SELAMAT MEMBACA

Friday 27 September 2013

PENGKHIANATAN SATPOL PP TERHADAP KEDAULATAN



Satpol PP & Pengrusakan Ruang Publik

Oleh. Ian Haba Ora

Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

(Opini ini dipublikasi Harian Kota “KURSOR” pada Jumat, 27 September 2013)


Pengantar
Beberapa media cetak maupun elektronik di NTT memberitakan Satpol PP telah melakukan penggusuran secara paksa dan melakukan tindakan-tindakan arogansi pada warga yang dianggap sebagai pembangkang amanat Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah. Salah satu media pers di NTT (Rabu, 18 September 2013) menurunkan rumor “Pol PP Kota Tebang Pilih” dalam melakukan penggusuran. Sumber media menyebutkan, ada oknum anggota Satpol PP Kota Kupang yang memanfaatkan kesempatan penertiban PKL untuk mengais rezeki sampingan. Indikasi ini terlihat dalam operasi penertiban di pertigaan Pulau Indah dan RSUD Prof WZ Johanes Kupang. Bahkan ditempat lain, pengusaha yang punya kepentingan terhadap PKL di lokasi tertentu, justru membayar oknum anggota Pol PP agar para PKL digusur.

Realitas menunjukkan bahwa penggusuran yang dilakukan lebih mengutamakan prosedur dibandingkan dengan hak konstitusional warga atas pekerjaan. Selain itu, penggusuran terhadap sejumlah warung kopi (PKL) merupakan pengabaian substansi interaksi dalam proses berdemokrasi. Penggusuran dilakukan tanpa solusi, dan penggusuran atas imbalan jasa pihak ketiga.

Ironi ketika negara yang menganut prinsip demokrasi dan asas desentralisasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini harus tereliminasi arogansi Pemda melalui Satpol PP. Amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” merupakan pertanggungjawaban jaminan konstitusional terhadap hak rakyat (warga negara) untuk berdaulat di negara ini.

Negara dalam perspektif kedaulatan
Miriam Budiardjo (2008) menyatakan empat unsur negara, yaitu wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan. Robert M. Maclver mendeskripsikan negara sebagai asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk dimaksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. Perspektif ini menegaskan penciptaan hukum antara rakyat dan negara yang melahirkan sejumlah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam wilayah kedaulatan negara tersebut.

Ketidakpahaman dan ketidaktahuan perspektif hukum negara dan kedaulatan rakyat oleh aparatur negara (baca: Pemerintah dan Satpol PP) melahirkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang menyebabkan tirani dan kesengsaraan rakyat (Rudi Tonubessie, 2009; Dumul Djami & Sarah Lery Mboeik, 2011).

Ide kekuasaan dan kedaulatan ada di tangan rakyat dikemukakan Epicurus melalui ajaran individualisme dimana memposisikan individu bagian terpenting suatu negara. Adanya negara merupakan jawaban atas kontrak sosial untuk pemenuhan kepentingan kesejateraan rakyat (Paul SinlaEloE, 2013:2). Ajaran ini sejalan dengan pendapat Marsilius bahwa proses terciptanya pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat diawali adanya penyerahan tugas (pactum subjectiones) melalui suatu konsesi (concession).

Marsilius berpendapat kekuasaan negara yang tertinggi ada pada rakyat sehingga dapat diartikan kedaulatan itu ada pada tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal ini disebabkan karena negara sebagai kesatuan dari orang-orang bebas dan merdeka, sehingga tidak mungkin seseorang itu menguasai orang lainnya secara mutlak. Kekuasaan rakyat yang berdaulat dan raja (baca: pemerintah) yang melaksanakan kedaulatan rakyatnya. Simpulannya adalah dengan adanya penyerahan tugas (pactum subjectiones) melalui konsesi (concessio), pemerintah hanya berhak untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat (Tonubessie, 2009).

Metamorfosis konsep negara ini, Jean Jacques Rousseau memprakarsai teori kedaulatan rakyat “Kontrak Sosial (Teori Perjanjian Masyarakat/du contract social), yaitu negara terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. Kedaulatan itu lahir akibat adanya pernyataan kehendak rakyat, melalui (i) perjanjian bersama antar anggota-anggota masyarakat untuk saling menjaga hak-haknya yang disebut volunte generale; dan (ii) perjanjian antara anggota masyarakat dengan sekelompok orang untuk menjaga supaya perjanjian dilaksanakan oleh para anggota masyarakat yang disebut volunte de tous. Rousseau juga mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat (du contract social), maka orang menyerahkan kebebasan hak-hak serta wewenangnya pada rakyat seluruhnya, yakni natural liberty dalam suasana bernegara kembali sebagai civil liberty (Paul SinlaEloE & Lery Mboeik, 2011).

Konsep teori ini didukung oleh Mohammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Konsekuensinya adalah rakyat yang akan menentukan berbagai kebijakan serta cara bagaimana seharusnya pemerintahan itu diselenggarakan. Rakyat juga yang akan menentukan ke arah mana tujuan yang hendak dicapai oleh negara serta pemerintahannya.

Ruang publik perspektif Jurgen Habermas
Jurgen Habermas seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman, generasi kedua Mazhab Frankfurt, penerus teori kritis pendahulunya (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse), menyatakan ruang publik memiliki peran terpenting berdemokrasi, wahana diskursus masyarakat dimana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif, tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan politis warga; bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom didalamnya, mudah diakses semua orang, dari ruang publik ini terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.

Ruang publik menurut Habermas terdapat dimana-mana sebagai tempat para aktor masyarakat warga membangun ruang publik, seperti pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Kita tidak dapat membatasi ruang publik. Teori Habermas ini dikenal dengan “Demokrasi Deliberatif”.

Kata “deliberasi” berasal dari bahasa latin deliberatio (deliberatio:Inggris) memiliki arti konsultasi, menimbang-nimbang, atau dalam istilah politik adalah musyawarah. Makna tersiratnya adalah diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.

Teori ini tidak berfokus pada pandangan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu. Teori ini membantu untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu. Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya dan dengan sendirinya warganegara tunduk terhadap sistem. Teori ini didukung Paul SinlaEloE (2011) bahwa jika salah satu atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik dalam suatu ruang publik, maka akan sangat mengganggu sistem yang ada dalam ruang publik.

Penutup
Mencermati akan maraknya penggusuran PKL oleh Satuan Polisi Pamong Praja tanpa disertai solusi mengarah pada tindakan represif, arogansi, brutalitas, dan menciderai nilai-nilai luhur HAM maka dengan sendirinya Satpol PP telah menghilangkan ruang-ruang publik itu sendiri. Tindakan ini sebenarnya telah mengkangkangi (pengkhianatan) terhadap teori-teori ahli tentang pembagian kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Ruang-ruang publik tersebut seperti PKL-PKL dan warung-warung kopi sebagai tempat diskursif dan komunikasi antar aktor membahas retorika kenegaraan baik informal maupun formal. Ruang-ruang publik itu dihilangkan dengan pengrusakan dan penghancuran tanpa memberikan alternatif dan solusi agar ruang-ruang publik tersebut tidak menjadi hilang. Simpulan yang dapat dicermati bahwa penataan ruang tidak juga harus melalui penggusuran, tetapi alternatif solusi merupakan kewajiban negara untuk menjalankannya.

TRANSLATE: