SELAMAT MEMBACA

Tuesday 22 April 2014

POLITISI SALAH KAMAR



Ian Haba Ora
(Ketua Freepublik NTT)

Pengantar
Mendekati pemilihan umum (Pemilu) tanggal 9 April 2014, sekiranya rakyat tidak lagi tertipu janji dan rayu para politisi busuk yang tiba-tiba muncul dengan kekuatan bak pahlawan mengaku telah berbuat banyak untuk daerah pemilihannya. Berbagai kritikan keras dilontarkan oleh berbagai praktisi dan pengamat politik terhadap perilaku koruptif politisi, namun belum mampu dan masif di tengarai oleh masyarakat. Beberapa politisi yang tidak layak dipilih dari Daerah Pemilihan NTT sesuai data ICW (2013) dan pemberitaan Victory News (Minggu,6/4/2014) yakni, Setya Novanto dan Melkias Mekeng (Caleg dari Golkar), Herman Herry (Caleg PDIP), dan Pius Lustrilanang (Caleg Gerindra) merupakan rekomendasi sebagai Caleg yang diduga kuat tidak pro pemberantasan korupsi. Wajar saja sindiran Viktor Bungtilu Laskodat dan Sarah Lery Mboeik praktisi politik NTT merasa kuatir atas perilaku calon yang memanfaatkan kekuasaan uang dan kewenangan jabatan untuk berbuat apa saja terhadap rakyat yang buta politik. Apa yang ditegaskan oleh Laskodat dan Mboeik harus menjadi cara pandang warga keluar dari bentuk perilaku koruptif politisi. 

Menjadi trend tersendiri ketika mendekati hari pencoblosan, para politisi berani bersuara untuk mengkampanyekan komitmen perjuangan aspirasi rakyat. Kompetisi diantara petarung politik (politisi) merebut kursi parlemen baik senator senayan, propinsi, maupun kabupaten/kota menjustifikasi (membenarkan) setiap kandidat menghalalkan strategi khusus pemenangan kompetisi pemilihan umum. Demikian pula golongan incumbent (masih menjabat).

Masyarakat wajib melek politik, paham dinamika berpolitik, dan mampu memilih figur politisi yang memiliki jiwa kejujuran nurani dan cerdas memperjuangkan aspirasi rakyat agar propinsi NTT dengan sebutan adagium ‘Nanti Tuhan Tolong’ atau ‘Nestapa, Terlara, dan Tertipu’ dapat mengurangi justifikasi pemikiran orang luar untuk menganggap NTT sebagai sekumpulan orang yang mudah diperdayai. Ironis juga ketika adagium ini merupakan manifestasi (perwujudan) dukungan tabiat politisi NTT yang terus memoles rakyat dengan sejumlah uang dan materi untuk mendulang suara dan memenangkan perlombaan menjadi senator. Bahkan beberapa politisi incumbent beranikan diri “klaim” program pemerintah sebagai perjuangan mereka seperti pupuk, BSM, Wife meskipun caleg tersebut tidak berada di komisi tersebut.

Politisi Salah Kamar
Moment politik di Indonesia tahun ke tahun belum nyata diilhami dan didukung nilai-nilai demokrasi. Para politisi cenderung bargaining position bentuk politik transaksional yang melemahkan warga. Praktek jual beli suara dan materi merupakan contoh nyata kelainan demokrasi pemilu di negeri ini, bahkan politisi mampu berkonspirasi dengan pemerintah untuk tukar menukar kepentingan. Puskapol UI (2014) mengartikan transaksi politik sebagai pertukaran sumber daya antara warga atau pemilih dengan kandidat dan/atau partai politik peserta pemilu. Korban bentuk transaksi politik yang melemahkan warga adalah rakyat. Membebaskan diri dari jebakan bentuk transaksi politik sesat, masyarakat harus menjadi pemilih cerdas.

Pemberitaan Media Massa (Victory News) mampu menjadi suplai (penyumbang) pencerdasan politik warga dan berdaya kritis politik. Pemberitaan seputar pemilu di VN mempublikasikan berita politik tentang tabiat koruptif kandidat dalam menghalalkan segala cara merebut simpati dan dukungan warga pemilih melalui pasar murah, pengobatan gratis, kerjabhakti, tiba-tiba menjadi sosialis dan dermawan, peka lingkungan, bahkan praktek jual-beli suara dan program pada warga pemilih agar saat hari pencoblosan, kandidat dapat meraih dukungan terbanyak. Kelainan-kelainan politik tersebut mampu disorot oleh Media VN untuk diinformasikan kepada publik melalui koran. Beberapa politisi pun harus berurusan dengan pihak berwenang akibat pemberitaan informasi dari koran VN, seperti dugaan konspirasi politik balas jasa antara Herman Herry (Caleg DPR RI PDIP) dan Jonas Salean (Walikota Kupang) di Restoran Teluk Kupang dimana aparatur Pemkot Kupang dianggap terlibat memobilisasi warga dan pimpinan wilayah (Camat, Lurah, RT/RW) untuk berkomitmen kepentingan memenangkan kandidat PDIP tersebut. Demikian juga dugaan konspirasi antara Setya Novanto (Caleg DPR RI Partai Golkar) dan Benny Litelnoni (Wakil Gubernur NTT) serta institusi negara (BPK RI Perwakilan NTT dan Dinas PPO NTT) secara bersama-sama membagikan BSM (Bantuan Beasiswa) bagi anak didik sekolah di Aula Eltari Kupang, padahal Caleg Partai Golkar tersebut tidak memiliki aspirasi tupoksi bidang pendidikan, seharusnya secara kewenangan berada di Komisi bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.

“Caleg Tunggangi Program BSM” (Victory News,4 April 2014) menyebutkan salah seorang Caleg Partai Golkar Dapil NTT Dua diduga kuat salah kamar ketika mengaku bahwa BSM merupakan perjuangannya. Seharusnya Caleg tersebut dengan kekuasaan dan kewenangan lebih fokus bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai tupoksi Komisi jika realitas di NTT menunjukkan angka korupsi yang tinggi, reformasi Polri stagnan dari RENSTRA Polri, mafia hukum pada dugaan keterlibatan Jaksa, Polisi dan Hakim di ruang persidangan. Perlu diketahui publik, angka kejadian korupsi di NTT saat ini melampaui nadir kritis sesuai data PIAR NTT yang tersebar di 20 Kab/Kota dan satu daerah dekonsentrasi belum terselesaikan akibat dugaan ketidakberpihakan hukum. Jenis kasus korupsi tersebut memiliki peta penyebaran kasus per-wilayah cukup merata, yakni berkisar antara 1 – 20 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Kab. Rote Ndao (20), Pemerintah Provinsi NTT (17), Kota Kupang (15), Kab. TTS (13), Kab. Sikka (13), Kab. Manggarai (9), Kab. Flores Timur (8), Kab. TTU (7), Kab. Ende (7), Kab. Kupang (5), Kab. Belu (4), Kab. Alor (4), Kab. Sumba Barat Daya (2), Kab Sumba Timur (2), Kab. Manggarai Barat (2), Kab. Lembata (2), Kab. Sumba Barat, Kab. Nagakeo, Kab. Manggara Timur dan Kab Sabu Raijua masing-masing 1 kasus. Kasus tersebut masih sebatas bolak balik kejaksaan-kepolisian (Paul SinlaEloE,2013). Bahkan Politisi Partai Golkar tersebut saat ini masuk daftar terperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas sejumlah kasus dugaan korupsi. Sejauhmana pelanggaran pemilu dua caleg incumbent Herman Herry dan Setya Novanto, proses dan waktu saja yang membuktikan. Saat ini dalam penyidikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTT.

Politisi salah kamar dalam perspektif warga diartikan sebagai bentuk anggapan kesalahan politisi mengkampanyekan (sosialisasi) pesan dan informasi pada sasaran, secara subjektif diluar kewenangan tugas politisi tersebut. Misalkan banyak politisi sulit membedakan antara penyampaian visi-misi partai dan visi misi kandidat, kadang-kadang politisi salah menafsirkan tugas mereka.

Ketidakjelasan sistem demokrasi Indonesia dan perilaku koruptif kandidat berdampak pada keterpurukan kecerdasan politik warga dalam menyikapi sosok aspirator yang benar terbukti mampu memperjuangkan aspirasi. Warga terjebak dalam manipulasi demokrasi terhadap bentuk politik transaksional melalui pemberian bantuan ekonomi maupun uang dari kandidat tertentu. Sadar ataupun tidak, bentuk bantuan kandidat cenderung merupakan embrio (asal mula) investasi korupsi saat kandidat terpilih, apalagi jika bantuan tersebut merupakan anggaran pribadi.

Kecerdasan politik warga ditentukan sejauhmana warga mampu memobilisasi pilihan politik untuk melakukan politik transaksional yang menguatkan warga, terbuka, kontinue, pemerataan program perjuangan, sesuai bidang amanat dan networking, tidak melanggar aturan, serta menggunakan anggaran negara yang transparan dan akuntabel. Tetapi warga pemilih perlu berhati-hati indikasi kecurangan-kecurangan pemilu dari politisi busuk agar tidak terjebak perilaku poltik transaksional yang melemahkan warga. Meskipun penyelenggaraan Pemilu telah diantisipasi oleh Bawaslu namun belum didukung sepenuhnya oleh stakeholders lain seperti polisi dan jaksa. Terbukti, banyak laporan Bawaslu ke pihak berwenang menjadi kadaluarsa. Panwaslu pun tumpul, tidak mampu berbuat banyak.

Penutup
Berbagai indikator keterpilihan wakil rakyat memikul aspirasi menjadi jawaban mutlak untuk direnungi warga pemilih, agar tidak lagi terjebak bentuk politik janji dan klaim kandidat berdasar asumsi NTT merupakan orang-orang buta politik dan tidak kritis. Kedaulatan ada ditangan rakyat, gunakan hak suara sesuai nurani, dan jauhi bentuk politik transaksional yang melemahkan warga. Pilih mereka yang beri bukti, bukan janji.

TRANSLATE: