SELAMAT MEMBACA

Monday 10 February 2014

REFLEKSI PELAYANAN PUBLIK KOTA KUPANG



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Freepublik PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi Harian Kota Kursor pada Senin, 10 Februari 2014

Pengantar
Intisari dari suatu pendekatan pemerintah untuk memaksimalkan dan memajukan kesejahteraan warga sesuai amanat Undang-Undang Pemerintah Daerah yaitu dengan memberlakukan otonomi daerah (Otda). Otonomi dimaksudkan sebagai pemberian kewenangan pada pemerintah daerah untuk mengurus urusan rumah tanggahnya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini digunakan untuk memaksimalkan pelayanan dan pendekatan pada warga demi mencapai tujuan kesejahteraan.

Ironi ketika tujuan mulia dari instrumen hukum tersebut dianggap sebagai pemberian kedaulatan pada daerah untuk berbuat apa saja sesuai dengan kepentingan kelompok dan golongan. Otonomi daerah dianggap sebagai pemberian hak mutlak pada daerah untuk berbuat apa saja, sehingga pada akhirnya membentuk raja-raja di daerah. Dampak dari penafsiran otonomi daerah yang salah ini mengakibatkan warga selalu terdiskriminasi dan tereliminasi dari serangkaian kewajiban negara untuk meningkatkan mutu pelayanan.

Kekacauan mutu pelayanan yang terjadi mengakibatkan rakyat selalu mengeluh dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara untuk menerima layanan pemerintah yang responsif, adil, murah, dan berkualitas. Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menjadi positivisme warga mendapat ruang untuk berpartisipasi dan menuntut kewajiban pemerintah untuk memberikan mutu pelayanan yang berkualitas. Instrumen ini menegaskan bahwa pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik.

Kota Kupang sebagai barometer propinsi untuk meningkatkan pelayanan publik bagi warga negara masih memberikan diskriminasi pelayanan seperti pungutan liar, biaya administratif yang mahal, ketiadaan sarana dan prasarana publik, sikap petugas tidak ramah, perbedaan pelayanan, birokratisasi yang berbelit-belit menjadi contoh buruk indikasi pelayanan publik di Kota Kupang.

Refleksi Pelayanan Publik Kota Kupang
Berharap adanya pelayanan publik yang masksimal tidak saja dibutuhkan kesiapan daerah untuk memenuhi prosedur pelayanan namun lebih daripada itu adalah sejauhmana pemerintah mampu memberikan kondisi aktual melalui kebijakan dan program yang menyentuh warga negara. Memaksimalkan kinerja penyelenggaraan publik di Kota Kupang maka Freepublik dan PIAR NTT melakukan mobile complain (pengaduan keliling) untuk mencari tahu respon warga dalam menilai wujud pelayanan publik di Kota Kupang.

Mobile complain  merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan respon masyarakat atas pelaksanaan pelayanan publik di Kota Kupang. Respon masyarakat atas pelaksanaan pelayanan publik bukan merupakan suatu upaya mencari salah dan benar tetapi merupakan alat untuk mendorong pelayanan publik yang adil dan berkualitas. Hasil temuan lapangan Freepublik dan PIAR NTT pada kegiatan mobile complain sejak Desember 2012-Desember 2013 pada 1035 responden menemukan bahwa diwilayah Kota Kupang jumlah pengadu atas layanan publik lebih didominasi laki-laki sebanyak 583 orang (56%) sedangkan perempuan sebanyak 452 orang (44%). Berdasarkan kelompok umur, persentase tertinggi lebih didominasi kelompok umur usia 17-26 tahun (40%), diikuti kelompok umur 27-36 tahun (26%), kemudian kelompok umur 37-46 tahun (21%). Sedangkan kelompok usia yang lain berada pada posisi 7%.

Bidang layanan publik yang disoroti warga lebih pada lima jenis bidang layanan yaitu kesehatan, pendidikan, kelistrikan, perizinan, dan administrasi kependidikan. Jika diperhatikan berdasarkan jenis kelamin maka perempuan lebih banyak merespon bidang pelayanan kesehatan (125 responden), sedangkan laki-laki lebih banyak merespon pada bidang pelayanan lain seperti air bersih, pengurusan sertifikat tanah, sampah, insfrastruktur jalan, kebersihan serta penataan pasar, dana BLSM dan dana PEM sejumlah 145 responden. Berdasarkan umur maka bidang layanan publik kesehatan, pendidikan, kelistrikan, serta pelayanan Aminduk lebih banyak diresponi oleh responden kelompok umur 17-26 tahun. Sedangkan untuk bidang layanan perizinan dan bidang layanan lainnya lebih didominasi kelompok umur 37-46 tahun.

Syarat administrasi yang berbelit-belit, transparansi biaya belum jelas, sikap petugas yang tidak ramah, fasilitas kurang memadai, ketidakjelasan prosedur layanan, waktu pelayanan, dan lainnya merupakan sorotan pengaduan dan keluhan warga pada kegiatan mobile complain. Berdasarkan jenis kelamin, data yang ada menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak merespon pada jenis keluhan biaya dengan jumlah 211 responden, sedangkan laki-laki lebih banyak merespon pada jenis keluhan ketidakjelasan prosedur layanan sejumlah 195 responden. Jika berdasarkan kelompok umur, maka jenis keluhan lebih didominasi oleh kelompok umur 17-26 tahun. Sedangkan untuk jenis keluhan layanan lainnya lebih didominasi kelompok umur 27-36 tahun.

Berdasarkan sikap warga terhadap jenis keluhan maka yang pernah dilakukan adalah melaporkan kepada unit layanan/pimpinan dari unit layanan terkait, mengikuti alur dari petugas, tidak tahu mengadu kemana, melakukan protes langsung terhadap petugas, menerima kondisi tersebut atau pasrah, tidak melakukan apapun (diam), menyampaikan lewat kotak saran atau nomor telepon pengaduan, mengeluhkan ke sesama warga, menyampaikan ke media massa, menyampaikan ke aparatur kelurahan, menyampaikan aspirasi ke legislatif, serta melaporkan ke Ombudsman. Menuntut perbaikan layanan maka warga berharap agar penyelenggara layanan harus lebih responsif dan peka terhadap keluhan masyarakat serta tidak membedakan pelayanan kepada masyarakat dari strata sosial dan ekonomi; adanya perbaikan sikap petugas agar lebih ramah dalam pelayanan, bila perlu diberikan sosialisasi tentang cara melayani sesama agar masyarakat merasa lebih nyaman (melayani dengan hati); harus ada standar baku tentang waktu pelayanan serta biaya pelayanan, jika memungkinkan digratiskan; pemerintah lebih tegas dalam menerapkan sanksi bagi petugas unit layanan yang bermasalah atau melanggar aturan; pemerintah lebih banyak membuka ruang-ruang publik bagi masyarakat agar pemerintah dapat mengetahui kesulitan dan permsalahan yang dialami oleh warga masyarakatnya; adanya informasi terbuka yang disampaikan kepada masyarakat terkait prosedur pelayanan agar masyarakat tidak dipersulit dan pelaksanaannya tidak berbelit-belit; masyarakat perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik; pemerintah daerah untuk segera menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap kerja pemerintah.

Memaksimalkan pelayanan yang profesional dan akuntabel di Kota Kupang maka perlu direkomendasikan agar standar pelayanan pada setiap lembaga pemberi layanan perlu dibuat dan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku; ruang ekspresi publik yang dibuat oleh pemerintah Kota Kupang perlu dikembangkan pada level kecamatan dan ada konsentrasi pada bidang-bidang tertentu; serta posko-posko pengaduan yang dibentuk warga tidak dianggap sebagai musuh namun lebih dianggap sebagai mitra dalam partisipasi publik.

Resolusi Penataan dan Peningkatan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Memastikan adanya urgensi perbaikan dan peningkatan penyelenggaraan publik di Kota Kupang maka perlu dilakukan resolusi-resolusi oleh Pemerintah Kota untuk memaksimalkan penyelenggaraan pelayanan publik. Tiga hal dalam resolusi tersebut adalah instrument, structure, and culture berbasis pengawasan.

Instrumen bertujuan untuk memastikan adanya standar yang baku baik berupa Standar Pelayanan Minimal (SPM), Standart of Procedure (SoP), Petunjuk Teknis (Juknis), Petunjuk Pelaksana (Juklak), dan lainnya sebagai pengaturan pelayanan. Instrumen ini juga memungkinkan adanya partisipasi warga dalam melakukan pengawasan berbasis kinerja dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Structure merupakan bentuk pengaturan koordinasi dan komando antara pelaksana dan konseptor penyelenggara pelayanan publik agar lebih memaksimalkan kualitas layanan. Selain itu, strukture mengatur adanya mekanisme komplain dari hulu sampai hilir penyelenggara layanan dan penerima layanan. Jika instrumen dan struktur dapat berjalan maksimal maka dengan sendirinya akan mempengaruhi culture dari penyelenggara layanan.

Jalannya suatu proses layanan menjadi baik jika adanya partisipasi warga sebagai penerima layanan. Oleh karena itu bentuk-bentuk pengawasan warga perlu digalakkan agar menjadi optimisme mendapatkan layanan yang baik. DPRD sebagai aspirasi harus berani menegur mitrannya jika terdapat degradasi maupun manipulasi dalam penyelenggaraan layanan publik. Jika terdapat penyelewengan dan penyalahgunaan kewenangan penyelenggara maka pihak aparat hukum perlu mendalaminya sebagai bentuk pelanggaran kriminal. Media massa sebagai pembentuk opini warga wajib memantau jalannya penyelenggara publik sebagai media informasi. Semuanya akan baik jika pimpinan daerah maupun pimpinan SKPD mampu memaksimalkan pengawasan internal dan selalu berpegang pada prinsip profesional dan akuntabel.

Penutup
Pelayanan publik akan baik jika terjadi multi layered system (pengawasan berlapis) yang terjadi di masyarakat, pemerintah, DPRD, dan aparatur hukum. Pelayanan publik tidak harus gratis dan subjektif namun lebih ditekankan sejauhmana peyelenggaraan publik terjadi secara profesional dan akuntabel.

TRANSLATE: