SELAMAT MEMBACA

Thursday 29 August 2013

POLISI YANG GAGAL



POLDA NTT IMPOTEN
Oleh. Ian Haba Ora

Pengantar
Kata sahabatku Herlina Umbu Deta, semakin orang/lembaga dikritisi maka semakin memberikan perubahan maupun progress report untuk tidak lagi dikritisi. Tapi, saya mulai berpikir, apakah perkataan itu masih menjadi mantra untuk saat ini dengan dinamika hukum yang mampu dibeli dan diintervensi secara manipulatif.

Alasan saya mendasar ketika suatu modus hukum dikritisi maka tidak akan jauh dari terali besi penjara atas dasar pencemaran nama baik seseorang ataupun institusi. Prita Mulyasari ketika mengkritisi Rumah Sakit ternama karena diskriminasi pelayanan kesehatan harus mendekam di sel. Sarah Lery Mboeik ketika mengkritisi penegakan HAM di NTT harus dianggap musuh dan komunis oleh Letkol Arif Rahman ketika masih menjabat Danrem Kupang. Romo Frans Amanue harus dicap sebagai pastor yang tidak berbobot karena mengadvokasi ketimpangan hukum kaum miskin di Flores. Dumul Djami harus ditendang dari kabinet Pemkot Kupang dan hampir dipolisikan karena mengkritisi kebijakan subjektif yang tidak propoor mantan Sekda Kota Kupang Jonas Salean. Begitupun penulis pernah di polisikan karena sering mendemo kebijakan pemkot kupang saat menjadi mahasiswa. Tetapi bersyukur, nama populis yang disebutkan tidak sampai mendekam di bui penjara karena masih dilindungi kemurahan Tuhan dan dibela rakyat.

Negara dan Rakyat
Rakyat tidak dapat dipisahkan dari pengertian negara karena salah satu unsur adanya sebuah negara adalah rakyat selain kedaulatan, wilayah, pemerintahan, dan pengakuan defakto negara lain. Dengan demikian, rakyat menyerahkan sepenuhnya kepada negara untuk menjalankan kewajiban secara perundang-undangan demi terciptanya kepuasan hukum dan kesejateraan bagi rakyat itu sendiri.

Tetapi kini batas antara kewajiban negara dalam perlindungan rakyat sangat tipis dibandingkan dengan kemampuan (vitalitas) negara dalam melindungi rakyatnya. dr. Boyke dalam sebuah acara televisi menuturkan ketidakmampuan dalam memuaskan hasrat klimaks reproduksi disebut impotensi. Jika diilustrasikan pada ketidakmampuan vitalitas lembaga terhadap kepuasan rakyat maka dapat juga disebut impoten.

Berbagai pemberitaan di NTT yang hampir dikritisi setiap hari dalam headline media massa adalah kinerja penegakan hukum di Nusa Tenggara Timur. Kinerja penegakan hukum selalu dipertanyakan oleh berbagai kalangan baik korban maupun pemerhati hukum terhadap progress report sebuah kasus. Lembaga yang paling banyak dikritisi adalah Polda NTT. Telah berganti pimpinan setiap periode, namun tetap saja tidak mampu (impoten) memberikan kepastian penegakan hukum di Flobamora.

Impotensi Polda NTT
Sarah Lery Mboeik Anggota DPD RI setiap kali reses selalu membuat merah telinga Kapolda NTT karena selalu menjudge ketidakmampuan Polda untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum, terlebih-lebih jika kasus hukum melibatkan anggota Polri maupun aktor hukum lain (TNI, Jaksa, Hakim dan konglomerat).

Beberapa kasus yang menjadi dasar kritikan impotensi kinerja di Polda NTT adalah kasus terbunuhnya Paulus Usnaat dalam Sel Mapolsek Nunpene-TTU tanggal 2 Juni 2008 yang diduga terencana secara sistemik melibatkan penguasa wilayah dan anggota Polri harus berulang tahun hampir satu dekade. Mutilasi pada seorang perempuan yang dibuang pada bak sampah Fontein awal tahun 2011 diduga melibatkan seorang aktor keamanan hingga kini belum ada kemajuan hukumnya, hanya menjadi wacana proses hukum yang semu. Terakhir adalah tewasnya Bripka Obaja Nakmofa yang diduga terbunuh oleh rekan sesama polisi Robson belum sepenuhnya memberikan nilai keadilan pada keluarga korban. Ironisnya, terduga pelaku tidak terhukum atas kasus pembunuhan tetapi terjerat atas kasus penggelapan motor curian. Pertanyaannya, korban yang adalah anggota Polri tidak mampu diselesaikan secara hukum oleh lembaga yang menaunginya, apalagi kasus hukum yang korbannya kaum miskin dan marginal? Jawabnya adalah jauh panggang dari api.

Kapolda NTT Brigjen Pol Untung Yoga Ana pernah mengatakan pada sebuah temu antara Kompolnas dan Aktivis serta Pengamat Hukum di ruang rapat utama Mapolda NTT, “bahwa Polri ini telah baik kerjanya, tapi banyak juga masyarakat yang tidak puas, itu karena mereka tidak tahu apa yang kita kerjakan”. Subjektivitas Kapolda ini sebenarnya menunjukkan ‘espirit de corps’ perlindungan korps yang dapat memberikan keleluasan penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota Polri.

Kritik itu baik.
Sebuah buku tulisan Widodo Umar (2009) yang saya baca ada tertulis, “jangan berhenti mengkritik polisi” menjadi inspirasi tulisan ini. Semakin dikritik sebenarnya kita menjadi pionir dalam memperbaiki kinerja hukum makin profesional dan akuntabel di Indonesia.

Maksud dari polisi profesional mengacu pada penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan berjangka panjang; memberi pelayanan terbaik; otonom, memiliki lembaga kontrol atas kinerjanya, memiliki organisasi profesi melalui asosiasi, memiliki kode etik dan kebanggaan profesi; profesi kepolisian sebagai pengabdian, bertanggungjawab atas monopoli keahlian dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang perlu diterapkan pada lembaga kepolisian, yaitu: 1) Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2) Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggota apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3) Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.

Mengharapkan profesioanal dan akuntabel dari kepolisian tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa didukung pengawasan dari eksternal organisasi, yaitu masyarakat. Ciri khas pendekatan pengawasan rakyat era reformasi dan demokrasi adalah kritik. Kritik tanpa memberikan solusi adalah tidak membangun, dan kritik tanpa resolusi adalah sebuah absurtisme.

Solusi dan Resolusi
Morat maritnya penegakan hukum menjadi pertanda kemunduran esensi hukum itu sendiri. Secara gradual, reformasi Polri tidak segampang membalikkan telapak tangan layaknya berjabat tangan. Tetapi, kontrol publik akan menjadi penyemangat dalam mensikronkan reformasi untuk dilakukan secara bertahap, teratur, dan berkesinambungan.

Untuk itu, beberapa hal yang dapat ditawarkan adalah:
1.    Setiap pergantian pucuk pimpinan di setiap teritori dan otoritas lingkup Polri harus ditandatangani pernyataan target penyelesaian sebuah kasus sistemik yang terdekam tanpa ada kemajuan penanganan kasus. Kompolnas harus memberi warning kasus prioritas penyelesaian untuk  dievaluasi progres report setiap semester maupun setiap tahun, dan kasus-kasus tersebut harus dipublikasi melalui media setiap dievaluasi. Solusi ini pasti dianggap sebagai retorika oleh Polri, tetapi kenyataan selama ini, institusi Polri belum memiliki grand desighn yang jelas dan populis setiap pergantian pucuk pimpinan di Polda NTT.

2.    Membentuk tim pencari fakta independent dengan menggandeng LSM seperti PIAR NTT, Pengacara, dan praktisi hukum. Laporan TPF harus dibarengi dengan pelatihan khusus oleh Polri dalam mencari fakta dan data sekaligus memberikan perlindungan kepastian hukum pada TPF jauh dari intervensi pihak Polri. Ataupun, memintah bantuan Kontras Jakarta dan LSM lain yang capable dan integrity menyelidik kasus-kasus tertentu yang sulit dipecahkan Polri. Solusi ini pasti akan dibantah habis-habisan oleh Polri karena ketiadaan anggaran dan ketakutan dianggap tidak mampu, tetapi banyak bukti menunjukkan bahwa TPF bentukan LSM lebih mampu dibandingkan penyelidikan Polri. Misalkan TPF Munir mampu membongkar aktor belakang layar pembunuhan aktivis Munir, namun eksekusi hukumnya saja yang tumpul pada penegakan hukum untuk memberi keadilan pada korban.

3.    Kapolda NTT perlu memikirkan pemberantasan mafia hukum dalam internal institusi karena dari pengamatan publik sebenarnya Kapolda NTT banyak tertipu dari bawahannya. Kapolda selalu dianggap tidak mampu memimpin oleh publik tetapi sebenarnya dengan otoritas yang dimiliki Kapolda mampu secara prerogratif untuk memaksa dan meminta pertanggungjawaban kinerja bawahan, jika dari evaluasi tidak memberikan kemajuan maka direkomendasikan untuk di non job kan dari jabatan. Misalkan kasus-kasus korupsi, bawahan lebih menjadikan tersangka sebagai tempat pemerasan “katanya permintaan Kapolda” tetapi sesungguhnya itu adalah akal busuknya bawahan. Kasian Kapolda dikritisi karena ketidakjujuran dan ketidakbecusan bawahan.

Mengkritisi Polri bukan merupakan ketidaksenangan masyarakat akan institusi tetapi lebih dominasi kekecewaan hasil hukum yang diterima korban dan pengamat hukum akan kemunduran reformasi Polri. Kritikan publik harus dianggap sebagai penyamangat reformasi Polri, tidak harus dijadikan sebagai ancaman. Demikian tulisan ini dibuat sebagai wujud pemerhati Polri. Bravo POLRI. {Tulisan ini dipublikasi oleh Timor Exprees pada 27 Agustus 2013}

Penulis. Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT


TRANSLATE: