SELAMAT MEMBACA

Monday 31 March 2014

JAMPERSAL: Tantangan dan Kebijakan



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Freepublik NTT)
Opini ini dipublikasi oleh Harian Kota Kursor pada Rabu, 26 Maret 2014

Pengantar
Kurang lebih 10 ribu angka fantastis kematian perempuan di Indonesia mati karena hamil dan melahirkan. Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia tahun 2007 berkisar 228/100.000 kelahiran hidup (KH), lebih parah dari seluruh negara Asean selain Laos (470), Timor Leste (300), dan Kamboja (250). Indonesia diperkirakan sulit capai target harapan MDGs sesuai rasio AKI 102/100 KH ditahun 2015. Simulasi dilakukan Kemenkes untuk menguji laju penurunan AKI saat ini berkisar 173/100.000 KH pada tahun 2015. Salah satu respon Pemerintah turunkan AKI di Indonesia melalui program Jaminan Persalinan (Jampersal) dari tahun 2011 dengan tujuan meningkatkan jumlah persalinan yang dibantu tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, mengingat faktor tingginya AKI di Indonesia disebabkan pendarahan, eklampsia, dan infeksi yang terlambat atau gagal ditangani tenaga terlatih di fasilitas kesehatan. Bagaiman dengan AKI di NTT?

Gambaran AKI di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 10 kali lipat jumlah ibu yang mati di DKI Jakarta, padahal jumlah penduduk NTT kurang dari separuh penduduk Jakarta. AKI NTT mencapai 306/100.000 KH menjadikan NTT sebagai salah satu provinsi dengan AKI yang tertinggi di Indonesia, hampir sama dengan Timor Leste yang baru satu dekade merdeka (Fanggidae dan Manu, 2013). Ironisnya, alokasi Jampersal dari Pemerintah Pusat hanya mampu diserap 25% di Kota Kupang dan 68% di Kabupaten Kupang dan berdampak pada implementasi Jampersal selain ketiadaan infrastruktur kesehatan.

Program Jampersal ditujukan meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan pelayanan nifas, peningkatan cakupan pelayanan bayi baru lahir, KB pasca persalinan dan komplikasi hendak dicapai dengan pembebasan biaya. Namun ternyata, aplikasi dari program jauh panggang dari api.

Tantangan dan Isu Seputar Pelaksanaan Jampersal
Biaya kesehatan mahal, minim alat transportasi, minim alat kesehatan dan tenaga kesehatan, ketidaktahuan masyarakat dan rumitnya klaim program Jampersal diindikasikan menjadi tantangan tingginya AKI sehingga implementasi (penerapan) program Jampersal terhambat.

Biaya tambahan transport ke fasilitas kesehatan masih menjadi komponen biaya tambahan diluar biaya pemeriksaan dan bersalin, dan pasien masih membayar biaya rujukan. Kondisi ini umumnya terjadi di pedesaan. Penelitian Prakarsa 2013 menyebutkan sekitar dua pertiga dari responden harus mengeluarkan biaya transport untuk ibu, ditambah hampir 5% untuk keluarga yang mengantar, dan biaya yang dikeluarkan berkisar lima sampai 300 ribu rupiah untuk ibu dan dan anggota keluarga lain antara 10 sampai 250 ribu rupiah. Biaya ini memberatkan karena hampir 80% penduduk NTT mengaku berpendapatan di bawah satu juta rupiah per bulan. Belum lagi infrastruktur jalan dan jarak yang jauh. Dalam desain Program Jampersal, biaya transport ditanggung oleh negara bagi pasien yang dirujuk, dengan asumsi persalinan normal dapat dilakukan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas yang tidak membutuhkan biaya transportasi yang signifikan. Ironi, masih terdapat 60% ibu melahirkan dan dirujuk masih menanggung biaya transport maupun akomodasi. Bahkan ada Bidan memintah biaya tambahan untuk melahirkan karena uang klaim Jampersal dipotong oleh Dinas Kesehatan untuk peralatan seperti sarung tangan, kapas, dan lain-lain.

Minimnya alat kesehatan dan absennya tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (Pustu, Poskesdes, Polindes) kerap dibiarkan terlantar karena tidak dilengkapi alat-alat dan tiadanya petugas jaga seperti Pustu Desa Fatukona Kabupaten Kupang dibiarkan terlantar menjadi kandang hewan. Peranan tenaga kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan sangat penting. WHO menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berkontribusi 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan. Laporan WHO tahun 2006, Indonesia termasuk salah satu dari 57 negara yang menghadapi krisis SDM kesehatan, baik dalam jumlah maupun distribusi. Tetapi NTT angka kematian ibu dan anak masih tinggi, padahal jumlah bidan telah dirasa memadai. NTT terdapat 2.696 bidan (PNS, PTT dan Kontrak), jika dibagi 3.117 desa/kelurahan, berarti mendekati satu bidan per desa. Kenyataannya masih banyak desa yang kekurangan bidan karena banyak yang memilih berpraktek di perkotaan. WHO (2010) menyebutkan disparitas (perbedaan) antara pedesaan dan perkotaan sangat besar yaitu antara 63% dan 88%.

Tulang punggung penolong persalinan belum memaksimalkan tugasnya karena keberadaan bidan di desa yang dianggap ‘tidak senior’ dan tidak ‘stand-by’ menyebabkan masih banyak ibu bersalin yang tidak ditolong bidan.  Pembuktian ini dapat dilihat pada hasil survey Prakarsa Jakarta (2013) yang menemukan masih terdapat 44,4% dari responden survei melahirkan di rumah ditolong oleh dukun, risiko kematian ibu dan bayi terjadi. Misalkan di desa Oenuntono Kabupaten Kupang: karena lebih percaya pada dukun, seorang ibu dan keluarga menolak untuk dibawa oleh bidan ke rumah sakit, ibu yang berumur 35 tahun berserta banyinya harus meninggal akibat pendarahan di rumah.

Tantangan lain misalnya sosialisasi kepada pemanfaat dan pemahaman mengenai manfaat dan persyaratan Jampersal yang masih minim baik oleh masyarakat maupun tenaga kesehatan, berakibat ditolaknya pasien mendapatkan pelayanan persalinan di rumah sakit. Responden masyarakat yang mengerti bahwa Jampersal adalah hak mereka, masih ada hampir sepertiga yang tidak tahu bahwa sebagai peserta Jampersal, mereka berhak atas pembebasan biaya pemeriksaan kehamilan, nifas, dan persalinan. Hanya dua pertiga dari tenaga kesehatan baik dokter maupun bidan yang menjelaskan mengenai keringanan biaya dari Jampersal yang bisa diakses masyarakat. Masyarakat kota pun masih banyak yang tidak paham bahwa Jampersal mesyaratkan pemeriksaan kehamilan (K1-K4) dan persalinan normal di rumah sakit (kecuali rujukan/komplikasi dan risiko tinggi), padahal secara jarak, seringkali lebih mudah mengakses rumah sakit yang berada di tengah kota daripada Puskesmas atau praktek bidan.

Klaim Jampersal dianggap rumit dan prosesnya lama oleh bidan dan adanya pemotongan dana oleh Dinas Kesehatan dengan dalih pengadaan alat kesehatan. Masalah administrasi menjadi isu penghambat penyerapan anggaran dan pemanfaatan Jampersal. Klaim yang diajukan bidan baru cair dalam waktu sampai 3 bulan, sehingga cukup memberatkan bagi para bidan yang harus ‘menalangi’ biaya persalinan sampai klaim mereka disetujui. Selain itu, masih ada pemotongan biaya terhadap klaim yang diajukan bidan.

Penutup
Tantangan dan isu dalam penyerapan dan pemanfaatan Program Jampersal menjadi cirikhas pemunduran capaian target penurunan angka kematian ibu dan anak. Pemerintah belum mampu untuk meningkatkan dan mensosialisasikan secara masif dan benar pemanfaatan dana dan program Jampersal. Selain itu ketiadaaan fasilitas dan infrastruktur kesehatan menjadi tantangan pembangunan dunia kesehatan kedepannya, khusus angka kematian ibu dan anak saat hamil, melahirkan, dan pasca melahirkan. Jampersal akan optimal jika ada sinkronisasi sinkronisasi antara pembangunan infrastruktur dan penyediaan tenaga kesehatan, serta penguatan monitoring fungsi infrastruktur kesehatan pascapembangunan. Selain itu, redistribusi tenaga kesehatan ke daerah terpencil yang terencana dan dikoordinasikan antara pemerintah pusat dan daerah dengan Kementrian kesehatan sebagai lead. Sistem insentif bagi bidan yang ditempatkan di daerah terpencil perlu dibuat lebih menarik sehingga para tenaga medis tetap tinggal di daerah terpencil. Jampersal perlu mempertimbangkan memasukan komponen transportasi yang sistem reimbursement-nya/penggantian dipermudah bagi pemanfaat, terutama di daerah terpencil. Hal terakhir yang perlu dilakukan adalah memperluas sosialisasi Jampersal kepada sasaran program dan keluarganya, serta memperkuat sistem monitoring dan evaluasi yang melibatkan masyarakat.

Catatan di atas dan isi tulisan merupakan ringkasan catatan penulis saat mengikuti diskusi nasional “Strategi Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak” yang diselenggarakan oleh Prakarsa Jakarta (19 Maret 2014) bertempat di T-More Hotel Kupang.

Friday 21 March 2014

TRANSAKSIONAL POLITIK



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Freepublik NTT
{Tulisan ini dipublikasi oleh SKH Timor Express 18 Maret 2014 dan Victory News /Edit pada 19 Maret 2014}

Opini ini merupakan catatan penulis saat mengikuti kegiatan pelatihan transaksi politik, penyelenggara Puskapol dan Demos Jakarta di Hotel Ima pada 5- 7 Februari 2014. Bicara politik. Andrew Heywood mengartikan politik sebagai kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan dan mengamandemen peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama. Joyce Mitchell, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. Harrold Lasswell artikan politik sebagai masalah siapa, mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Rod Hague menganggap politik sebagai kegiatan menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan berbagai perbedaan diantara anggotanya. Susan C. Stokes, politik terkait dengan alokasi dan distribusi sumber daya dari pemerintah ke warga. Sedangkan Aristoteles mengartikan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Kemunduran esensi politik menjadikan politik sebagai alat kekuasaan tirani, kotor, licik, dan penuh konflik kepentingan. Korban politik pun dialamatkan pada rakyat yang buta politik, dan sering tertipu dari kandidat-kandidat politisi. Warga harus berusaha keluar menjadi warga yang memiliki posisi tawar. Tidak lagi menjadi warga yang dapat dibeli suaranya untuk kepentingan kandidat tetapi rakyat harus berani melakukan politik transaksional kepada kandidat.

Transaksi politik merupakan pertukaran sumber daya antara warga atau pemilih dengan kandidat dan/atau partai politik peserta pemilu (Puskapol UI,2014). Fenomena transaksi politik menjadi realitas pemilu pada setiap pesta demokrasi. Esensi politik dikotori transaksi politik yang melemahkan posisi dan kepentingan rakyat, namun ada juga transaksi politik yang menguatkan warga dalam jangka panjang pascapemilu. Interaksi warga dan kandidat/calon pemenang pemilu dapat ditentukan dari strategi transaksi politik yang dijalin selama pelaksanaan pemilu.

Bentuk transaksi politik yang melemahkan warga.
Jual Beli Suara. Kandidat maupun caleg melalui tim sukses atau pihak lain membagi-bagikan uang atau barang sebagai jasa suara pada pemilih di suatu wilayah sebelum pemilih ke TPS saat pemungutan suara. Jual beli suara ini sifatnya perorangan, belum tentu semua warga disuatu wilayah yang sama mendapatkan pembagian uang. Istilah “serangan fajar, kerap dilekatkan untuk situasi tersebut.

Klientilisme (Warga dijadikan ‘mesin’ politik kandidat). Bentuk lain dari jual beli suara bisa dilakukan oleh kandidat atau partai politik. Bentuknya adalah sekelompok warga/komunitas dijanjikan akan mendapatkan imbalan uang atau fasilitas jika mereka bersepakat untuk memberikan dukungan suara kepada kandidat tersebut. Kesepakatan dukungan suara menjadi syarat pemberian imbalan materi oleh kandidat. Contohnya kandidat menawarkan proyek/fasilitas kepada kelompok/komunitas menjanjikan dukungan suara dari massa/anggotanya. Warga dijadikan ‘mesin politik’kemenangan kandidat. Transaksi politik seperti ini lazim pula didalam pemilu kita.

Bias Partisan (Program untuk simpati warga). Bentuk ini lebih lazim dilakukan oleh incumbent (yang sedang menjabat). Tujuannya agar bisa terpilih lagi. Kandidat menyalurkan bantuan dalam bentuk program. Program disalurkan menjelang pemilu untuk membangun simpati warga. Pemberian bantuan sosial yang sering terjadi menjelang pemilu adalah contoh transaksi politik ini. Sifat bantuannya yang tidak merata, menggunakan dana pemerintah, menyasar daerah tertentu seperti basis partai/kandidat, dan bisa menggunakan aparat pemerintah setempat atau ormas untuk menyalurkan program, membuatnya mirip jual beli suara menjelang pemilu.

Setelah mengenali bentuk-bentuk transaksi politik yang melemahkan kepentingan warga dalam berhubungan dengan kandidat selama pemilu, maka penting untuk bisa membedakan mana transaksi politik yang melemahkan  dan mana yang bisa memperkuat kepentingan warga setelah pemilu berakhir. Berikut adalah ciri-cirinya.

Transaksi politik yang melemahkan warga. Tertutup, tidak terpublikasikan secara luas, tidak ada komunikasi terbuka antara warga dengan kandidat secara langsung, warga tidak tahu tujuan pemberian imbalan. Personal, hasil transaksi politik dinikmati oleh sekelompok orang tertentu, yang  bisa saja mengatas namakan warga suatu wilayah. Jangka pendek, tidak ditujukan membangun ikatan jangka panjang setelah pemilu, kandiddat mendekati warga untuk pemenangan saja. Pendanaan pribadi, kandidat mendanai secara pribadi penyaluran imbalan untuk menggalang dukungan warga pada hari pemilihan. Selain  diri sendiri, sumber dana kandidat bisa berasal  dari pihak-pihak yang berkepetingan terhadap kemenangan kandidat dalam pemilu. Melanggar hukum, praktik jual beli suara pemilih termasuk jenis pelanggaran yang dikenal sanksi/hukuman dalam Undang-Undang pemilu. Kandidat, perantara, dan pemilih yang melakukan jual beli suara dapat diadukan ke pihak berwenang (kepolisian, badan pengawas pemilu). Jika terbukti, hukumannya berupa penjara dan denda. Bahkan kandidat bisa didiskualifikasi dari pencalonan pemilu.

Dinamika transaksi politik dapat kuat jika dibaregi dengan komitmen warga untuk tahu, paham, dan awasi kandidat jika terpilih menjadi wakil rakyat. Saat pra dan hari pencoblosan, warga dituntut untuk membuat programatik dengan kandidat sehingga ketika pascapemilu, rakyat harus mampu awasi kandidat untuk realisasikan kontrak kandidat yang telah dilakukan bersama warga. Warga akan menjadi sejahtera jika peran rakyat mampu mengawal dan mengawasi kandidat.

Hal-hal tersebut di atas tampak pada bentuk politik menguatkan warga diantaranya:
Terbuka, terjadi proses komunikasi melalui dialog tatap muka, ada publikasi yang luas, dan warga paham tentang masalah-masalah yang dibicarakan dan disepakati bersama. Publik, hasil transaksi politik untuk kepentingan publik, menjangkau warga secara keseluruhan dalam wilayah pemilihan. Jangka panjang, ditujukan untuk membangun ikatan hubungan jangka panjang dengan kandidat pemenang pemilu, misalnya melalui kesepakatan kontrak politik. Pendanaan negara, tidak ada pendanaan kandidat untuk menggalang dukungan politik (suara) selama pemilu. Pendanaan negara dalam bentuk alokasi anggaran program pembangunan untuk seluruh masyarakat di wilayah pemilihan. Kandidat pemenang pemilu yang membangun kesepakatan kontrak politik dengan warga akan memperjuangkan alokasinya dalam bentuk kebijakan. Warga dapat memantau prosesnya. Tidak melanggar hukum, sepanjang dalam proses transaksi politik, kandidat tidak menjanjikan imbalan yang ditukar dengan suara pemilih pada hari pemilihan maka tidak melanggar hukum. Publikasi yang luas dan komunikasi menjadi kontrol dalam proses kesepakatan politik kandidat dengan warga agar tidak melanggar UU pemilu. Sedangkan transaksi politik yang melemahkan warga adalah bersifat tertutup, personal, jangka pendek, pendanaan pribadi, dan melanggar hukum.

Penutup
Pesta pemilihan umum telah dekat, saatnya rakyat berjuang untuk mengawasi para kandidat yang mampu memperjuangkan hak dan kebijakan bagi warga, bukan menjatuhkan dukungan suara pada kandidat yang korup, licik, pelanggar hak asasi manusia, amoral, dan penuh janji. Pilihan kita adalah penentuan kemajuan bangsa ini, jauhi transaksi politik yang melemahkan warga, dan terapkan bentuk transaksi politik yang menguatkan warga.

TRANSLATE: