SELAMAT MEMBACA

Thursday 12 September 2013

BRUTALITAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA



BRUTALITAS SATPOL PP
Oleh. Ian Haba Ora
(Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT)
Tulisan ini dipublikasi Surat Kabar Harian Timor Express pada Rabu, 11 September 2013
         
Kekerasan Satuan Polisi Pamong Praja menjadi isu hangat ketika kekerasan dan premanisme cenderung menjadi alat teror bagi warga masyarakat. Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah menjadi indikator maraknya brutalitas anggota Satpol PP menghiasi pemberitaan dan data-data penyalahgunaan kekerasan di Indonesia.

Data Jakarta Centre for Children tahun 2008 mengungkapkan angka brutalitas Satpol PP ditahun 2007 sebesar 66,1%. Jika ditabulasi data menurut Aliansi Rakyat Miskin tahun 2007, korban brutalitas Satpol PP karena pergusuran mencapai 22.095 orang dengan pembagian 12.288 orang miskin digusur bulan September 2007, selama Oktober Satpol PP menggusur 3.879 orang miskin dan di bulan November menggusur 5.928 orang miskin. Untuk memperkuat data itu, Institute Ecosoc Rights (2008) merilis data tahun 2006 terjadi 146 kasus penggusuran dengan korban 42.498 warga. Tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan korban 45.345 orang sampai bulan Februari 2008 Satpol PP telah terjadi 17 pergusuran dengan korban 5.704 orang (Hamda Hamida, 2010 https://www.facebook.com).

Data-data statistik di atas menunjukkan tingginya angka brutalitas Satpol PP tidak menunjukkan fluktuasi. Bahkan diduga bahwa tingkat kekerasan dan brutalitas ini didukung oleh kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam penganggaran. DKI Jakarta anggaran operasionalisasi Satpol PP Tahun Anggaran 2005-2006 mencapai Rp 144,9 milyar dan meningkat tajam ditahun 2007 mencapai Rp 303,2 milyar. Anggaran Satpol PP ini jauh lebih besar dibandingkan anggaran Dinas Pendidikan Dasar sebesar Rp 188 milyar dan anggaran Puskesma seluruh DKI yang hanya Rp 200 milyar, atau Rumah Sakit di seluruh DKI yang hanya Rp 122,4 milyar. Jumlah anggaran operasionalisasi Satpol PP ini kemungkinan akan dipergunakan untuk menggusur dan merazia 80.000 keluarga yang tidak memiliki rumah dan 30.000 anak jalanan di Jakarta. Khusus di DKI Jakarta, rata-rata 3.200 orang menjadi korban dari penegakan Perda dan Peraturan Kepala Daerah setiap bulannya (http://salud98.webs.com/statmentsalud.htm, 2013).

Penggunaan kekerasan dan brutalitas Satpol PP yang ditunjukkan data-data di atas, hanyalah sebagian data yang terungkap. Masih banyak data-data yang masih tenggelam di bawah permukaan yang belum dimunculkan dan belum terungkap. Ibarat brutalitas Satpol PP seberti gunung es, kecil di atas permukaan namun bongkahan terbesar ada di bawah permukaan. Dedi Ali Ahmad (2008) Ketua Badan Pengurus PBHI Jakarta mengungkapkan kasus penggusuran menempatkan Satpol PP sebagai peringkat pertama dalam pelanggaran fisik dan non fisik. Berdasarkan data yang dimiliki, dari 70 kasus penggusuran seperti penggusuran PKL, pemukiman liar dan pasar, sebagian besar pelanggaran dilakukan Satpol PP (http://news.okezone.com/read/2008/01/07/).

Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring, dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami anak jalanan. Monitoring PAJS (1997) di kawasan Tugu Muda periode Juli-Desember 1996, tercatat 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan petugas keamanan (kepolisian, satpol PP, dan TNI). Begitu juga laporan Penelitian YDA (1997) menyimpulkan bahwa bahaya terbesar sering dialami anak jalanan adalah dikejar Polisi dimana 91% yang ditangkap mengaku mengalami penyiksaan. Selain dialami personal juga dialami secara komunitas (http://odishalahuddin.wordpress.com,2010).

Bakumusu (2010) menemukan bahwa pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM lebih didominasi oleh aktor negara dan salah satunya adalah Satpol PP. Berdasarkan monitoring yang dilakukan, sepanjang Januari-Desember 2012, brutalitas aktor negara yang ditemukan sebanyak 123 kasus. Rincian jumlahnya adalah 100 kasus dilakukan Polisi, 12 kasus oleh TNI, 4 kasus oleh Satpol PP, dan 7 kasus oleh Jaksa (http://bakumsu.or.id/). Kekerasan aktor keamanan tidak saja pada warga sipil, namun media jurnalistik juga sering menjadi sasaran empuk brutalitas aparat keamanan. Sedikitnya 7 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Semarang, Jawa Tengah selama lima tahun terakhir. Kekerasan kebanyakan dilakukan petugas keamanan, Satuan Polisi Pamong Praja, dan TNI (http://www.vhrmedia.com).

Herdensi Adnin (2013) Koordinator KontraS Sumut membeberkan data terbaru brutalitas aktor keamanan dimana hasil pemantauan dan advokasi penyalahgunaan kekerasan oleh aparat tercatat 50% dari 111 kasus antara Januari-Juni 2013 dilakukan polisi yang seharusnya sebagai pelindung masyarakat. Sisanya, sekitar 56 kasus lagi dilakukan oleh petugas lain seperti Satpol PP (http://indonesia.kini.co, 2013).

Implementasi HAM Indonesia
Hak Asasi Manusia dipahami sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1)). Sedangkan menurut Mufti Makarim (2007), kajian HAM didasarkan atas tiga hal yaitu, hak-hak yang dimiliki oleh individu atau kelompok individu sebagai manusia (pandangan hukum kondrat); hak-hak yang dilekatkan kepada manusia sejak awal pencitaannya (pandangan teologis); dan hak yang tidak bisa dicabut, dikurangi, dibatasi, direbut, atau dirampas dari diri seseorang oleh orang lain, bahkan negara.

Makarim melanjutkan bahwa esensi HAM harus didasarkan pada pandangan-pandangan bahwa subjek HAM adalah individu (human being); HAM bersifat di atas dan di luar (over and above) kuasa dari negara (berbeda dengan legal rights); HAM bersifat universal dan melekat pada diri setiap orang dimanapun ia berada; HAM bukan merupakan pemberian pihak manapun; penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM dilakukan melalui negara; dan HAM hanya mengatur kebutuhan prinsipil dan fundamental manusia. Dengan demikian, kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM mencakup segala bentuk tindakan preventif agar aparatusnya tidak melakukan (by commission) pelanggaran dan menghindari praktek pembiaran (by ommission) atas pelanggaran HAM oleh siapapun pelakunya. Kegagalan negara melakukan upaya pemulihan yang efektif (effective remedy) HAM secara otomatis merupakan pelanggaran HAM itu sendiri.

Data-data yang telah diuraikan di atas menggambarkan bahwa negara gagal menjamin akan eksistensi hak asasi manusia di Indonesia. brutalitas menjadi agenda tunggal dalam setiap usaha menertibkan dan menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Satpol PP Dalam Kekinian
Maraknya pemberitaan brutalitas Satpol PP masa kini menunjukkan bahwa esensi penegakan hak asasi manusia belum maksimal ditegakkan dalam implementasi tugas dan pokok untuk menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Sasaran arogansi dan kekerasan anggota Satpol PP adalah warga sipil yang seharusnya dilindungi negara. Bahkan, setiap penertiban dan penegakan aturan tidak dibarengi oleh semangat revitalisasi dan reimplementasi dampak ikutan dari setiap kegiatan penertiban. Dumuliahi Djami mantan Kasat Pol PP Kota Kupang pernah menuturkan bahwa “tegakan Perda tapi jangan hilangkan mata pencarian orang” seharusnya dapat menjadi contoh yang harus teladani oleh setiap institusi Satpol PP di Indonesia.

Menata kota bukan sebuah pekerjaan gampang, namun yang lebih penting adalah sejauh mana realitas itu dapat diminimalisir dengan alternatif-alternatif pembenahan tanpa mengurangi hajat hidup manusia. Selain brutalitas Satpol PP yang ditunjukkan, berbagai tantangan pun masih menjadi penghalang dalam penerapan HAM pada institusi berseragam hijau kebiru-biruan ini, dimana berbagai macam wujud Perda yang mengatur wewenang Satpol PP, secara politik bisa disalah gunakan sebagai pelindung kepentingan politik kepala daerah karena secara aturan Satpol PP berada langsung di bawah kendali pemimpin daerah sedangkan fungsi administrasi berada di Sekretaris Daerah. Dengan demikian, Satpol PP dapat menjadi alat Pemda menghadapi aksi dan kritik warga sipil menggunakan wewenang institusi meskipun tindakan Satpol PP mengarah pada pelanggaran HAM, seperti penangkapan yang sewenang-senang, pemukulan dan penganiayaan pada warga sipil, penggeledahan di luar prosedur hukum, pembinaan yang melecehkan harkat dan martabat manusia.

Reimplementasi Tugas dan Fungsi Satpol PP
Korban dari setiap tindakan brutal dari Satpol PP adalah kaum marginanal. Kelompok ini terdiri dari warga miskin perkotaan, PKL-PKL, disabilitas, pekerja seks komersial, anak-anak jalanan, dan kaum marginal lainnya. Dengan demikian, Satpol PP harus di reimplemetasi pemahaman tugas dan fungsi sesuai dengan peluang-peluang yang dapat digunakan, yaitu:

Pertama, memaksimalkan peran pimpinan daerah dalam pengambilan keputusan berdasarkan prinsip HAM, kesetaraan gender, dan good governance. Peran ini dapat dimainkan oleh masyarakat sipil dengan memberikan masukan pada Pemda sekaligus sebagai media kritik dan pengawasan publik dalam setiap pergerakan penegakan peraturan daerah dan peraturan lainnya. Hal lain yang mungkin dapat dilakukan adalah melakukan represivitas dan vonis publik saat pemilihan Kepala Daerah pada aktor-aktor yang dianggap pro demokrasi.

Kedua, mendudukan aktor-aktor sipil dalam pelaksanaan pemilu sebagai aktor aspirasi memperjuangkan semangat demokrasi, sekaligus memaksimalkan pelaksanaan fungsi DPRD dalam penegakan aturan. DPRD dan Pemda juga harus mampu mengevaluasi perda-perda subversif yang mengeliminasi prinsip-prinsip hak dasar warga negara.

Ketiga, warga sipil harus mampu memberikan masukan-masukan implementasi kebijakan pada Pemda dan DPRD sebagai penanggung jawab dan mitra otonomi daerah dalam merumuskan kebijakan dan aturan ketertiban umum.

Jalinan sinergis yang terjadi antara warga, Pemda, dan DPRD dalam memanfaatkan peluang-peluang demokrasi dapat mengeliminasi dan mengurangi arogansi dan kekerasan Satpol PP.

Referensi:
                . kekerasan Satpol PP. http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=5017/ (akses 20 Agustus 2013).
Bakumusu. Polisis Masih Ranking Satu Pelaku Kekerasan dan Pelanggaran HAM. http//bakumusu.or.id/news/index.php?option=comcontent&view=artikel&id=836/ (akses 19 Agustus 2013).
Hamida, Hamdah. 2010. Perlukah Satpol PP dibubarkan. https://www.facebook.com/ (akses 22 Agustus 2013).
KontraS, 2013. 50 Kekerasan Terhadap Sipil Dilakukan Aparat Kepolisian. http://indonesia.kini.co/2013/06/29/23/13/46/2996/ (akses 20 Agustus 2013).
Makarim, M. 2007. Hak Asasi Manusia. Proceeding Workshop Religious Issues Monitoring. Wahid Institute-Yayasan TIFA. Jakarta, 31 Oktober-3 November.
Okezone. 2008. http://news.okezone.com/read/2008/01/07/1/73265/ (akses 19 Agustus 2013).
Shalahuddin, Odi. Kekerasan Terhadap Anak Jalanan. http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/01/08/ (akses 22 Agustus 2013).






TRANSLATE: