SELAMAT MEMBACA

Friday, 31 January 2014

SITUASI DARURAT ANAK DI PROVINSI NTT


Ian Haba Ora
(Ketua FREEPublik NTT)
Publikasi oleh Victory News pada Selasa, 28 Januari 2014

Pengantar
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang dalam situasi darurat anak yang serius. Pasalnya, 58% (115 anak-anak) telah menjadi korban penjualan manusia(trafficking), penganiayaan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Sebanyak 41% sisanya dialami perempuan dewasa dan satu persennya oleh laki-laki. Demikian catatan akhir tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTT sepanjang tahun 2013 (Victory News, 19 Januari 2014). Masih pada edisi yang sama, Dany Manu Koordinator Divisi Perubahan Kebijakan LBH APIK NTT mengatakan pemberitaan media terkait perempuan dan anak paling banyak diberitakan oleh koran Victory News (43%), Pos Kupang (36%), dan Kursor (21%).

Hasil riset deskriptif yang dilakukan LBH APIK dapat menjadi referensi bahwa NTT belum maksimal dalam memberantas bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pemerintah baik provinsi dan Kabupaten/Kota belum mampu memaksimalkan peran pemberdayaan perempuan dan anak untuk meminimalisir bahkan menghilangkan bentuk kekerasan yang terjadi. Begitupun Kepolisian masih menganggap bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai bentuk pelanggaran subjektif dimana perempuan masih dianggap sebagai penyebab kekerasan yang terjadi. Ironinya, setiap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selalu dimanipulatif sebagai upaya damai tanpa memberikan efek hukum dan pidana pada pelaku kekerasan. Selain itu, paradigma warga akan budaya patriarkat menjadikan anggapan perempuan dan anak adalah kaum korban dan dampaknya adalah posisi tawar perempuan dan anak selalu menjadi orang yang dinomor duakan. Media sebagai pusat pembentuk opini dan cara pandang dalam pemberitaan belum semaksimal mungkin untuk memberikan pencerdasan pada masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini banyak media yang meninggalkan ruang publik dengan banyaknya iklan dan berorientasi bisnis. Dampak dari ketidakprofesionalan dan ketidakpedulian empat pilar pendukung turunnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, yakni Pemerintah, Kepolisian, Masyarakat, dan Media menjadikan NTT berada pada situasi darurat anak.

Namun ada satu hal yang belum sepenuhnya disadari yaitu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak sepenuhnya tidak saja terjadi secara fisik tetapi lebih daripada itu sejauh mana penghargaan dan kepedulian terhadap ruang publik bagi perempuan dan anak mendapatkan hak-haknya secara psikis dan ruang kebebasan.

Degradasi Peran Pemerintah, Kepolisian, Media, dan Masyarakat
Berbicara tentang tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di NTT tidak lepas dari peran Pemerintah untuk melakukan tindakan pembiaran. Pemerintah tidak tegas untuk menerapkan aturan-aturan melalui instrumen-instrumen yang telah dimiliki seperti Perda Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak dan Perda Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkerja. Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak sebagai nahkoda dalam mensosialisasikan peran pemerintah untuk menekan angka kekerasan terasa tumpul dan mati suri. Pemerintah masih bersifat reaktif ketika sebuah kejadian bersifat aktual dan booming di masyarakat. Bahkan Pemerintah dapat menjadi aktor pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kurang sensitifnya pemerintah dalam memberikan kesempatan pada perempuan untuk memimpin merupakan sebuah bentuk kekerasan. Isu gender hanya dipakai pemerintah sebagai media kampanye dan propaganda untuk menutupi kebohongan yang terjadi. Bentuk pelecehan seksual oleh aparat pemerintah juga merupakan cara mendiskriminasi perempuan sebagai korban. Tingginya angka putus sekolah menjadikan citra buruk bahwa pemerintah belum sensitif hak-hak anak.

Kepolisian yang diharapkan sebagai garda terdepan penuntutan hukum masih belum mampu menunjukkan keperkasaannya. Impotenitas kepolisian masih merajalela dengan mengendapnya kasus hukum kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak. Perempuan dan anak masih dianggap sebagai subordinitas yang dapat dibawah ke ranah hukum apabila jalur kekeluargaan tidak mampu lagi ditempuh. Pelaku kekerasan masih dapat bebas dari jeratan hukum apabila kekerasan tersebut tidak membuahkan kematian. Anggapan-anggapan primordialistik seperti ini yang membuat aktor-aktor kepolisian mengganggap kekerasan terhadap perempuan dan anak belum menjadi sesuatu hal yang penting. Mungkin juga disebabkan pemahaman gender dan hak asasi manusia yang belum sepenuhnya terinternalisasi dengan baik ditubuh Polri.

Media massa dan elektronik sebagai trajektori (peluru) pembentuk opini dimasyarakat melalui pemberitaan belum mampu memberikan pencerdasan dan juga ruang publik berita lebih banyak diisi oleh iklan-iklan bisnis. Orientasi bisnis inilah yang terkadang menjadikan ruang baca dan ruang nonton publik dalam mendapatkann informasi tidak tersampaikan dengan baik. Media yang awal-awalnya idealis dan bersifat kritis menjadi suram dengan pembentukan opini berganti gegap gempita dalam keuntungan bisnis. Jika mau jujur, NTT telah memiliki bayak media baik visual maupun audio visual tetapi mengapa masyarakat lebih banyak disuguhi dengan pemberitaan advetorial. Media belum mampu memetakan ruang-ruang baca aktual dalam edisi terbitan, dan masih dimanipulatif dengan berita-berita seputar momentum. Media jarang memberitakan kasus secara detail dan mengikuti setiap kasuistik yang telah terjadi. Momentum berita lebih dipentingkan oleh redaksi. Tidak ada satupun media yang terus mengikuti kronologis awal sampai akhirnya sebuah kasus.

Selain peran pemerintah, aparatur hukum, dan media yang telah tergradasi, masyarakat juga masih terpolarisasi akan budaya patriarkat yang menganggap perempuan dan anak sebagai orang yang lemah. Anggapan lemah ini mendiskripsikan perempuan dan anak hanya sebagai korban karena mereka memang adalah kaum yang lemah. Anggapan ini membentuk paradigma masyarakat jika terjadi kekerasan maka sudah sewajarnya ataupun kekerasan yang terjadi adalah sebagai akibat dari bentuk ketidakmampuan dari perempuan ataupun anak. Akumulasi-akumulasi dari cara pandang ini yang pada akhirnya membentuk primordialisme budaya.

Multilayered System
Multi layered system (MLS) dipahami sebagai bentuk pengawasan berlapis yang diadopsi oleh kalangan aktivis dalam melakukan kerja-kerja pendampingan dan advokasi sebuah kejadian. MLS merupakan kemitraan antara yudikatif, eksekutif, legislatif, dan masyarakat untuk memainkan peran masing-masing dalam melakukan pengontrolan kejadian kasus tanggap darurat agar sebuah kejadian tidak berkembang atau menyebabr menjadi borok. Kalangan Pemerintah, aparatur hukum dan legilatif harus melakukan kemitraan yang baik untuk menjerat pelaku-pelaku kekerasan dengan berbagai instrumen, bila perlu dapat ekstrim untuk memberikan efek jera. Masyarakat harus diberi penyadaran secara terus menerus agar dapat diubah mindset agar tidak terjebak budaya primordialisme yang sering merongrong nilai-nilai kesetaraan.

Selama ini pelaku-pelaku kekerasan selalu dibiarkan dengan aksinya tanpa mendapat perhatian serius dari negara (eksekutif, legislatif, dan aparatur hukum). Peran pendampingan oleh kalangan aktivis pun masih terhalang oleh kejanggalan-kejanggalan advokasi yang lebih bersifat reaksioner ditambah dengan peran media yang hanya mampu membackup berita tidak bersifat investigasi tetapi lebih menjadi corong informasi saja.

Catatan LBH APIK menjadi sebuah gelitik kritikan untuk NTT atas ketidakmampuan seluruh aparatur negara dalam merespon situasi darurat anak dan perempuan. Meskipun berbagai instrumen aturan telah dirancang dan ditetapkan menjadi peraturan yang mengikat namun jika lemah dalam pengontrolan dan pengawasan maka akan menjadi tulisan indah dalam sebuah dokumen yang mubasir. NTT perlu berbenah dan menginstropeksi instrumen yang telah ada namun menjadi tumpul atas tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Evaluasi akan setiap aturan perlu dilakukan untuk membatasi ruang gerak diskriminasi dan kekerasan sehingga metode terbaik adalah kemitraan empat pilar penunjang sebuah negara yaitu pemerintah, legislatif, yudikatif, dan masyarakat termasuk media, LSM, dan stakeholder lainnya untuk sama-sama melakukan fungsi pengontrolan berbasis pencerdasan warga.

Thursday, 30 January 2014

PELAYANAN PUBLIK PERSPEKTIF HAK WARGA NEGARA



Ian Haba Ora
Ketua FPAR Kota Kupang

Pengantar
Permasalahan publik hari ke hari kian menunjukkan carut marut yang tidak terselesaikan. Harapan warga dalam mengakses dan meminta tanggungjawab penyelenggara publik (baca pemerintah) untuk memberikan fungsi pelayanan yang baik, cepat, transparan, dan akuntabel belum optimal dan maksimal. Rumitnya akses informasi, pelayanan petugas yang tidak ramah, biaya yang tinggi, birokrasi yang panjang, dan ketiadaan mekanisme komplain yang memadai memberikan skeptisme dan rasa pesimistis warga untuk mendapatkan pelayanan publik yang efisien, efektif, dan cepat jauh panggang dari api.

Dunia kependidikan merupakan gambaran rumit yang sering tidak tertata baik mulai dari pelayanan terhadap hak-hak siswa di sekolah-sekolah sampai pada kewajiban negara dalam memenuhi kualitas pendidikan bagi anak didik siswa. Kepentingan siswa cenderung terabaikan dengan salah pandang (paradigma) tertentu yang terpolarisasi intrik tertentu, bahkan esensi dari suatu peningkatan pelayanan publik dikaburkan dengan birokratisasi yang panjang dan ketakutan tertentu dari penyelenggara publik pendidikan di sekolah-sekolah terhadap ancaman pimpinan-pimpinan daerah.

Beberapa data sampel yang dikumpulkan oleh rekan-rekan komunitas Kota Kupang terhadap rumitnya akses informasi dan pengakuan negara terhadap penerima manfaat (warga) tentang identitas siswa menjadi problema tersendiri ketika banyak warga yang mengadu sulitnya mendapatkan Surat Keterangan sebagai anak didik siswa pada sekolah-nya. Padahal, Surat Keterangan Siswa merupakan sesuatu hak yang dimiliki siswa ketika terdaftar pada suatu sekolah tempat siswa tersebut menuntut ilmu. Retorika absurt ini menjustifikasi bahwa pemerintah masih setengah hati ataupun belum terpahami sepenuhnya akan arti dari sebuah peningkatan penyelenggaraan publik.

Esensi dari pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (UU No. 25 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (1)). Jaminan ini terkesan menjadi instrumen rutinitas belaka yang tidak terkondensasi (terlaksana) dengan baik.

Pelayanan Publik
Manifestasi perlindungan negara terhadap warga negara wajib ditunjukkan melalui kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik dan merupakan amanat UUD 1945 sekaligus membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik. Selain itu, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggungjawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka disepakatilah konsensi melalui Undang-Undang Pelayanan Publik sebagai upaya peningkatan kualitas dan jaminan penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Penegasan penyelenggaraan pelayanan publik dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 merupakan derivasi (turunan) dari amanat konstitusi yang tercantum dalam UUD 1945 seperti pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 281 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3). Selain itu, jaminan penyelenggaraan pelayanan publik juga tidak terlepas dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Pasal 3 dalam UU Pelayanan Publik menegaskan bahwa tujuan dilakukan pengaturan pelayanan adalah untuk terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik, terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Begitu pentingnya penciptaan pemerintah yang bersih dan baik melalui instrumen, struktural, dan perilaku demi terwujudnya profesionalitas dan akuntabilitas penyelenggara publik namun masih menyisahkan persoalan serius ketika banyak penerima manfaat (warga) mengeluh akan setiap pelayanan hak warga yang tidak sesuai harapan.
           
Ambiguitas Pelayanan Publik
Ketika negara menjamin hak warga negara dengan memberikan ruang kebijakan dan program demi perbaikan kualitas dan menjawab kebutuhan warga negara, namun masih dibarengi manipulasi perilaku aktor-aktor penyelenggara publik untuk membatasi bahkan mengeliminasi kepentingan publik. Justifikasi (pembenaran) ini dapat diperhatikan dari data komunitas FPAR Kota Kupang yang menemukan pengeluhan warga ketika ingin mengakses dan meminta hak anak-anak mereka untuk mendapatkan Surat Keterangan Sekolah yang menyatakan bahwa anak mereka terdaftar sebagai anak didik siswa pada sekolah tersebut. Berbagai alasan yang tidak masuk akal dilakoni oleh Kepala Sekolah dan aparatur sekolah lainnya untuk tidak memberikan Surat Keterangan tersebut.

Sesuai dengan kewajiban penyelenggara publik, ketika ada hak penerima manfaat publik, maka penyelenggara harus memenuhi sesuai aturan perundangan yang belaku, tidak berdasarkan logika absurt. Konyol ketika hak-hak warga dibatasi hanya didasarkan dugaan-dugaan manipulatif kepentingan tertentu. Aparatur publik cenderung mengaitkan kewenangan yang dimiliki untuk dipolitisir menjadi stigmatisasi (vonis negatif) ketika manfaat publik dimiliki dan diberikan pada warga negara.

Contoh kasus pengaduan warga yang diterima FPAR Kota Kupang dari seorang warga yang anaknya bersekolah di SMP milik Pemerintah Kota Kupang bahwa anak-nya tidak diberikan surat keterangan sebagai siswa di sekolah tersebut karena dianggap mendapatkan bantuan beasiswa di luar dari yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Pertanyaannya adalah bahwa Surat Keterangan Siswa merupakan hak siswa atau tidak? Jika permasalahannya adalah dipergunakan untuk apa, berati ada konsekuensi hukum dari pengguna tersebut secara klausa hukum. Bukan dikarenakan dugaan emosional dengan kewenangan yang dimiliki mengeliminasi hak-hak warga negara.

Terpaan logika semu selalu menghalau harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang betul-betul memenuhi rasa keadilan dan tanggungjawab negara untuk melindungi warga negara. Warga negara selalu dijadikan korban pemikiran semu dan tidak pada tempatnya, dapat menghambat esensi dari amanat Undang-Undang penyelenggaraan publik itu sendiri.

Pemerintah seharusnya mulai berpikir untuk terus mensosialisasikan esensi dari Undang-Undang Pelayanan Publik untuk dapat diketahui oleh aparatur negara sehingga pelayanan publik tidak harus terhambat akibat cara pandang dari aparatur sekolah yang lemah bahkan di luar dari konteks hak warga negara.

Penutup
Mengharapkan terciptanya pertanggungjawaban pemerintah (baca sekolah-sekolah) untuk memenuhi hak warga negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009. Namun belum terimplementasi baik dikarenakan ketidakpahaman dan ketidaktahuan aparatur struktural pemerintah untuk melaksanakan amanat UU tersebut mulai dari pemimpin daerah hingga jabatan struktural yang paling bawah. Selain itu, masalah perilaku aktor negara untuk menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) menjadi gambaran realitas telah terjadi pembunuhan hak-hak warga negara untuk mengakses dan memintah akuntabilitas penyelenggara publik.

Warga negara perlu melakukan upaya kritis dalam meminta pertanggungjawaban penyelenggara publik yang tidak sesuai dengan mekanisme dan amanat konstitusi. Warga negara harus berani menuntut penyelenggara publik agar memberikan hak-hak anak didik siswa karena itu merupakan kewajiban penyelenggara.

UU Desa Dan Harapan Baru


Ian Haba Ora
Ketua FPAR Kota Kupang Dampingan PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi oleh SKH TIMEX-Selasa, 7 Januari 2014

Pengantar
Prinsip reformasi tahun 1999 menjadi perhatian khusus dalam penataan bangsa untuk terus mengefisiensikan era transformasi sentralistik ke otonomi daerah. Daerah diberikan keleluasan untuk dapat mengatur urusan rumah tangga daerahnya sendiri sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004.  UU tersebut menggaris bawahi bahwa Daerah Otonom berwenang mengurus urusannya sendiri terkecuali politik luar negeri, Pertahan dan keamanan, agama, kebijakan moneter, dan kehakiman (yudikatif).

Kebijakan otonomi daerah ini ternyata tidak diikuti oleh prinsip demokrasi oleh daerah-daerah untuk lebih mengefektifkan pelayanan publik sebagai bentuk pendekatan responsif dalam kemanfaatan pada masyarakat.

Ironisme akut juga ketika setiap harapan masyarakat melalui Musrembangdes, Musrembangcam, sampai musrembangkab/kota tidak ada satupun program dan kebutuhan masyarakat terealisasi. Setiap rancangan menjadi isapan jempol semata dan sebatas pada tulisan indah yang dibahas. Desa menjadi kebo congek yang selalu mengikuti program yang diturunkan oleh pemerintah daerah yang tidak menyentuh kebutuhan masyarakat.

Selain itu, pemerintah tidak pernah memikirkan kontektualisasi budaya dan kearifan lokal yang ada dimasyarakat desa. Budaya gotong royong dan kekeluargaan yang ada di desa luntur akibat program proyek-proyek dari Pemda setempat. Desa hanya dijadikan sebagai objek realisasi keuntungan proyek pemerintah, dan lebih parah adalah desa menjadi sarana politisir oleh arogansi pemerintah.

Nominal anggaran daerah untuk pembangunan daerah tidak pernah terdistribusi secara transparan dan akuntabel. Desa hanya dijadikan sebagai sarana pembangunan fisik infrastruktur tanpa dipikirkan potensi-potensi desa untuk mendukung pembangunan. Akibatnya infrastruktur desa tidak mendukung potensi tersebut, misalkan infrastruktur jalan dibutuhkan masyarakat dalam mendukung transportasi hasil kebun dan persawahan namun Pemda menurunkan pembangunan waduk-waduk yang sedianya telah ada dukungan pengairan yang selama ini ada di masyarakat untuk bercocok tanam.

Realitas ini menjadikan desa seolah-olah di “stir” oleh kepentingan Pemda. Oleh karena itu, untuk menjawab agar desa itu mandiri dan profesional dalam peningkatan pelayanan publik serta idependensi desa maka perlu diatur dalam bentuk instrumen. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius dalam pendekatan desa mandiri dan profesional yaitu: harus dipisahkan akan identitas desa baik strukturnya secara pemerintahan dan kearifan lokal desa tersebut; perlu ada indikator kinerja hak dan kewajiban dari pemangku kepentingan desa dan partisipasi masyarakat; perlu ada alokasi anggaran yang propoor dalam konteks angka (“minimal persentase rupiah bagi desa”) agar menjadi pengelolaan berbasis kinerja. Tiga hal ini menjadi penting untuk menuju desa yang mandiri.

Perjuangan RUU Desa
18 Desember 2013 menjadi tonggak sejarah baru dalam kemandirian desa untuk lebih dioptimalkan pembangunan berbasis kinerja. Sekian lama RUU Desa yang menjadi polemik akhirnya teralisasi dengan baik untuk disahkan menjadi Undang-Undang yang baru. UU ini diharapkan menjadi semangat dan roh baru untuk lebih memaksimalkan kinerja pemerintahan desa. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang yaitu bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; selain itu dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Realisasi RUU ini menjadi UU tidak terlepas dari perjuangan Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk menggerakkan mesin partai Demokrat mendukung disahkannya UU Desa sebagai RUU Inisiatif Pemerintah. Alhasil UU Desa dapat diterbitkan dan terdaftar dalam lembaran negara Republik Indonesia. DR Jefri Riwu Kore, MM.,MH calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat Nomor Urut 2  pernah berkata “Berdasarkan UU tersebut, setiap desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari belanja pusat dan dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan berbasis desa yang penggunaannya 30% untuk operasional dan 70% untuk program pembangunan”. Ir. Sarah Lery Mboeik calon Anggota DPD RI asal NTT Nomor Urut 33 pun mendukung pembicaraan koleganya bahwa “total dana yang dialokasikan tersebut mencapai 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus”. Dengan kata lain, dana sekitar Rp 104,6 triliun bila dibagi untuk sekitar 72.000 desa maka setiap desa mendapatkan dana sekitar Rp 1,4 miliar per tahun. Chris Petrus Mboeik Calon Anggota DPRD Propinsi NTT dari Partai NASDEM Dapil Kota Kupang Nomor Urut 2 mengatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Desa sudah tentu desa diberi ruang untuk berekspresi dan berkreativitas menuju kemandirian desa yang profesional dan bersinergi sesuai potensi daerah dan dalam UU ini juga ada penghargaan positif terhadap nilai-nilai kebudayaan dengan diakui adanya desa adat.

UU Desa disahkan
Desa sebelumnya memiliki dasar hukum yuridis dalam UU nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana desa sebagai pembantu dalam penyelenggaraan publik pada aras paling bawah. Tetapi pada UU Desa menegaskan pangaturan lebih terperinci tentang asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan pedesaan, badan usaha milik desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, Undang-Undang Desa mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk desa adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.

Ada beberapa hal kemajuan dari disahkannya UU Desa dibandingkan ketika masih terinklave dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu: UU Pemerintahan Desa hanya mengatur kelembagaan desa dimana desa dianggap sebagai otoritas kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI. Namun pengertian ini telah diubah pada UU Desa Pasal 1 ayat (1) diperluas pengertiannya menjadi desa dan desa adat. Pangklasteran ini memungkinkan optimalisasi kerja-kerja berbasis kearifan lokal dan potensi desa. Jabatan kepala desa pada UU 32/2004 yang semula 2 periode ditambah menjadi 3 periode atau 18 tahun masa jabatan. Asas pengaturan yang semula desentralisasi botom up yang abstrak makin diperjelas dalam UU desa dengan asas pengaturan rokognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, keberlanjutan berbasis lokal. Sehingga desentralisasi yang bersifat top down abstrak pada UU 32/2004 lebih disensitivitas dominan bottom up. Selain itu, kewenangan, hak dan kewajiban kepala desa diatur lebih terintegratif dan jelas pada UU Desa. Begitupun profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi tertata dalam mekanisme desa dan warga desa berserta perangkat desa tergambar cukup jelas termasuk hak dan kewajiban kepala desa dan warga desa. Hal yang lebih memantapkan kemandirian pembangunan berbasis desa adalah ketentuan khusus dalam UU Desa yang mengatur bawa setiap desa minimal mendapat alokasi anggaran desa minimal sebesar 10% dari APBN yang teralisasi. Jika dengan statistik saat ini berkisar 72.000 desa dengan 104,6 triliun rupiah maka desa ditaksir mendapatkan 1,4 M per tahun. Angka fantastis yang diberikan negara oleh pemerintahan SBY untuk berinisiatif memuluskan pembahasan RUU Desa di parlemen.

Penutup
Desa dalam bingkai NKRI boleh berlega hati karena RUU Desa telah disahkan menjadi Undang-Undang untuk dioptimalisasi dalam pembangunan berbasis desa. Abstraksi yang selama ini ada pada istrumen Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah tergeser dan diperjalan dalam UU Desa.

Desa saat ini diberi ruang untuk mengoptimalisasi dan memaksimalkan kinerja agar pembangunan pedesaan dapat berjalan optimal dibandingkan dengan kejadian-kejadian lalu yang menganggap desa sebagai objek pembangunan Pemda tanpa memikirkan pendekatan lokal sesuai potensi desa.

TRANSLATE: