SELAMAT MEMBACA

Sunday 9 February 2014

HENTIKAN DISKRIMINASI DISABILITAS!



Oleh. Fellyanus Haba Ora
Ketua Freepublik PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi Harian Kota KURSOR (Kamis, 6 Februari 2014)

Pengantar
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas (Anak Berkebutuhan Khusus/ABK) harus dihentikan. Kehadiran pendidikan inklusi merupakan langkah menghilangkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Pendidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi masih belum terlaksana maksimal kerena tidak terakomodasinya kebutuhan siswa di luar kelompok siswa normal. Demikian intisari yang dikemukakan Kabid Pendidikan Inklusi Dinas P dan K NTT Sunarto pada seminar di UPTD Dinas Sosial NTT Sabtu, 1 Februari 2014.

Bagaimanapun usaha pemerintah untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan keterbukaan ABK untuk berinteraksi dan bernormalisasi di lingkungan masyarakat akan terasa sulit diterapkan ke masyarakat karena paradigma warga yang belum sadar untuk menganggap ABK sebagai bagian dari hidup manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya lebih untuk mengintensifkan cara yang lebih memaksimalkan cara pandang agar masyarakat lebih terbuka dalam menerima ABK sebagai esensi dari Hak Asasi Manusia.

Cara lebih kontinue dan lebih aktif adalah dengan cara membentuk komunitas-komunitas ABK diseluruh negeri untuk menjadi wadah naungan aspirasi dan perjuangan merebut simpati warga negara. Komunitas AIDS mampu merebut simpatik warga untuk menerima kaum ini sebagai bagian dari warga negara, begitupun komunitas Lepra mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan bidang kesehatan untuk memberikan ruangan khusus bagi penderita lepra melakukan pengobatan dilingkungan kesehatan. Demikian juga kaum Waria sedikit demi sedikit mulai menunjukkan eksistensi sebagai bentuk apresiasi dan kreativitas melakukan perjuangan aspirasi dan inovatif berdasarkan soft skill yang dimiliki. Selama ini Pemerintah terlalu banyak mengatur dan campur tangan terhadap eksistensi ABK sehingga dapat menciptakan ketergantungan berlebih pada pemerintah. Seharusnya Pemerintah hanya menjadi fasilitator dan mediator saja bukan untuk mengatur.

Diskriminasi ABK
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang mengalami keterlambatan lebih dari dua aspek perkembangan dan lebih dari satu tingkat umur atau anak yang mengalami penyimpangan. Gangguan dan hambatan dalam beberapa aspek, yaitu: fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa); bahasa dan komunikasi (tunarungu, anak dengan gangguan komunikasi); emosi dan perilaku (tunalaras); sensorimotor (tunadaksa); intelektual (tunagrahita); bakat (umum dan khusus); authisme; gangguan belajar (learning disabilities). Para penyandang ini mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitar terlebih dari negara. Khusus pendidikan para penyandang belum sepenuhnya mendapat pengakuan yang sama dengan anak-anak yang tergolong normal. Data Kementrian Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa baru 40% atau 16 ribu jiwa anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang tersentuh pendidikan dari 300 ribu jiwa lebih penyandang anak berkebutuhan khusus (http://www.portalkbr.com/). Forum Komunikasi Keluarga Anak Dengan Kecacatan Nusa Tenggara Timur (FKKADK NTT) melaporkan data penyandang disabilitas di NTT mencapai 30 ribu orang lebih. Sejumlah sepuluh ribu orang anak diantaranya merupakan penyandang difabilitas. Sekitar 3.370 orang diantaranya mengikuti pendidikan SDLB, SMPLB, dan SMA Luar Biasa. Selebihnya belum mengecap pendidikan diberbagai lembaga pendidikan (http://teenvoice.co.id/2012/04/26/).

Keterlambatan ABK dalam bertindak, berpikir, maupun bersosialisasi mengharuskan anak dengan status ABK tereliminasi dari hak-hak sebagai warga negara. Kebutuhan akan pendidikan tidak menjadi perhatian utama dari Pemerintah meskipun secara konstitusi telah menggarisbawahi bahwa kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Ironi ketika konstitusi tersebut hanya menjadi pedoman baku yang terus tercatat dalam dokumen negara namun mubazir. Pemerintah Daerah pun cenderung mendominasi pendidikan merujuk pada formalisasi infrastruktur bagi lembaga pendidikan normal.

Selama ini perjuangan Pemerintah hanya memaksimalkan program-program ABK dibidang pendidikan belum pada multi sektor. Padahal diskriminasi yang terjadi di ABK terjadi diseluruh sektor. Misalkan program-program kebijakan daerah masih pada perspektif warga yang normal belum pada warga berkebutuhan khusus. Salah satu cara perjuangannya adalah melalui politik. ABK sampai saat ini belum satupun yang mampu bersaing dikontes perpolitikan Indonesia. Kemenangan-kemenangan ABK dalam lomba disabilitas nasional menjadi contoh kemampuan bakat yang dimiliki oleh kaum ABK. Penemuan-penemuan dibidang riset dan kajian intelektual juga mampu ditorehkan oleh ABK. Atlet-atlet nasional bidang olahraga juga telah mampu diberikan oleh ABK. Jabatan-jabatan struktural pemerintahan belum mampu terakomodir dalan sistem pemerintahan baik nasional maupun daerah. Jika kita mencontohkan bagaiman komunitas-komunitas kaum perempuan memperjuangkan gender mampu merebut simpatik dan empati negara melalui perjuangan-perjuangan riil dimasyarakat. Itu semua dikarenakan komunitas perjuangan.

ABK perlu diberi ruang khusus untuk berskspresi dan berinovasi melalui komunitas-komunitas sebagai wadah ekspresi dan aspirasi memperjuangkan hakekat ABK. Contoh Martha seorang slow learner sebagai pengusaha sukses dan pengajar pascasarjana Universitas Indonesia hanya sebatas narasi yang diketahui oleh suksesnya bagi orang normal (http://rizkipuspa-plbuns2012.blogspot.com). Habibie Afsyah dengan keterbatasan fisiknya mampu mendulang sukses dan prestasi menguasai teknologi komputer dan internet (http://wismakreatif.blogspot.com). Siswa penyandang disabilitas asal NTT berhasil meraih empat medali emas dalam ajang paragemes (olahraga bagi penyandang disabilitas) di Myanmar (Victory News, Selasa-4 Februari 2014). Alesandro Aurel Amadeo Nadeak pengidap down syndrome (kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21) mampu berprestasi di dunia musik, bahkan menjadi pengajar pada penderita disabilitas yang lebih usia (http://news.liputan6.com). cerita-cerita sukses tersebut hanya menjadi dokumen kebanggaan negara namun belum terekspos secara masif yang dapat diketahui masyarakat.

Intensif Komunitas Memaksimalkan Prestasi ABK
Ketika Francis Xavier pergi sendirian ke berbagai benua untuk memberitakan Injil, Ia menemukan kekuatan dalam kesadaran bahwa Ia adalah milik sebuah komunitas yang mendukung dia dalam doa dan kasih persaudaraan. Dan banyak orang Kristen yang memperlihatkan ketekunan dalam menjalankan tugas yang berat sendirian, menemukan kekuatan mereka di dalam ikatan dengan komunitas yang didalamnya mereka melakukan pekerjaan mereka (http://www.dci.org.uk/zipped/komunitas.pdf). Hillery (1995) menyatakan komunitas dapat didekatkan melalui sekelompok orang, interaksi secara sosial diantara anggota kelompok itu, dan berdasarkan adanya kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri mereka atau diantara anggota kelompok yang lain, serta adanya wilayah-wilayah individu yang terbuka untuk anggota kelompok yang lain.

Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam tulisan Andhika Dutha Bachari (2011) melihat komunitas sebagai segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri, yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai persamaan nilai (values), perhatian (interest), yang merupakan kelompok khusus dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang telah melembaga (Sumijatun dkk., 2006). Mubarak (2006) mencontohkan komunitas-komunitas ini seperti kelompok ibu hamil, kelompok ibu menyusui, kelompok anak balita, kelompok lansia, kelompok masyarakat dalam desa binaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam kelompok masyarakat ada masyarakat petani, masyarakat pekerja, masyarakat petani, masyarakat pedagang, masyarakat pekerja, masyarakat terasing, dan sebagainya.

Perjuangan akan nilai dan kepentingan harus melalui wadah organisasi. Namun selama ini, khusus ABK tidak pernah terakomodir dalam sebuah wadah perjuangan yang masksimal karena lebih banyak campur tangan pemerintah. Seharusnya pemerintah mampu memediasi dan memfasilitator pembentukan komunitas-komunitas ABK untuk melanjutkan perjuangan-perjuangan dan potensi-potensi yang dimiliki ABK. Berbicara ABK yang lebih memahami adalah ABK bukan orangnon ABK. Kebijakan yang pro akan ABK harus diperjuangkan sendiri oleh ABK tidak bisa maksimal oleh pemerintah.

Komunitas akan sangat mendukung kerja-kerja dan potensi ABK dalam normalisasi dan adaptasi ABK terhadap lingkungan sosial maupun multi sektor. Meskipun peran orang tua dan pemerintah sangat mampu dan berkontribusi terhadap pemberdayaan ABK namun masih diperlukan pembenahan-pembenahan dibeberapa potensi harus dimaksimalkan. Apa yang dibutuhkan oleh ABK, hanya ABK yang mengetahui kebutuhan dan perilaku mereka. Oleh karena itu, Pemerintah harus memberikan kesempatan pada ABK untuk memaksimalkan potensi ABK sebagai kaum terdiskriminasi yang mencari jati diri.

Penutup
Setiap orang memiliki potensi dan bakat masing-masing termasuk ABK. Komunitas merupakan strategi untuk wadah perjuangan aspirasi dan potensi. Keteraturan cara pandang dan bertindak akan cepat terealisasi ketika tanggungjawab langsung diberikan pada kaum termarginalisasi. Pemerintah harus mampu memediasi dan memfasilitasi kebutuhan dan aktivitas ABK. Pemerintah juga harus sinkronisasi sosialisasi massif pada masyarakat untuk mampu menerima ABK sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hentikan dikriminasi disabilitas!

TRANSLATE: