SELAMAT MEMBACA

Thursday 1 August 2013

REFORMASI PENGADILAN

NURANI HAKIM DALAM SIDANG PENGADILAN
Oleh. Ian Haba Ora

Pendahuluan
Sevan Aome (2013:2) menyatakan keadilan terjadi ketika hakim memutuskan dan mengetuk palu dalam suatu perkara dipengadilan, artinya  bahwa keadilan terletak pada akhir sebuah keputusan tetap. Namun itu belum tentu adil menurut yang berpekara (korban/pelaku, pemohon/termohon). Tetapi yang perlu dipahami juga bahwa nilai sebuah keadilan terletak pada bagaimana proses memperoleh dan mendapatkan keadilan adanya hukum/aturan yang berpihak pada kebenaran, penegak hukum yang memiliki moral kemanusiaan, sistem dan mekanisme persidangan yang memiliki kewibawaan dan etika, serta alat-alat bukti pendukung yang secara sah diakui (saksi, dokumen, surat, dan lain-lain). Paul SinlaEloE dalam sebuah kesempatan pun menuturkan suatu negara telah dianggap menerapkan nilai keadilan, indikatornya adalah “apabila setiap orang dalam negara telah menerima apa yang menjadi haknya” maka keadilan telah terlaksana dengan baik di negara tersebut. Jadi nilai keadilan berhubungan dengan hak sehingga nilai keadilan merupakan hak yang tidak minta tetapi harus diberikan, yang dituntut adalah kewajiban.

Secara legalistik, suatu kasus mendapat nilai keadilan ketika mendapat kepastian hukum tetap, yaitu melalui sebuah persidangan di pengadilan. Namun ironi ketika secara proses pengadilan didapati berbagai hal kejanggalan hukum dalam memutus sebuah perkara oleh hakim. Beberapa contoh berikut ini merupakan klausa paradoxal hukum di Indonesia.

Seorang anak di Kota Palu, Sulawesi Tengah, diseret ke Pengadilan Negeri Palu karena dituduh mencuri sandal senilai Rp 30 ribu milik Brigadir Satu Ahmad Husni Harahap, anggota polisi. Aal terancam hukuman lima tahun penjara (http://news.liputan6.com/read/368775). Seorang nenek dijatuhi vonis penjara 2,5 tahun dan denda 1 juta rupiah oleh pengadilan karena dituduh mencuri singkong untuk anak lelakinya yang sakit dan cucunya yang lapar (http://menone.wordpress.com). Di Kupang, seorang anak dibawa ke Pangadilan oleh ibu angkatnya dengan tuduhan mencuri bunga. Anak itu mengaku mencuri bunga dan menjualnya ke tetangga karena dia membutuhkan ongkos sekolah. Sementara di Sinjai Selatan, Sulawesi Selatan, seorang kakek disidangkan dengan tuduhan mencuri 0,5 ons merica (http://trianatanti.blogspot.com/2012_04_01_archive.html).

Beberapa kasus tersebut diatas merupakan sepenggal kepastian hukum persidangan terhadap orang-orang miskin yang melakukan kejahatan karena kebutuhan hidup yang mendesak. Coba kita bandingkan dengan beberapa kasus besar seperti korupsi yang melibatkan orang-orang berkuasa yang dalam proses persidangan mendapat tuntutan hukum yang ringan bahkan beberapa diantaranya divonis bebas. Misalkan 4 (empat) pejabat Magetan yang disidangkan karena korupsi pengadaan KIR Bendo dibebaskan pangadilan (http://www.lensaindonesia.com). Khusus NTT dari catatan PIAR NTT dalam pemantauan korupsi di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur mengindikasikan propinsi terkorup dan jauh dari penanganan kasus yang responsif. Keseluruhan kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT ini, tersebar di 20 (Dua Puluh) Kab/Kota dan 1 (satu) daerah dekonsentrasi yakni, Prov. NTT. Peta penyebaran kasus per-wilayah cukup merata, yakni berkisar antara 1 – 20 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Kab. Rote Ndao dengan 20 kasus dan di “susul” oleh jajaran pemerintahan  Prov NTT dengan 17 kasus, Kota Kupang 15 kasus, Kab. TTS 13  kasus, Kab. Sikka 13 kasus, Kab. Manggarai 9 kasus, Kab. Flores Timur 8 kasus, Kab. TTU  7  kasus, Kab. Ende 7 kasus, Kab. Kupang 5 Kasus, Kab. Belu 4 kasus, Kab. Alor 4 kasus, Kab. Sumba Barat Daya 2 kasus, Kab Sumba Timur 2 kasus, Kab. Manggarai Barat 2 kasus, Kab. Lembata 2 kasus. Selanjutnya di Kab. Sumba Barat, Kab. Nagakeo, Kab. Manggara Timur dan Kab Sabu Raijua masing-masing terdapat 1 kasus, dari beberapa kasus tersebut masih sebatas bolak balik kejaksaan-kepolisian (Paul SinlaEloE,2013).

Penanganan kasus-kasus di atas merupakan fenomena aktual yang hingga kini masih menjadi tandatanya sejauhmana kesiapan pengadilan untuk dapat memberikan nilai keadilan sepenuhnya bagi rakyat Indonesia.

Keadilan Dalam Ruang Sidang
Rahasia umum menganggap siapapun yang berperkara hukum di pengadilan, yang menjadi indikator keadilan adalah yang memiliki jabatan, kekuasaan, dan harta. Semakin miskin seseorang maka semakin jauh dari nilai keadilan. Korelasi ini juga berkaitan dengan makin jauh terhadap indikator kepemilikan jabatan, kekuasaan, dan harta maka akan tersisihkan dari sebuah proses peradilan yang bersih. Akibatnya, kaum miskin dan kaum marginal dikorbankan dalam sebuah putusan hukum pengadilan. Apakah jabatan, kekuasaan, dan harta telah mampu untuk membeli hakim dan jaksa, sehingga aparatur pengadilan dapat mudah diatur dan dintervensi (puppet tool/boneka)? Sungguh tragis pengadilan di Indonesia. Kasus yang melibatkan “orang-orang besar” hanya sebatas pada bolak-balik kasus antara kepolisian dan kejaksaan, dan jika dinyatakan lengkap oleh jaksa dan disidangkan maka giliran hakim untuk disuap/sogok agar dapat meringankan putusan, dan lebih parah adalah jika tersangka korupsi dibebaskan dengan keputusan pengadilan.     

Kasus pencurian pisang, sendal, merica, bunga, dan singkong merupakan segelintir kasuistik yang melibatkan orang miskin dan marginal melakukan kejahatan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok. Kejahatan itupun hanya bersifat causal subjektif antara “si miskin dan si empunya”, tidak ada kaitannya dengan orang lain. Tapi ironis, penegakan hukum pengadilan terhadap mereka seolah-olah harus cepat mendapat vonis, dan hukuman pun lebih berat dari para koruptor. Memang harus diakui bahwa, setiap kejahatan tidak dapat ditolerir, apapun bentuknya. Klausa hukum ini merupakan basis negara sebagai implementasi negara hukum untuk pembelajaran warga masyarakat dalam pentaatan akan hukum (the rule of law).

Coba kita perhatikan penanganan kasus di NTT, catatan PIAR NTT membuktikan bahwa pengadilan masih menjadikan kasus korupsi sebagai retorika dan hegemoni kekuasaan yang korup. Diperparah lagi setiap kasus korupsi di NTT syarat dengan dugaan ATM berjalan. Kasus korupsi dijadikan sebagai kasus pemerasan Polisi, Jaksa, dan Hakim. Dengan demikian yang terjadi adalah nilai keadilan dalam sebuah kepastian hukum akan kabur dan keadilan pun menjadi semu.

Beberapa pakar berpendapat bahwa hukum harus ditegakkan (the rule of law) dan accountable (bertanggungjawab). Namun pendapat ini perlu dicermati kembali atas dalil penanganan kasus yang tidak bersifat equal. Equal artinya, pendapat hukum (Undang-Undang, Sistem, dan Culture) harus merunut pada pemerataan kasus sesuai dengan tingkat kejahatan berdasar nurani. Peradilan dinegeri ini sangat tertutup dan anti kritik, berdiri sendiri dan jauh dari keterlibatan masyarakat (Standing institution). Hal ini diakibatkan tidak adanya akses keterbukaan akses masyarakat terhadap sistem peradilan, sehingga bangunan sistem peradilan jauh dari partisipasi masyarakat. “Hakim adalah Pengadilan Tuhan”, pendapat umum ini sangat absurt dan tidak rasional, para hakim tidak luput dari kesalahan. Sebagai warga negara yang baik, kita berkewajiban untuk patuh pada putusan hakim (pengadilan), akan tetapi fakta menunjukkan putusan hakim terkadang tidak seimbang dalam penjatuhan hukuman dipengadilan. Beberapa kasus di atas merupakan metafora kasus yang sedang terjadi di Indonesia.

Hukum semakin menjadi sorotan ketika proses penegakan hukum sering dinilai oleh publik tidak menghasilkan keputusan yang memenuhi rasa keadilan. Tantangan bagi tegaknya hukum dimasa depan terletak pada kualitas kemampuan aparat penegak hukum untuk mencermati pluralisme (kemajemukan) masyarakat yang masih kental menghormati serta menjunjung tinggi norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam komunitas adat. Masyarakat yang berharap munculnya dewi keadilan dalam setiap hukum dilembaga formal, sering memendam rasa kecewa akibat para penegak hukum tidak sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya sebagai pengayom independen dalam memutus perkara. Ketidaksempurnaan hukum justeru dimanfaatkan oleh otoritas penegak hukum untuk berlaku “konyol” sehingga menghasilkan sebuah keputusan yang beraroma penyimpangan yuridis (Rutha Adhy, 2007).

Penutup
Seyogianya saat ini, aparatur pengadilan mulai untuk berpikir secara nurani untuk mampu melakukan diskresi dalam memutus suatu perkara di ruang sidang pengadilan. Dipahami bahwa setiap pelanggaran dan kejahatan merupakan kriminal, namun lebih daripada itu, banyak kejahatan emosional dilakukan karena kebutuhan pokok. Kasus pencurian sandal dan singkong tidak dapat disamakan dengan kejahatan jambret yang dapat membahayakan orang lain. Nurani hakim dan jaksa seharusnya menjadi moral untuk dikedepankan dalam sebuah perkara sidang pengadilan.

Referensi:
Aome, Sevan. 2013. Keadilan Gratis Bagi Si Miskin. Belum dipublikasi.
Rutha Ady, I. N. 2007. Ironi Penegakan dan Pluralisme Hukum. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/11/3/o2.htm. (12 Juli 2013)
SinlaEloE, Paul. 2013. Catatan Korupsi Akhir Tahun 2012-PIAR NTT. Sektor Pelayanan Publik Terkorup di Nusa Tenggara Timur. http://paulsinlaeloe.blogspot.com/2013/01/catatan-korupsi-akhir-tahun-2012-piar.html. diunduh 31 Juli 2013.

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

TRANSLATE: