SELAMAT MEMBACA

Thursday 31 March 2016

JEFRI RIWU KORE (JERIKO) ADALAH SOSOK YANG PATUT DITELADANI

Baca juga:
  1. http://www.zonalinenews.com/2015/09/mendikbud-sebut-jeriko-legislator-yang-harus-diteladani/
  2. http://ntt.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/12
  3. http://www.harnas.co/2015/03/31/bappenas-ipm-ntt-masih-rendah

Foto: Jefri saat mempresentasekan kinerjanya di depan Mendikbud RI pada 2 September 2015


Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mungkin perlu berbangga karena memiliki putra daerah yang mampu mengoptimalkan dirinya menjadi seorang yang bermanfaat bukan saja untuk daerah asalnya tapi juga berjuang untuk meningkatkan taraf pendidikan di Indonesia. 

Ya..., sebut saja nama lengkapnya Jefirstson Richset Riwu Kore atau karib disapa Jeriko. Pria kelahiran Kupang, 13 Januari 1960 ini bisa disebut sebagai salah satu politisi yang mampu melakukan tugas pengabdian sebagai Anggota DPR RI yang bersungguh-sungguh berjuang untuk pendidikan yang masih tertinggal jika dibandingkan terhadap melek pendidikan di propinsi lain.

Jeriko yang duduk di Komisi X DPR RI sejak periode legislator 2009-2014 dan 2014-2019 ini disebut sebagai salah satu politisi yang patut diteladani. Jika kita membaca media online http://www.zonalinenews.com tertanggal 4 September 2015 (http://www.zonalinenews.com/2015/09/mendikbud-sebut-jeriko-legislator-yang-harus-diteladani/) dituliskan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) Anis Baswedan memberi apresiasi pada legislator NTT Jefri Riwu Kore (tulisan akrab Jeriko) Anggota Komisi X DPR RI terkait usaha keras mendorong peningkatan mutu dan kuantitas pendidikan di Nusa Tenggara Timur.

Jeriko yang pernah menyabet prestasi Mahasiswa Teladan Seluruh Indonesia Tahun 1986 ini dikatain Mendikbud sebagai legislator yang harus dicontohi.

"Kami (Mendikbud) memberi apresiasi pada pak Jefri yang aktif mendorong peningkatan kualitas pendidikan di NTT. Usaha dan kerja keras untuk perbaikan pendidikan di Indonesia seperti yang dilakukan pak Jefri, sekiranya menjadi hal yang harus diteladani oleh seluruh stakeholder pendidikan. Mudah-mudahan perjuangan pak Jefri mampu mengubah stigma NTT dari Nasib Tidak Tentu (NTT) menjadi Nasib Tambah Terang (NTT)", ucap Baswedan diikuti tawa peserta Rapat Kerja (Raker) Komisi X DPR RI bersama Kemdikbud RI pada 2 September 2015.

Pujian Mendikbud Anis Baswedan ini tidak bisa dianggap retorika saja namun harus dipahami sesungguhnya jika NTT membutuhkan tokoh-tokoh yang bermutu untuk meningkatkan taraf pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan. Salah satu indikator yang menjadi tinjauannya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT yang berada di urutan 32 dari 34 provinsi di NTT tahun 2015.

Berkaca dari data yang dirilis oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof A. Chaniago bahwa  IPM Provinsi Nusa Tenggara Timur masih rendah dimana berada pada kisaran 68,77 tahun 2013 atau hanya naik 1,5 indeksnya dari tahun 2011 sebesar 66,23. Realita ini menyebabkan NTT menduduki peringkat 32 dari 34 provinsi di Indonesia (http://ntt.bps.go.id/) juga jauh dari rataan IPM nasional sebesar 73,81.

IPM menjadi acuan pendidikan karena digunakan untuk mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup maka IPM dibangun dari pendekatan tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.  Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian yang sangat luas karena terkait banyak faktor, namun telah ditetapkan jika untuk mengukur dimensi kesehatan digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

Oleh karena itu rendahnya IPM Provinsi NTT menurut BPS (2015) ini diakibatkan dari rendahnya capaian daerah terhadap komponen indeks pembangunan manusia yang terdiri atas Angka Harapan Hidup (AHH); Angka Melek Huruf (AMH); Rata-Rata Lama Sekolah (RLS); dan Pengeluaran Riil per Kapita yang disesuaikan.

Angka Harapan Hidup pada waktu lahir diperoleh dari rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Sedangkan Angka Melek Huruf merupakan presentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Kemudian Rata-Rata Lama Sekolah diperoleh dari gambaran jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Setelah itu Pengeluaran Riil per Kapita yang disesuaikan menggunakan standar UNDP dalam mengukur standar hidup layak menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) riil yang disesuaikan atau yang sering digunakan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson.

BPS (2015) merilis data Angka Harapan Hidup NTT tahun 2014 hanya berkisar 65,91 atau berada jauh dari rataan nasional sebesar 70,10 selang waktu 2010-2015. Sedangkan Angka Harapan Lama Sekolah di NTT rata-rata hanya 12,65 tahun dengan rata-rata lama sekolah mencapai 6,85 tahun dan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp 6.934 per hari. Kondisi ini menjadi akumulasi IPM NTT berada di peringkat 32 dari 34 provinsi atau 68,77 dan dianggap buruk jika disandingkan dengan propinsi Papua Barat (70,62) dan propinsi Maluku Utara (70,63) yang adalah propinsi baru dimekarkan.

Selain IPM menjadi penentu integritas propinsi NTT sebagai propinsi terbelakang dalam sumber daya manusianya, juga didukung oleh angka buta huruf yang masih tinggi dimana mencapai 34,73% menurut data BPS tahun 2013. Kemudian diduga juga bahwa angka buta huruf ini menjadi alasan jika di NTT masih terkategorisasi sebagai propinsi miskin dengan angka mencapai 1.006.900 jiwa tahun 2013.

Selain data yang disebutkan di atas, pengaruh lain disebabkan juga oleh kesenjangan yang ditunjukkan oleh rasio gini NTT yang hanya mencapai 0,35 jauh di bawah rasio gini nasional sebesar 0,41 meskipun sebelumnya rasio gini provinsi NTT menunjukkan peningkatan dari tahun 2004 sampai dengan 2010 namun  pada tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan.

Jika ditinjau dari tingkat kesenjangan ekonomi maka yang terjadi di NTT berkategori tinggi yang menunjukkan perekonomian di kabupaten/kota di provinsi ini belum merata. Hal ini juga dapat dicermati dari perbedaan antara perbedaan per kapita penduduk Kota Kupang hampir lima kali lipat pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya.

Berdasarkan distribusi ekonomi maka kontribusi PDRB didominasi sektor pertanian (35%) dan jasa-jasa (26%). Sementara itu sektor angkutan, telekomunikasi dan industri pengolahan peranannya masing-masing mengalami penurunan yakni 6,4% menjadi 5,7% dan 1,8% menjadi 1,4%. Jika ditinjau dari profesi maka 65% berada pada sektor pertanian dan 11,5% di sektor jasa. Tapi beberapa sektor mengalami penurunan antara lain berada dii sektor pertanian dan pertambangan masing-masing 12,58% dan 0,87%. Pekerja di sektor industri pengolahan hanya mampu menyerap tenaga kerja 4,91% dan tingkat pertumbuhan penyerapan kerja relatif stagnan (http://www.harnas.co/2015/03/31/bappenas-ipm-ntt-masih-rendah).

Dijelaskan juga bahwa tantangan NTT pula berada pada angkatan kerja yang hanya berpendidikan SD mencapai 66,40%. Kemudian tantangan lain muncul pula dari pembiayaan investasi terkait potensi simpanan masyarakat masih bersifat konsumtif dari besar pinjaman masyarakat. Dalam perspektif jangka panjang maka pola ini kurang sehat karena sesuatu yang bersifat konsumtif tidak berkelanjutan.

Pemda juga belum kreatif dalam menggunakan APBD dimana hampir 50% anggaran terserap untuk belanja pegawai dan 17% untuk belanja barang jasa. Sedangkan untuk belanja publik terbilang rendah karena hanya mencapai 12% saja.

Tantangan-tantangan yang disebutkan di atas menjadi indikator pendukung jika propinsi NTT masih terbelakang. Perlu diingat juga bahwa salah satu penyebab meningkatnya tantangan tersebut adalah dari korupsi kebijakan struktural. Oleh karena itu untuk memperbaikinya membutuhkan sosok yang benar-benar terakumulasi dalam stakholder penentu kebijakan struktural tersebut.

Ternyata Jeriko mampu menjadi salah satu sosok yang mampu memfasilitasi penurunan tantangan tersebut agar propinsi ini lebih baik ke depannya. Salah satu bukti tampak dari apresiasi Mendikbud Baswedan memberi perhatian serius terkait presentase Jeriko dimana berdasar temuan lapangan masih banyak ditemukan ketimpangan-ketimpangan pendidikan di Indonesia, khususnya di NTT seperti bangunan sekolah yang tidak layak, politisi guru-guru oleh kepala daerah, penyaluran beasiswa yang tidak maksimal, tunjangan sertifikasi yang tidak dibayarkan atau sengaja diendapkan, dan kesejahteraan guru yang minim perhatian pemerintah.

Apa yang dilakukan Jefri belumlah sempurna karena hanya menyentuh satu sektor saja yaitu pendidikan namun secara simultan mampu memberi dampak terhadap sektor lain. 

Jika berbicara sosok maka Jeriko patut menjadi pionir untuk memunculkan sosok-sosok lain yang mampu hadir berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Pendidikan hanya menjadi salah satu sektor yang dapat memberi efek terhadap sektor lain.

Bagaimana jika NTT memiliki banyak sosok seperti Jeriko. Sudah pasti NTT akan nyata berubah stigma dari NTT (Nasib Tidak Tentu) menjadi NTT sesungguhnya (Nasib Tambah Terang).

Good Jefri Riwu Kore (Jeriko)....! Lanjutkan.

OPINI: CUCI OTAK UNTUK INDIKASI GAGAL PAHAM (Membedah Prinsip Pengawasan PIP oleh Anggota DPR RI)




Oleh: Ian Haba Ora (Ketua FReePublik NTT)

Pengantar

Laporan Kilasan Setahun Kinerja Kemendikbud (November 2014-November 2015) menyebutkan aset terbesar Indonesia bukanlah sumber daya alam, melainkan manusianya. Karena itu, pembangunan manusia Indonesia menjadi prioritas utama. Namun dalam realitasnya masih banyak anak bangsa yang belum bisa bersekolah. Karena itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo bertekad mengatasi masalah ini dengan mencantumkannya dalam Nawacita butir kelima, yakni meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Menjawab Nawa Cita ini maka Kemendikbud mengeluarkan Program Indonesia Pintar (PIP) yang dulunya adalah Bantuan Siswa Miskin (BSM).

Namun dibeberapa tempat seperti di Propinsi Nusa Tenggara Timur, implementasi BSM/PIP belum optimal dikarenakan tarik ulur kepentingan pemahaman politik. Salah satu pihak yang bertangungjawab terhadap penyaluran PIP adalah Anggota DPR RI dan Kepala Daerah sebagai pemangku kepentingan. Artinya, pihak-pihak yang mempunyai komitmen dan kepentingan terhadap kemajuan pendidikan baik formal maupun nonformal. Jefri Riwu Kore Anggota Komisi X DPR RI merupakan elemen individual yang terkait dalam pelaksanaan tugas sebagai pemangku kepentingan dalam penyaluran dana bantuan pendidikan PIP yang dikenal BSM. Salah satu strategi sebagai pemangku kepentingan adalah dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan maupun menampung permohonan aspirasi BSM/PIP dari masyarakat. Namun penerbitan surat pemberitahuan dan permohonan aspirasi BSM/PIP dianggap oleh sebahagian kalangan, umumnya kepala daerah sebagai bentuk penipuan. Hal ini berbeda dengan komitmen Mendikbud Anis Baswedan yang menyatakan bahwa peningkatan pendidikan kuncinya berada pada pemimpin daerah maka komitmen pemimpin daerah harus diperkuat (Kilas Kemendikbud, 2015:9).

Oleh karena itu, perlu dilakukan penulisan ilmiah terkait dengan fungsi pengawasan Anggota DPR RI dalam mendorong implementasi Program BSM/PIP dengan judul “Cuci Otak Untuk Indikasi Gagal Paham Kepala Daerah: Membedah Prinsip Pengawasan PIP oleh Anggota DPR RI”.

Metode penulisan artikel ini menggunakan studi literatur atau kepustakaan sesuai dengan prinsip-prinsip penulisan artikel ilmiah secara umum, yang dibatasi pada: 1). Fungsi Pengawasan Anggota DPR RI; 2). Program BSM/PIP; 3). Dasar Hukum Pengawasan BSM/PIP oleh Anggota DPR RI. Kemudian kesimpulan dilakukan secara sintesis menurut petunjuk umum artikel ilmiah.

Fungsi Pengawasan Anggota DPR RI

Hans Kelsen (2009:382) menjelaskan bahwa pengawasan muncul ketika trias politica memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan ini menyebabkan muncul fungsi di setiap masing-masing bidang pemerintahan. Pengawasan tersebut bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Pengawasan DPR RI terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terdapat dalam Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPD yang menyatakan: fungsi pengawasan DPR RI dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

Nurcholis (2007:208) menyatakan pengawasan atas pelaksanaan APBN dilakukan oleh legislatif bukanlah pemeriksaan yang dimiliki untuk menghukum lembaga eksekutif tetapi pengawasan yang dilakukan untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBN. Oleh karena itu, pengawasan dianggap sebagai tahap kesatuan untuk keseluruhan tahap penyusunan dan pelaporan yang diperlukan pada setiap tahap bukan hanya pada tahap evaluasi saja. Pengawasan yang dilakukan oleh legislatif dimulai sejak penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, perubahan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran (Mardiasmo, 2001:206).

Pengawasan terhadap APBN penting dilakukan untuk memastikan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas program dan diajukan untuk kesejahteraan masyarakat; menjaga agar penggunaan APBN ekonomis, efisien, dan efektif; menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan atau dengan kata lain bahwa anggaran telah dikelolah secara transparan dan akuntabel untuk meminimalkan adanya kebocoran ataupun penyimpangan.

Program BSM atau PIP

Bantuan Siswa Miskin (BSM) merupakan program bantuan dana pendidikan untuk anak usia sekolah yang tujukan untuk menghilangkan halangan siswa miskin untuk akses pelayanan pendidikan; mencegah angka putus sekolah dan menarik siswa miskin untuk bersekolah kembali; membantu siswa miskin untuk memenuhi kebutuhan personal dalam kegiatan pembelajaran; dan mendukung penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan menengah universal (Juknis BSM Kemendikbud, 2013).

Dasar pikir di atas secara konsep juga dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah untuk membantu meningkatkan pendidikan bagi masyarakat miskin melalui kebijakan pembangunan pendidikan yang diarahkan untuk mencapai misi 5 K, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, kualitas/mutu, kesetaraan dan kepastian memperoleh layanan pendidikan yang lebih berkualitas melalui peningkatan pelaksanaan layanan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu, serta memberi kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkai layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat (Juknis BSM Kemendikbud, 2014:4).

Di penghujung tahun 2014 silam, pemerintah telah meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai bagian tidak terpisahkan dari Program Indonesia Pintar. Untuk tahun 2014 silam, sumber pendanaan KIP bersumber dari Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang menyasar 9,2 juta siswa yang telah dialokasikan dalam APBN-P 2014. Namun BSM yang menjadi PIP cukup berbeda. Menurut Mendikbud Anis Baswedan bahwa BSM diberikan pada siswa yang bersekolah, sedangkan KIP akan diberikan pada anak usia sekolah yang sedang sekolah maupun putus sekolah (Anonim, 2015).

Kemendikbud menetapkan lima tujuan yang menjadi sasaran PIP, yakni:
1.    Mengurangi jumlah anak usia sekolah yang putus sekolah.
2.    Membantu anak usia sekolah dari keluarga miskin untuk melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
3.    Mengurangi kesenjangan dalam memperoleh layanan pendidikan antara anak dari keluarga kaya dan miskin/kurang mampu.
4.    Meringankan beban orang tua yang tidak mampu dalam membiayai pendidikan anaknya.
5.    Membantu anak-anak yang putus sekolah untuk kembali bersekolah.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan ketentuan teknis yang mendefinisikan PIP merupakan bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang orang tuanya tidak dan/atau kurang mampu membiayai pendidikannya, sebagai kelanjutan dan perluasan sasaran dari program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Tujuan dilaksanakan PIP adalah: 1). Meningkatkan akses bagi anak usia 6 (enam) sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat satuan pendidikan menengah untuk mendukung pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal/Rintisan Wajib Belajar 12 (dua belas) tahun; 2). Mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah (drop out) atau tidak melanjutkan pendidikan akibat kesulitan ekonomi; dan 3). Menarik siswa putus sekolah (drop out) atau tidak melanjutkan agar kembali mendapatkan layanan pendidikan di sekolah/Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)/Pusat Kegiatan Belajar (PKBM)/Lembaga Kursus Pelatihan (LKP)/satuan pendidikan nonformal lainnya dan Balai Latihan Kerja (BLK).

Untuk meningkatkan kualitas penyerapan anggaran maka Mendikbud Anis Baswedan pada Rapat Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Komisi X DPR RI pada tanggal 10 Juni 2015 mengalokasikan kuota aspirasi sebagai strategi pemenuhan sasaran PIP, yang tampak pada Gambar berikut.
Gambar 1. Strategi Pemenuhan Sasaran PIP (Kemendikbud, 2015)

Berdasarkan Gambar 1 di atas ditentukan alokasi aspirasi kuota PIP untuk pemangku kepentingan tahun 2015 sebanyak 1.432.027 anak usia sekolah. Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah anggota Komisi X DPR RI. Dengan demikian, pendataan kuota BSM/PIP selain dilakukan oleh pihak sekolah juga dapat dilakukan oleh Anggota DPR RI.
Dasar Hukum Fungsi Pengawasan BSM/PIP oleh Anggota DPR RI
Salah satu pihak yang bertangungjawab terhadap penyaluran PIP adalah Anggota DPR RI sebagai pemangku kepentingan. Artinya, pihak-pihak yang mempunyai komitmen dan kepentingan terhadap kemajuan pendidikan baik formal maupun nonformal. Jefri Riwu Kore Anggota Komisi X DPR RI merupakan elemen individual yang terkait dalam pelaksanaan tugas sebagai pemangku kepentingan dalam penyaluran dana bantuan pendidikan PIP yang dikenal BSM. Dasar pelaksanaan Anggota DPR RI terlihat dalam beberapa Pasal pendukung sesuai dengan nomenklatur peraturan perundang-undangan, diantaranya:

1.    Setiap anggota DPR RI sebelum dilantik telah bersumpah untuk fokus memperjuangkan daerah pemilihan sesuai Pasal 78 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3dan Pasal 10 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib, berbunyi:
”Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; --------------------------------------------------------------------------------------------
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; ---------------------------------------------------------------------------------
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”---------------------------------------------

2.    Setiap anggota DPR RI memiliki Fungsi, Tugas, Hak dan Kewajiban yang tampak dalam Pasal 69 ayat (1), (2), dan ayat (3) serta Pasal 70 ayat (1), (2), (3) UU MD3 Tahun 2014. Inti dari penjelasan tersebut ialah setiap Anggota DPR RI harus melakukan pelaksanaan fungsi pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Fungsi DPR sesuai Pasal 70 ayat (3) UU MD3, berbunyi: Fungsi Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan UU dan APBN.

Pasal 227 ayat (1) UU MD3 terkait Hak Pengawasan, berbunyi: Setiap anggota berhak mengawasi pelaksanaan APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di daerah pemilihannya.

Pasal 72 huruf g UU MD3, berbunyi: menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Pasal 80 huruf j UU MD3, berbunyi: mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.

Pasal 81 UU MD3 terkait kewajiban anggota DPR RI, huruf j, berbunyi: menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Huruf k, berbunyi: memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.

3.    Setiap Anggota DPR RI memiliki alat kelengkapan DPR yang disebut Komisi dan bertugas dalam bidang pengawasan. Pasal 98 ayat (3) huruf a, berbunyi:  melakukan pengawasan terhadap UU, termasuk APBN serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Dan, huruf d, berbunyi: melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.

4.    Setiap anggota DPR RI terikat dengan hasil keputusan rapat.  Pasal 98 ayat (6) UU MD3, berbunyi: keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan pemerintah. Salah satu hasil kesimpulan Rapat Kerja (Raker) Komisi adalah terkait dengan Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) tanggal 27 September 2010 dan 14 September 2012 yang telah diubah menjadi PIP. Rapat tersebut menyimpulkan bahwa BSM/PIP dapat dilakukan dengan pendataan dan perjuangan aspirasi yang mekanismenya dapat dilihat pada Gambar berikut ini.

Gambar 2. Mekanisme Pengawasan dan Perjuangan Aspirasi BSM/PIP Anggota DPR RI (DPR RI, 2010)
Berdasarkan Gambar di atas, maka mekanisme BSM/PIP dapat dilakukan oleh anggota DPR RI, dengan cara: 
  1. Mekanisme 1b: Pemangku kepentingan mengusulkan siswa calon penerima BSM/PIP ke Kementerian atas dasar siswa anak usia sekolah. 
  2. Mekanisme 3b: Pemangku kepentingan (Anggota Komisi X DPR RI) mengusulkan daftar calon penerima BSM/PIP ke Kemendikbud. 
  3. Mekanisme 4: Kemendikbud membuat Surat Keputusan (SK) penerima BSM/PIP berdasarkan usulan dari pemangku kepentingan. 
  4. Mekanisme 5b: Kemendikbud mengirimkan SK penerima ke pemangku kepentingan (Anggota Komisi X DPR RI). 
  5. Mekanisme 6: Pemangku kepentingan (Anggota Komisi X DPR RI) menginformasikan ke siswa penerima BSM/PIP. 
  6. Mekanisme 7b: siswa penerima BSM/PIP dari pemangku kepentingan (Anggota Komisi X DPR RI), melapor ke sekolah. 
  7. Mekanisme 8: Sekolah memberitahukan ke siswa penerima BSM agar mencairkan dana BSM/PIP di lembaga penyalur. 
  8. Mekanisme 9: siswa mencairkan BSM/PIP ke lembaga penyalur. 
  9. Mekanisme 10: lembaga penyalur membuat rekapitulasi penyaluran dan melaporkannya ke Kemendikbud.
Untuk melaksanakan fungsi pengawasan DPR RI maka setiap anggota DPR RI dapat melaksanakan dengan beberapa cara yang tidak bertentangan dengan UU atau aturan lain. Surat pemberitahuan dan surat permohonan aspirasi DPR RI merupakan langkah terbaik dalam melaksanakan tugas dan fungsi anggota DPR RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas.

Prinsip Dasar Surat Pemberitahuan dan Permohonan Aspirasi BSM/PIP Anggota DPR RI

Mendukung peningkatan kualitas manusia Indonesia, maka pemerintah mengalokasikan sejumlah besar dana APBN untuk kepentingan perbaikan kualitas pendiikan. Usaha untuk memanusiakan manusia melalui pendidikan didukung sepenuhnya oleh mitra pemerintah, yakni DPR RI. Namun program pemerintah yang diputuskan melalui proses penetapan anggaran di Gedung Rakyat (Gedung DPR RI) terindikasi disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk meraup keuntungan dana menjadi tindakan korupsi. Dugaan banyaknya uang negara yang diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu menjadikan program yang baik ini tidak berjalan semestinya. Apalagi jika program yang dijalankan jauh dari pengawasan oleh rakyat maupun pemegang aspirasi (Haba Ora, 2013).

Untuk itu pengawasan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan sehingga terciptanya check and balance diantara pemberi layanan dan penerima layanan. Pengawasan (fungsi kontrol) Anggota DPR RI sangat diperlukan mengingat banyaknya pengeluhan masyarakat terkait dana-dana pemerintah yang tidak dinikmati, tidak diketahui, tidak disampai ke tangan masyarakat karena lemahnya pengawasan, terutama dari anggota DPR RI sebagai abdi masyarakat. Terdapat beberapa anggota DPR RI dengan komitmen melaksanakan fungsi pengawasan secara akuntabilitas, persuasif, edukasi, dan transparan (prinsip APET). Salah satu prinsip APET dilakukan oleh Anggota DPR RI Jefri Riwu Kore (Jeriko) melalui inisiatif menerbitkan “Surat Pemberitahuan dan Surat Aspirasi” sebagai metode pelaksanaan prinsip APET. Tetapi beberapa sumber menganggap sebagai kesalahan prosedur yang dilakukan oleh Anggota DPR RI. Sedangkan secara prosedural hukum, Anggota DPR RI memiliki kewenangan dalam melakukan kinerja dengan tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Kesalahan berpikir skeptis beberapa sumber ini dapat dianggap sebagai bentuk “Gagal Paham”. Berikut dikutip beberapa sumber yang dapat dianggap sebagai sikap Gagal Paham:

1.    “Walikota Kupang Jonas Salean Adukan Kasus BSM Ke KPK”, judul berita Zonalinews.com (12 Maret 2015). Artinya, Walikota Kupang menganggap bahwa Dana BSM telah dikorupsi oleh anggota Komisi X DPR RI. Sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pasal 6 huruf c, berbunyi: KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Artinya, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penututan hanya pada ‘terbatas khusus pada tindak pidana korupsi”, jika: melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat (seperti gratifikasi); dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit 1 milyar rupiah. Asumsi dugaan gagal paham ialah:

  • Walikota Kupang dapat diduga belum mampu untuk memahami secara jernih peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Saputra (2014) menjelaskan bahwa sarjana hukum yang kompeten adalah ia yang memahami konsep materi dari materi-materi yang ia pelajari. 
  • Walikota Kupang diduga belum sepenuhnya memahami dan membedakan antara tugas eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meteorika.com (2014) menyebutkan bahwa mungkin masih ada masyarakat yang sebenarnya belum sepenuhnya memahami apa itu legislatif hingga yudikatif. 
  • Walikota Kupang diduga tidak konsisten terhadap sumpahnya. Tulisan Utuh MJ Taedini dengan judul “Jonas-Jefri Saling Memberi Peneguhan”, dimana tertulis: Sementara itu, Walikota terpilih Jonas Salean mengatakan, sikap Jefri adalah sesuatu yang mulia bagi warga Kota Kupang. Ia (Jonas, Read) juga menyatakan siap memberikan data pendidikan secara terbuka kepada Jefri sebagai anggota DPR RI, karena kenyataan saat ini masih banyak masyarakat miskin di Kota Kupang”. Kenyataannya, Jeriko dilaporkan Walikota Kupang ke KPK. Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam suatu wawancara pernah mengatakan, “kita tidak usah memilih pemimpin yang suka ingkar janji (satunusanews.com).
2.   “Subiantoro Tolak Bantuan Jeriko” judul pemberitaan di Media Massa Kursor (Rabu, 11/12/2013). Asumsi dugaan gagal paham ialah karena tidak ingin menerima bantuan sejenis dengan nama dan jumlah uang yang sama. Ternyata tulisan yang tertera pada surat yang dianggap bantuan Jeriko oleh Kepsek SMK Negeri 1 Soe-TTS merupakan surat pemberitahuan kepada anak siswa bahwa nama anak yang namanya tertera di surat pemberitahuan telah terdaftar dalam penerima BSM. Surat yang dimaksud merupakan bentuk pengawasan anggota DPR RI Komisi Pendidikan.

3.    “Welly M Dimoe Djami Kepala Sekolah SMA Sinar Pancasila menuding Jeriko sebagai Penipu karena dianggap membeberkan data penerima bantuan dana pendidikan di sekolahnya tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya”, intisari pemberitaan Media online “lintasntt.com (Minggu, 1/3/2015)”. Asumsi dugaan gagal paham adalah Welly menganggap surat pemberitahuan Jeriko sebagai penipuan karena sesuai surat keputusan yang diterbitkan oleh Kemendikbud yang diinformasikan ke siswa berjumlah lebih dari 40 orang siswa di kelas 3 namun Welly menganggap hanya 7 siswa yang mendapatkan bantuan BSM tersebut. Seharusnya, informasi pemberitahuan dari pihak Jeriko sebagai anggota DPR RI yang menyebutkan terdapat lebih dari 40 siswa yang terdaftar sebagai penerima BSM namun hanya 7 siswa yang menerima hak dana BSM, sudah bisa menjadi bukti awal informasi adanya dugaan penyalahgunaan dana BSM oleh oknum tertentu. Bayangkan jika tidak ada pengawasan akurat dari DPR RI maka dapat dianggap akan banyak penyalahgunaan keuangan yang menjadi hak dari siswa sekolah. Dugaan gagal paham yang dimaksud ialah surat pemberitahuan DPR RI dianggap sebagai bentuk penipuan.

Oleh karena itu perlu dijelaskan terkait dengan prinsip-prinsip pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI dan terkait juga dengan prinsip-prinsip perjuangan aspirasi anggota DPR RI dalam Program Indonesia Pintar (PIP).

1.    Surat Pemberitahuan merupakan surat informasi kepada siswa sasaran (termasuk kepada orang tua siswa) agar dapat mengetahui nama siswa yang tertera dalam Surat Pemberitahuan Anggota DPR RI adalah penerima manfaat Program Indonesia Pintar (PIP).
2.   Surat Pemberitahuan Anggota DPR RI dimaksudkan untuk pengawalan pelaksanaan Undang-Undang dan penggunaan APBN sehingga tepat sasaran dan efektifitas kinerja legislatif dapat terlaksana maksimal.
3.   Surat Pemberitahuan dapat menjadi “Senjata Ampuh” dalam memangkas dugaan-dugaan penyalahgunaan penggunaan dana oleh oknum-oknum pendidik.
4.    Surat Pemberitahuan Anggota DPR RI merupakan metode yang tepat dalam memantau, menolong, dan mendorong optimalisasi kinerja pemerintah, terkhususnya untuk daerah-daerah dengan topografi sulit.
5.   Terkait dengan pendataan aspirasi permohonan BSM/PIP kepada Anggota DPR RI sangat membantu dalam optimalisasi penyerapan anggaran BSM/PIP yang belum sepenuhnya berhasil. Beberapa dasar pikir tersebut, diantaranya:

-        Kurang tersosialisasi dengan baik program BSM/PIP ke lapangan atau stakeholders pendidikan maupun penerima manfaat BSM/PIP, sehingga jarang lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah untuk memanfaatkan program tersebut. Kondisi ini lebih tampak pada sekolah-sekolah daerah terisolir maupun terpencil.
-        Tidak semua siswa memiliki kesempatan tertentu untuk memanfaatkan program tersebut dikarenakan alasan kuota, kepentingan politik, diskriminasi terhadap siswa tertentu untuk akses layanan program BSM/PIP, dan lain sebagainya sebagai penunjang kesempatan siswa mendapatkan program tersebut. Terdapat beberapa sekolah yang sengaja tidak memasukkan anak tertentu dengan alasan perbedaan latar belakang dan tinjauan unsur SARA lainnya.

-        Informasi penarikan/pencairan dana BSM/PIP yang terlambat dari lembaga penyalur menyebabkan banyak anggaran BSM/PIP yang dikembalikan ke kas negara sehingga program BSM/PIP ini tidak terimplementasi secara maksimal. Sesuai ketentuan Juknis, anggaran yang disediakan dalam program BSM hanya diakses ke lembaga penyalur paling lambat 3 bulan setelah siswa penerima manfaat di SK-kan. Perbedaan topografi dan letak geografis daerah-daerah di Indonesia yang sulit menyebabkan informasi pencairan dana BSM menjadi kadarluarsa karena telah melewati waktu yang ditentukan Juknis.
Dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa tujuan seseorang atau suatu organisasi menulis surat adalah untuk menyampaikan informasi; menyampaikan maksud dan tujuan sesuai dengan isi hati penulis, memperlancar arus komunikasi sehingga informasi yang diterima jelas dan tidak salah tafsir; dan menghemat waktu, tenaga, dan biaya dampak dari tidak langsung bertemu dengan pihak yang dituju.

Penutup

Pengawasan anggota DPR RI dalam implementasi Program Indonesia Pintar (PIP) melalui surat pendataan dan pemberitahuan telah sesuai prosedur hukum yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Mekanisme perjuangan anggota DPR RI untuk kuota anak usia sekolah mendapatkan bantuan dana pendidikan melalui jalur PIP terdapat dalam Hasil Keputusan Rapat Kerja Menteri Pendidikan dengan Komisi X DPR RI, dimana setiap anggota DPR RI memiliki kewenangan untuk memperjuangkan anak usia sekolah mendapatkan bantuan dana pendidikan PIP.

Referensi.
Buku
Kelsen, H. 2009. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Nusa Media Press. Bandung.
Kemendikbud RI. 2015. Kilasan Setahun Kinerja Kemendikbud RI: Membentuk Insan dan Ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang Berkarakter.
Mardiasmo. 2001. Pengawasan, Pengendalian, dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Penerbit Andi. Jogjakarta.
Nurcholis, H. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Cetakan Kedua. Gramedia Widiasarna Indonesia Press. Jakarta.

Artikel
Baswedan, A. 2015. Penjelasan Umum Program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahan Rapat Kerja Kemendikbud dengan Komisi X DPR RI. 10 Juni 2015.
Meteorika. 2014. Pengertian Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. {http://www.meteorika.com/2014/07/pengertian-legislatif-eksekutif-yudikatif-dan-fungsinya.html#ixzz3zE6zR3up}. Akses tanggal 9 Januari 2016.
Saputra. 2014. Tips Belajar Hukum. {http://saputra.blog.uns.ac.id/tips-belajar-hukum/}. Akses 9 Januari 2016.
Taedini, U. MJ. 2012. Jonas Jefri Saling Memberi Peneguhan. {http://www.utuhtaedini.com/jonas-jefri-saling-memberi-peneguhan/}. Akses 9 Januari 2016.

Berita Internet
“Panduan Pelaksanaan Bantuan Siswa Miskin (BSM) APBNP Tahun 2013”. Kemendikbud Tahun 2013.
“Petunjuk Teknis Bantuan Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 2014”. Direktorat Pembinaan SMA. Dirjen Pendidikan Menengah. Kemendikbud Tahun 2014.
 “Ini Jawaban Jefri Riwu Kore Atas Tuduhan Penipuan”. {http://www.lintasntt.com/ini-jawaban-jefri-riwu-kore-atas-tuduhan-penipuan/}. Akses tanggal 9 Januari 2016.
Jonas Salean Adukan Kasus BSM Ke KPK. {http://www.zonalinenews.com/2015/03/jonas-salean-adukan-kasus-bsm-ke-kpk/}. Akses tanggal 10 Januari 2016.
“JK: Ngga Usah Dipilih Lagi Kalo Pemimpin Suka Ingkar Janji”. {www.satunusanews.com}. Akses tanggal 8 Januari 2016.

Peraturan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Program Indonesia Pintar (PIP).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

TRANSLATE: