Ian Haba Ora
(Ketua FREEPublik NTT)
Publikasi
oleh Victory News pada Selasa, 28 Januari 2014
Pengantar
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
sedang dalam situasi darurat anak yang serius. Pasalnya, 58% (115 anak-anak)
telah menjadi korban penjualan manusia(trafficking),
penganiayaan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Sebanyak 41% sisanya dialami
perempuan dewasa dan satu persennya oleh laki-laki. Demikian catatan akhir
tahun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTT sepanjang tahun 2013 (Victory News,
19 Januari 2014). Masih pada edisi yang sama, Dany Manu Koordinator Divisi
Perubahan Kebijakan LBH APIK NTT mengatakan pemberitaan media terkait perempuan
dan anak paling banyak diberitakan oleh koran Victory News (43%), Pos Kupang
(36%), dan Kursor (21%).
Hasil riset deskriptif yang dilakukan
LBH APIK dapat menjadi referensi bahwa NTT belum maksimal dalam memberantas
bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pemerintah baik provinsi
dan Kabupaten/Kota belum mampu memaksimalkan peran pemberdayaan perempuan dan
anak untuk meminimalisir bahkan menghilangkan bentuk kekerasan yang terjadi.
Begitupun Kepolisian masih menganggap bahwa kekerasan terhadap perempuan dan
anak sebagai bentuk pelanggaran subjektif dimana perempuan masih dianggap
sebagai penyebab kekerasan yang terjadi. Ironinya, setiap kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak selalu dimanipulatif sebagai upaya damai tanpa
memberikan efek hukum dan pidana pada pelaku kekerasan. Selain itu, paradigma
warga akan budaya patriarkat menjadikan anggapan perempuan dan anak adalah kaum
korban dan dampaknya adalah posisi tawar perempuan dan anak selalu menjadi
orang yang dinomor duakan. Media sebagai pusat pembentuk opini dan cara pandang
dalam pemberitaan belum semaksimal mungkin untuk memberikan pencerdasan pada
masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini banyak media yang meninggalkan ruang publik
dengan banyaknya iklan dan berorientasi bisnis. Dampak dari
ketidakprofesionalan dan ketidakpedulian empat pilar pendukung turunnya angka
kekerasan terhadap perempuan dan anak, yakni Pemerintah, Kepolisian,
Masyarakat, dan Media menjadikan NTT berada pada situasi darurat anak.
Namun ada satu hal yang belum
sepenuhnya disadari yaitu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak
sepenuhnya tidak saja terjadi secara fisik tetapi lebih daripada itu sejauh
mana penghargaan dan kepedulian terhadap ruang publik bagi perempuan dan anak
mendapatkan hak-haknya secara psikis dan ruang kebebasan.
Degradasi Peran Pemerintah, Kepolisian, Media, dan
Masyarakat
Berbicara tentang tingginya angka
kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di NTT tidak lepas dari
peran Pemerintah untuk melakukan tindakan pembiaran. Pemerintah tidak tegas
untuk menerapkan aturan-aturan melalui instrumen-instrumen yang telah dimiliki
seperti Perda Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak dan Perda Nomor 9
Tahun 2012 Tentang Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkerja. Biro Pemberdayaan
Perempuan dan Anak sebagai nahkoda dalam mensosialisasikan peran pemerintah
untuk menekan angka kekerasan terasa tumpul dan mati suri. Pemerintah masih
bersifat reaktif ketika sebuah kejadian bersifat aktual dan booming di masyarakat. Bahkan Pemerintah dapat menjadi aktor
pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kurang sensitifnya pemerintah
dalam memberikan kesempatan pada perempuan untuk memimpin merupakan sebuah
bentuk kekerasan. Isu gender hanya dipakai pemerintah sebagai media kampanye
dan propaganda untuk menutupi kebohongan yang terjadi. Bentuk pelecehan seksual
oleh aparat pemerintah juga merupakan cara mendiskriminasi perempuan sebagai
korban. Tingginya angka putus sekolah menjadikan citra buruk bahwa pemerintah
belum sensitif hak-hak anak.
Kepolisian yang diharapkan sebagai
garda terdepan penuntutan hukum masih belum mampu menunjukkan keperkasaannya.
Impotenitas kepolisian masih merajalela dengan mengendapnya kasus hukum
kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak. Perempuan dan anak masih dianggap
sebagai subordinitas yang dapat dibawah ke ranah hukum apabila jalur
kekeluargaan tidak mampu lagi ditempuh. Pelaku kekerasan masih dapat bebas dari
jeratan hukum apabila kekerasan tersebut tidak membuahkan kematian.
Anggapan-anggapan primordialistik seperti ini yang membuat aktor-aktor
kepolisian mengganggap kekerasan terhadap perempuan dan anak belum menjadi
sesuatu hal yang penting. Mungkin juga disebabkan pemahaman gender dan hak
asasi manusia yang belum sepenuhnya terinternalisasi dengan baik ditubuh Polri.
Media massa dan elektronik sebagai
trajektori (peluru) pembentuk opini dimasyarakat melalui pemberitaan belum
mampu memberikan pencerdasan dan juga ruang publik berita lebih banyak diisi
oleh iklan-iklan bisnis. Orientasi bisnis inilah yang terkadang menjadikan
ruang baca dan ruang nonton publik dalam mendapatkann informasi tidak tersampaikan
dengan baik. Media yang awal-awalnya idealis dan bersifat kritis menjadi suram
dengan pembentukan opini berganti gegap gempita dalam keuntungan bisnis. Jika
mau jujur, NTT telah memiliki bayak media baik visual maupun audio visual
tetapi mengapa masyarakat lebih banyak disuguhi dengan pemberitaan advetorial.
Media belum mampu memetakan ruang-ruang baca aktual dalam edisi terbitan, dan
masih dimanipulatif dengan berita-berita seputar momentum. Media jarang
memberitakan kasus secara detail dan mengikuti setiap kasuistik yang telah
terjadi. Momentum berita lebih dipentingkan oleh redaksi. Tidak ada satupun
media yang terus mengikuti kronologis awal sampai akhirnya sebuah kasus.
Selain peran pemerintah, aparatur
hukum, dan media yang telah tergradasi, masyarakat juga masih terpolarisasi
akan budaya patriarkat yang menganggap perempuan dan anak sebagai orang yang
lemah. Anggapan lemah ini mendiskripsikan perempuan dan anak hanya sebagai
korban karena mereka memang adalah kaum yang lemah. Anggapan ini membentuk
paradigma masyarakat jika terjadi kekerasan maka sudah sewajarnya ataupun
kekerasan yang terjadi adalah sebagai akibat dari bentuk ketidakmampuan dari
perempuan ataupun anak. Akumulasi-akumulasi dari cara pandang ini yang pada
akhirnya membentuk primordialisme budaya.
Multilayered System
Multi layered system (MLS) dipahami
sebagai bentuk pengawasan berlapis yang diadopsi oleh kalangan aktivis dalam
melakukan kerja-kerja pendampingan dan advokasi sebuah kejadian. MLS merupakan
kemitraan antara yudikatif, eksekutif, legislatif, dan masyarakat untuk
memainkan peran masing-masing dalam melakukan pengontrolan kejadian kasus
tanggap darurat agar sebuah kejadian tidak berkembang atau menyebabr menjadi
borok. Kalangan Pemerintah, aparatur hukum dan legilatif harus melakukan
kemitraan yang baik untuk menjerat pelaku-pelaku kekerasan dengan berbagai
instrumen, bila perlu dapat ekstrim untuk memberikan efek jera. Masyarakat
harus diberi penyadaran secara terus menerus agar dapat diubah mindset agar tidak terjebak budaya
primordialisme yang sering merongrong nilai-nilai kesetaraan.
Selama ini pelaku-pelaku kekerasan
selalu dibiarkan dengan aksinya tanpa mendapat perhatian serius dari negara
(eksekutif, legislatif, dan aparatur hukum). Peran pendampingan oleh kalangan
aktivis pun masih terhalang oleh kejanggalan-kejanggalan advokasi yang lebih
bersifat reaksioner ditambah dengan peran media yang hanya mampu membackup
berita tidak bersifat investigasi tetapi lebih menjadi corong informasi saja.
Catatan LBH APIK menjadi sebuah gelitik
kritikan untuk NTT atas ketidakmampuan seluruh aparatur negara dalam merespon
situasi darurat anak dan perempuan. Meskipun berbagai instrumen aturan telah
dirancang dan ditetapkan menjadi peraturan yang mengikat namun jika lemah dalam
pengontrolan dan pengawasan maka akan menjadi tulisan indah dalam sebuah
dokumen yang mubasir. NTT perlu berbenah dan menginstropeksi instrumen yang
telah ada namun menjadi tumpul atas tingginya angka kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Evaluasi akan setiap aturan perlu dilakukan untuk membatasi
ruang gerak diskriminasi dan kekerasan sehingga metode terbaik adalah kemitraan
empat pilar penunjang sebuah negara yaitu pemerintah, legislatif, yudikatif,
dan masyarakat termasuk media, LSM, dan stakeholder
lainnya untuk sama-sama melakukan fungsi pengontrolan berbasis pencerdasan
warga.