangkan aspirasi rakyat agar propinsi NTT dengan
sebutan adagium ‘Nanti Tuhan Tolong’
atau ‘Nestapa, Terlara, dan Tertipu’ dapat mengurangi justifikasi pemikiran
orang luar untuk menganggap NTT sebagai sekumpulan orang yang mudah diperdayai.
Ironis juga ketika adagium ini merupakan manifestasi (perwujudan) dukungan
tabiat politisi NTT yang terus memoles rakyat dengan sejumlah uang dan materi
untuk mendulang suara dan memenangkan perlombaan menjadi senator. Bahkan
beberapa politisi incumbent beranikan diri “klaim” program pemerintah sebagai
perjuangan mereka seperti pupuk, BSM, Wife meskipun caleg tersebut tidak berada
di komisi tersebut.
Politisi Salah Kamar
Moment politik di Indonesia tahun ke
tahun belum nyata diilhami dan didukung nilai-nilai demokrasi. Para politisi cenderung
bargaining position bentuk politik
transaksional yang melemahkan warga. Praktek jual beli suara dan materi
merupakan contoh nyata kelainan demokrasi pemilu di negeri ini, bahkan politisi
mampu berkonspirasi dengan pemerintah untuk tukar menukar kepentingan. Puskapol
UI (2014) mengartikan transaksi politik sebagai pertukaran sumber daya antara
warga atau pemilih dengan kandidat dan/atau partai politik peserta pemilu.
Korban bentuk transaksi politik yang melemahkan warga adalah rakyat. Membebaskan
diri dari jebakan bentuk transaksi politik sesat, masyarakat harus menjadi
pemilih cerdas.
Pemberitaan Media Massa (Victory News)
mampu menjadi suplai (penyumbang)
pencerdasan politik warga dan berdaya kritis politik. Pemberitaan seputar
pemilu di VN mempublikasikan berita politik tentang tabiat koruptif kandidat
dalam menghalalkan segala cara merebut simpati dan dukungan warga pemilih
melalui pasar murah, pengobatan gratis, kerjabhakti, tiba-tiba menjadi sosialis
dan dermawan, peka lingkungan, bahkan praktek jual-beli suara dan program pada
warga pemilih agar saat hari pencoblosan, kandidat dapat meraih dukungan
terbanyak. Kelainan-kelainan politik tersebut mampu disorot oleh Media VN untuk
diinformasikan kepada publik melalui koran. Beberapa politisi pun harus berurusan
dengan pihak berwenang akibat pemberitaan informasi dari koran VN, seperti
dugaan konspirasi politik balas jasa antara Herman Herry (Caleg DPR RI PDIP)
dan Jonas Salean (Walikota Kupang) di Restoran Teluk Kupang dimana aparatur
Pemkot Kupang dianggap terlibat memobilisasi warga dan pimpinan wilayah (Camat,
Lurah, RT/RW) untuk berkomitmen kepentingan memenangkan kandidat PDIP tersebut.
Demikian juga dugaan konspirasi antara Setya Novanto (Caleg DPR RI Partai
Golkar) dan Benny Litelnoni (Wakil Gubernur NTT) serta institusi negara (BPK RI
Perwakilan NTT dan Dinas PPO NTT) secara bersama-sama membagikan BSM (Bantuan
Beasiswa) bagi anak didik sekolah di Aula Eltari Kupang, padahal Caleg Partai
Golkar tersebut tidak memiliki aspirasi tupoksi bidang pendidikan, seharusnya secara
kewenangan berada di Komisi bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Caleg Tunggangi Program BSM” (Victory
News,4 April 2014) menyebutkan salah seorang Caleg Partai Golkar Dapil NTT Dua
diduga kuat salah kamar ketika mengaku bahwa BSM merupakan perjuangannya. Seharusnya
Caleg tersebut dengan kekuasaan dan kewenangan lebih fokus bidang Hukum dan Hak
Asasi Manusia sebagai tupoksi Komisi jika realitas di NTT menunjukkan angka
korupsi yang tinggi, reformasi Polri stagnan dari RENSTRA Polri, mafia hukum
pada dugaan keterlibatan Jaksa, Polisi dan Hakim di ruang persidangan. Perlu
diketahui publik, angka kejadian korupsi di NTT saat ini melampaui nadir kritis
sesuai data PIAR NTT yang tersebar
di 20 Kab/Kota dan satu daerah
dekonsentrasi belum terselesaikan akibat dugaan ketidakberpihakan hukum. Jenis
kasus korupsi tersebut memiliki peta penyebaran kasus per-wilayah cukup
merata, yakni berkisar antara 1 – 20 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Kab.
Rote Ndao (20), Pemerintah Provinsi NTT (17), Kota Kupang (15), Kab. TTS (13), Kab. Sikka (13), Kab. Manggarai (9),
Kab. Flores Timur (8), Kab. TTU (7), Kab. Ende (7), Kab. Kupang (5), Kab. Belu (4),
Kab. Alor (4), Kab. Sumba Barat Daya (2), Kab Sumba Timur (2), Kab. Manggarai Barat (2), Kab. Lembata (2),
Kab. Sumba Barat, Kab. Nagakeo, Kab. Manggara Timur dan Kab Sabu Raijua
masing-masing 1 kasus. Kasus tersebut masih sebatas bolak balik
kejaksaan-kepolisian (Paul SinlaEloE,2013). Bahkan Politisi Partai Golkar
tersebut saat ini masuk daftar terperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
atas sejumlah kasus dugaan korupsi. Sejauhmana pelanggaran pemilu
dua caleg incumbent Herman Herry dan Setya Novanto, proses dan waktu saja yang
membuktikan. Saat ini dalam penyidikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTT.
Politisi salah kamar dalam perspektif
warga diartikan sebagai bentuk anggapan kesalahan politisi mengkampanyekan
(sosialisasi) pesan dan informasi pada sasaran, secara subjektif diluar
kewenangan tugas politisi tersebut. Misalkan banyak politisi sulit membedakan
antara penyampaian visi-misi partai dan visi misi kandidat, kadang-kadang
politisi salah menafsirkan tugas mereka.
Ketidakjelasan sistem demokrasi
Indonesia dan perilaku koruptif kandidat berdampak pada keterpurukan kecerdasan
politik warga dalam menyikapi sosok aspirator yang benar terbukti mampu
memperjuangkan aspirasi. Warga terjebak dalam manipulasi demokrasi terhadap
bentuk politik transaksional melalui pemberian bantuan ekonomi maupun uang dari
kandidat tertentu. Sadar ataupun tidak, bentuk bantuan kandidat cenderung
merupakan embrio (asal mula) investasi korupsi saat kandidat terpilih, apalagi
jika bantuan tersebut merupakan anggaran pribadi.
Kecerdasan politik warga ditentukan
sejauhmana warga mampu memobilisasi pilihan politik untuk melakukan politik
transaksional yang menguatkan warga, terbuka, kontinue, pemerataan program
perjuangan, sesuai bidang amanat dan networking, tidak melanggar aturan, serta
menggunakan anggaran negara yang transparan dan akuntabel. Tetapi warga pemilih
perlu berhati-hati indikasi kecurangan-kecurangan pemilu dari politisi busuk
agar tidak terjebak perilaku poltik transaksional yang melemahkan warga.
Meskipun penyelenggaraan Pemilu telah diantisipasi oleh Bawaslu namun belum
didukung sepenuhnya oleh stakeholders lain seperti polisi dan jaksa. Terbukti,
banyak laporan Bawaslu ke pihak berwenang menjadi kadaluarsa. Panwaslu pun
tumpul, tidak mampu berbuat banyak.
Penutup
Berbagai indikator keterpilihan wakil
rakyat memikul aspirasi menjadi jawaban mutlak untuk direnungi warga pemilih,
agar tidak lagi terjebak bentuk politik janji dan klaim kandidat berdasar
asumsi NTT merupakan orang-orang buta politik dan tidak kritis. Kedaulatan ada
ditangan rakyat, gunakan hak suara sesuai nurani, dan jauhi bentuk politik
transaksional yang melemahkan warga. Pilih mereka yang beri bukti, bukan janji.