SELAMAT MEMBACA

Tuesday 5 November 2013

CARA PANDANG WARGA PADA SATPOL PP



SATPOL PP dan PARADIGMA WARGA
Oleh. Ian Haba Ora 
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Pengantar
Sosio kemasyarakatan menampilkan berbagai aktivitas kehidupan yang tampak brutal menggunakan kewenangan institusi untuk mengintimidasi dan arogansi premanisme pada kaum miskin dan marginal. Satuan Polisi Pamong Praja merupakan manisfestasi metafora aksi kekerasan dalam penggusuran dan pembongkaran lapak-lapak jualan secara paksa komunitas pedagang kaki lima. Begitupun kabar audio, visual, maupun cetak memberitakan ketika terjadi razia ke panti-panti pijat sering mengkangkangi perilaku pelecehan seksual, menangkap dan menahan orang yang dianggap menyalahi aturan Perda tanpa prosedural, memprovokasi masyarakat dengan arogansi kebijakan subversif. Dengan demikian, setiap tindakan mendiskriminasi tanggungjawab negara untuk mensejaterahkan rakyat, ironisnya lagi setiap aksi tanpa dipikirkan grand desighn pasca penertiban. Namun, seringkali aksi-aksi Satpol PP menimbulkan cara pandang beragam masyarakat terhadap aksi-aksi brutalisme Satpol PP. Berikut ini beberapa pandangan Hairus Salim dalam buku Polisi Pamong Praja dan Reformasi Sektor Keamanan terbitan IDSPS dan DCAF (2009:8-10) yaitu:

Pandangan moderat. Kelompok ini menganggap arogansi Satpol terhadap warga berbuah kekerasan hanya kekeliruan teknis prosedural atau adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat provokatif terhadap anggota Satpol PP. Eksistensi Satpol PP sangat urgent dalam menata dan mengatur ketentraman dan ketertiban kota, dan inisiasi hadirnya Satpol PP dalam mengawal kebijakan daerah dan penegakan Perda yang berkualitas di masyarakat. Tetapi, cenderung masyarakat merasa apatis dan menganggap pemerintah mengeluarkan aturan yang dianggap destruktif dan represif. Ketika dilakukan penertiban maka muncul konfrontasi antara Satpol PP dan warga berujung pada kekerasan.

Pandangan liberal. Kalangan ini menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama sekali. Kaum ini lebih berharap agar soal ketertiban dan keamanan diserahkan kepada kalangan polisi saja karena jika satpol PP diberikan kewenangan lebih untuk melakukan penyidikan maka akan tumpang tindih antara Satpol PP (PP 6/2010) dan Polri (UU 2/2002). Ini terutama karena Satpol PP sering mengurus hal-hal yang bersifat “privacy” yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas ini. Tumpang tindih ini akan menimbulkan masalah, terutama makin banyaknya Satpol PP mengambil peran polisi dengan mengabaikan ‘code of conduct’ seorang penegak hukum. Kaum liberal lebih banyak didominasi oleh kaum kelas menengah ke atas.

Pandangan kritis. Kaum kritis sama seperti kaum liberal yang menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi, alasannya berbeda. Ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari hidup kaum kritis seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima, pengamen, pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain, yang selama ini menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan kritis, Satpol PP tidak lebih dari ‘aparat militer’ dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik.

Pandangan-pandangan di atas menjustifikasi akan potensi komunal antara yang mendukung dan tidak mendukung aktivitas Satpol PP sebagai institusi penegak kebijakan dan peraturan daerah.

Ambiguitas Satpol PP
Durasi pergerakan terlepas dari cara pandang kaum moderat, liberal, dan kritis terhadap Satpol PP menginisiasi aktualisasi yang selama ini muncul dalam setiap kegiatan dan pemberitaan media massa maupun elektronik. Ada beberapa hal yang mendasari aksi brutalitas Satpol PP, yaitu:

Terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 06 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam aturan ini memberi kewenangan pada Satpol PP untuk melakukan tugas penyelidikan dan penahanan yang dapat menimbulkan multiintepretasi mengilhami tugas polisi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja dan Permendagri 26/2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota SatpolPP. Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.

Hal penyebab Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik daripada pendekatan sosial dan kultural. Institusi Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain, dan dijadikan preman-preman jalanan sebagai Banpol (Bantuan Polisi) yang hangat dengan premanisme.

Institusi Satpol PP rawan politisasi Kepala Daerah, karena bertanggung jawab penuh dan berada langsung di bawah naungan Gubernur, Walikota, maupun Bupati. Seringkali dalam setiap kebijakan kepala daerah sering menggerakkan satpol pp untuk mengintimidasi dan arogan terhadap kaum penentang yang pada akhirnya menciderai hak asasi manusia. Disisi lain saat mendekati proses pemilu maupun pilkada Satpol PP dijadikan sebagai ‘mata-mata’ maupun mobilisasi aparatur untuk menjadi tim sukses pemenangan melalui pendekatan kebijakan-kebijakan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah (Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.

Revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis
Penulis ketika mengetik artikel ini membangun komunikasi via telepon untuk berdiskusi bersama Bapak Drs. Dumuliahi Djami, M.Si yang juga adalah mantan Kasat Pol PP Kota Kupang (interview telpon, 8 Agustus 2013). Alasan penulis menghubungi orang ini didasari atas loyalitas dan kemampuannya ketika memimpin institusi Satpol PP Kota Kupang tidak pernah terindikasi aksi brutalitas, penyalahgunaan wewenang, bahkan persuasif dan populis dalam pendekatan regulasi pada masyarakat. Dari hasil diskusi maka penulis menyimpulkan beberapa catatan penting untuk revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis, yaitu:

Perlunya reformasi dan revitalisasi birokrasi bukan saja pada instrumen hukum namun secara struktur dan budaya. Secara intrumen Pol PP telah memiliki PP 32 tahun 2004 dan direvisi dengan PP 6 tahun 2010. Secara struktur Pol PP berbeda dengan garis komando Polri meskipun kata “polisi” yang lebih ditonjolkan. Secara budaya, masih banyaknya anggota Satpol PP yang berkarakter militer. Namun semua itu tidaklah dapat disamaratakan seantero nusantara lantaran Pol PP mengilhami asas otonomi daerah, sehingga yang menjadi inti pergerakan institusi adalah paradigma pemimpin yang responsif hukum, HAM, Gender, dan populis;

Pelanggaran-pelanggaran yang mengindikasikan keterlibatan aktor (baik aktor Pol PP maupun aktor sipil) perlu diproses hukum secara imparsial (asas keadilan) sehingga dapat meminimalisir kasus pelanggaran terhadap UU dan mencegah indikasi keberulangan (remidial indicate);

Seringkali rekruitmen Pol PP masih sebatas pada paradigma pegawai-pegawai bermasalah dilingkungan PNS tanpa didasari pemahaman pendidikan persuasif. Begitupun perekrutan cenderung pada fisik semata belum pada tingkatan sumber daya manusia yang kondusif. Bila pemerintah (pusat) benar-benar menciptakan Pol PP yang profesional baik intitusional maupun anggotanya maka mulai proses rekrutmen, proses pendidikan, kurikulum pun harus dimulai dengan profesional. Rekrutmen anggota Satpol PP harus tersendiri dan berbeda dengan rekrutmen PNS non Pol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Realita karena kekurangan anggota Satpol PP diangkatlah Banpol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Anggota Satpol PP harusnya menjadi anggota Satpol PP dari awalnya bukan pada akhirnya”;

Polisi Pamong praja memiliki sejarah tersendiri sehingga lahirnya tidak serta merta karena kekinian/kontemporer tetapi lebih difokuskan karena kebutuhan hingga usianya kini yang makin dewasa. Jika dikaitkan dengan segi historis maka dapat dikatakan upaya pembubaran institusi Pol PP oleh kalangan kritis dan liberal merupakan pengingkaran terhadap sejarah. Karena secara otonom, institusi Pol PP bertanggung jawab kepada Kepala Daerah maka secara Social Approach (pendekatan sosial) berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tidak bisa dikatakan sebagai pemerataan.

Pol PP secara rasionalitas atau praktis tidak dapat dijadikan sebagai salah satu institusi yang perlu dibubarkan lantaran emosional dan anarkisme yang ditunjukkan institusi Pol PP daerah otonom lain. Kebrutalan aktor tidak serta merta terwakilkan secara institusi, misalkan kasus perkelahian aparat negara dan warga lantaran tindakan emosional tidak serta merta dijadikan kesalahan institusi (bukan memahami espirit de  corps).

Resolusi atau Rekomendasi
Peningkatan peran dan kinerja anggota Satpol PP dalam menertibkan sesuai perintah peraturan daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah yang berkaitan dengan penegakan HAM, maka perlu diberikan rekomendasi-rekomendasi.

Pertama, untuk Pemerintah Pusat: bekerjasama dengan donor untuk melakukan reformasi kebijakan dan institusi Satpol PP, termasuk untuk mengamandemen undang-undang, membuat cetak biru dan capacity building bagi Satpol PP yang lebih menghormati dan melindungi nilai-nilai hak asasi manusia; menelaah ulang serta mengaudit peraturan keterlibatan Satpol PP untuk memastikan kesesuaiannya dengan standard penerapan undang-undang internasional, misalnya standar PBB mengenai kode perilaku bagi aparat penegak hukum, dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata; menyediakan bagi aparat Satpol PP pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta masalah yang dihadapi kaum termaginalkan (terpinggirkan).

Kedua, untuk Pemerintah Daerah: memastikan bahwa petugas dan anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan public; menyelidiki dan menuntut secara hukum aparat Satpol PP yang bertanggung jawab melakukan kekerasan, perampasan, penghancuran harta benda pribadi secara sewenang-wenang selama operasi penertiban. Harus ada konsekuensi, termasuk penuntutan kriminal dan pemecatan apabila terbukti; menelaah ulang pengalokasian dana untuk sektor keamanan dan ketertiban dalam anggaran belanja daerah (APBD) untuk menjadi perhatian serius lantaran beban kerja Pol PP yang banyak dan berhubungan dengan kepentingan keamanan publik.

Dengan demikian, eksistensi Satpol PP dalam penegakan Perda dan penjagaan ketentraman dan ketertiban masyarakat tidak semata-mata dipandang sebagai boneka drakula yang mudah diintervensi, diinvasi, dan dipolitasi berujung pada espirit de corps akan aksi-aksi brutalitas.





REFORMASI POLRI YANG MEMBINGUNGKAN



KATA ORANG PINTAR DAN REFORMASI POLRI  YANG MEMBINGUNGKAN!
Mencermati Opini Publik “Penahanan Ketua DPRD Kota Kupang” Oleh Polresta Kupang
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Task Force Team NTT

Kata Orang Pintar
Tulisan dari penulis dalam kelemahannya sebagai wong cilik/kaum proletar dengan keterbatasan sumber daya manusia (IQ and EQ), mencoba mencermati fenomena penahanan Ketua DPRD Kota Kupang, Vecky Viktor Lerik, SE oleh pihak Polresta Kupang dikaitkan dengan pendapat pakar/pemikir/ahli atau yang lebih dikenal dengan istilah orang pintar.

Pemberitaan media massa atas penangkapan, penahanan dan menangguhkan penahanan menjadi babak lakon retorika dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam menegakkan hukum terhadap penerima layanan hukum. Indikasi ketidakprofesionalisme Polri, berimplikasi pada termetaforanya opini yang kecewa dengan kinerja Polri (baca Polresta Kupang). Aktualisasi penahanan Vecky yang disangkakan mencekik dan mengancam akan melempar keluar Louis Charles Lily lewat jendela, melanggengkan perspektif via opini publik lantaran kepentingan politik untuk menjegal Vecky dalam upayanya menegakkan keadilan dan kepentingan masyarakat, termanifestasi dalam pemikiran-pemikiran orang pintar.

CM, seorang pintar asal NTT yang tinggal di Jakarta dalam opini Surat Kabar Harian (SKH) Timex (Kamis, 27 Mei 2010), mencermati fenomena langkah penahanan Ketua DPRD Kota Kupang bahwa telah terjadi ketidakadilan penahanan terhadap legislator Vecky Lerik. Tulisnya “yang kita herankan adalah langkah Polresta Kupang yang langsung melakukan penahanan terhadap seorang ketua DPRD untuk sebuah kasus yang berkategori ringan ini. Disinilah rasa keadilan kita selaku anggota masyarakat terusik. Betapa tidak, seorang ketua DPRD yang punya hak imunitas ditahan hanya karena sebuah laporan perbuatan tidak menyenangkan yang terjadi didalam ruang persidangan dewan. Entah ini sebuah kebodohan atau malahan kepintaran, karena pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), secara jelas menyebutkan: anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut didepan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis didalam rapat DPRD Kabupaten/Kota ataupun diluar rapat DPRD Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota”. Frans Rengka, seorang pintar dan Pengamat Hukum asal Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, saat diwawancarai SKH Timex, mengungkapkan penahanan Ketua DPRD Kota Kupang terkesan sarat muatan politik dan terkesan polisi main-main. “Polisi harusnya sudah mengetahui alasan penahanan terhadap seseorang, dimana penahanan seseorang, bertujuan memudahkan pemeriksaan dan penyidikan juga ditakutkan menghilangkan barang bukti maupun melarikan diri. Namun jelas dia, dalam kasus yang melibatkan Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik, Polisi terkesan main-main untuk menahan, juga menangguhkan penahanannya. Ia juga menilai kalau penahanan Ketua DPRD Kota Kupang ada unsur politik, sehingga sulit dihindari,” tulis Lok dalam pemberitaanya di Timex (Rabu, 27 Mei 2010). Media massa yang sama (Rabu, 26 Mei 2010), seorang pintar dari legislator Kota Kupang, Jerry Pingak mengungkapkan penahanan oleh Polresta terhadap Ketua DPRD Kota Kupang merupakan pelanggaran hukum, karena itu, pihaknya memintah pemerintah bertanggung jawab atas kondisi ini. Selain itu, pihaknya (baca DPRD) mulai saat ini tidak akan menerima aspirasi masyarakat. “Jika ada, silahkan ke Polresta, karena jika salah sedikit, selalu berurusan dengan hukum,” ujarnya.

Perihal diatas merupakan “sabetan parang” via opini dari orang-orang pintar guna mencermati dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam penegakan hukum. Truss….bagaimana dengan reformasi polri yang selama ± 11 tahun ini didengung-dengungkan sejak Polri dipisahkan dari institusi militer (Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000). Bagaimana yah…..?

Reformasi Polri
Menurut Bambang Widodo Umar (BWU), 2009 dalam Reformasi Polri didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, tujuan dari reformasi Polri adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.

Namun bagaimana tindakan Kepolisian Resort Kota (Polresta) Kupang menangkap, menyidik dan menahan Ketua DPRD Kota Kupang selama 1x24 Jam yang terindikasi sarat dengan muatan politik, kemudian baru dilepaskan setelah mendapat penangguhan? Mungkinkan tabiat dan lakon ini menggambarkan reformasi Polri belum sepenuhnya berjalan optimal dalam institusi Kepolisian?

Menurut CM, ini adalah batu sandungan bagi reformasi Polri. “ditengah gencarnya polri menggaungkan reformasi ditubuhnya, kasus penahanan Ketua DPRD Kota Kupang ini jelas menjadi batu sandungan tersendiri. Mata masyarakat makin terbuka melihat adanya ketidak sinkronan antara kata dan perbuatan, antara reformasi yang diingini Kapolri dengan apa yang dijalankan Kapolresta Kupang, antara prestasi yang diraih Polri dengan penyimpangan yang dilakukan oknum Polri. Pada akhirnya, keinginan masyarakat untuk memiliki sosok Polri yang ramah, melindungi, dan melayani, belum terwujud. Harus diakui untuk aspek sturuktural dan instrumental, sudah ada kemajuan. Namun yang belum terlihat banyak berubah adalah pada aspek Kultural, khususnya moral dan mental.

Mungkin apa yang diungkapkan oleh CM ada benarnya, ketika persoalan perilaku Polri mendapat kritik dimana organisasi ini dipandang belumlah professional dan bebas korupsi. Budaya korupsi ditingkat kepolisian terjadi mulai dari tingkat yang paling rendah seperti dalam pengurusan SIM, STNK, dan lain-lain, hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti penanganan kasus kejahatan. Penelitian yang dilakukan oleh PTIK menunjukkan bahwa perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh Polri terjadi hampir disemua lini/satuan organisasi kepolisian. Misalkan area Korupsi di Reserse Kriminal, ada 11 jenis KKN yaitu : penyimpangan prosedur penangguhan penahanan, rekayasa penanganan/penindakan kasus ilegal logging, kolusi dalam penyelenggaraan perjudian (toto gelap), penyimpangan prosedur pinjam pakai barang bukti, penyimpangan penerbitan surat keterangan kehilangan kendaraan bermotor untuk persyaratan klaim asuransi, penyimpangan dalam penanganan kasus narkoba, penyimpangan dalam penanganan kasus depo BBM ilegal, penyimpangan proses penyelidikan kasus pidana, kolusi pengelolaan kegiatan prostitusi, sindikasi tindak pidana bidang pertanahan, dan penyimpangan dalam penyelidikan dan penyidikan peredaran VCD bajakan.

Kata Orang Pintar dan Reformasi Polri dalam Fenomena Penahanan Ketua DPRD Kota Kupang
Cermatan berikut, penulis tidak melihat dalam konteks ranah hukum atau ranah penegakan UU tetapi lebih berfokus pada sejauhmana pemahaman akan konteks imunitas dipahami sebagai anggota legislator. Perlu ditekankan bahwa kita tidak berbicara pada konteks hukum, karena penulis berlatar belakang pendidikan rendah dan tak mengerti hukum, namun hanya ingin menggugah tabiat aktor negara (baik legislator, akademisi, maupun Polri) menjadi tindakan moral sesuai tuntutan reformasi moral walaupun secara struktur dan instrument banyak beradaptasi kontemporer.

Jika kata CM, setiap anggota legislator memiliki hak imunitas sehingga tidak dimungkinkan untuk diadukan dalam ranah hukum/pengadilan ketika mengenduskan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPRD ataupun diluar rapat DPRD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD sesuai pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ironis ketika hak imunitas yang dimiliki legislator digunakan untuk mengumpat dan memaki-maki hingga berujung pada penganiayaan. Kita mungkin masih ingat, dugaan penganiayaan Ketua DPRD Vecky Lerik disertai umpatan terhadap salah seorang Anggota DPRD Kota Kupang, Drs. Rudi Tonibesie. Saat itu Vecky dalam wewenangnya selaku ketua DPRD Kota Kupang mengatai sesama rekannya di Legislator dengan kata Monyet, binatang dan lain-lain hingga berujung pada indikasi penganiayaan. Kasus ini sementara dalam penyidikan kepolisian. Dan kini, hal yang sama juga terjadi pada Manajer PT. Suara Sejati. Mungkinkan imunitas itu dipakai sebagai ajang untuk memaki, mengumpat, mengancam dan menganiaya orang lain. Ataukah mungkin mengancam dan menganiaya orang lain merupakan wewenang dan fungsi dari keanggotaan DPRD sehingga diberikan hak imunitas seperti apa yang dikatakan CM? Meskipun kaum proletar/wong cilik tidak memahami secara eksplisit yang dimaksudkan orang pintar dalam UU No 27 pasal 366 ayat (2), namun dimungkinkan untuk menginclude-nya dalam perspektif moral.

Kata Jerry Pingak, setiap ada masalah jangan lagi diaspirasikan ke DPRD, masyarakat aspirasikan ke Polisi saja, karena jika ada masalah sedikit langsung dilaporkan ke polisi. Mungkinkah, legislator kita harus membuat statement begitu adanya. Ironis memang ketika orang yang dianggap untuk mewakilkan aspirasi rakyat belum mampu untuk mendewasakan diri dalam politik sehingga setiap persoalan selalu dihadapi dengan tindakan reaksioner emosional belaka. Ataukah mungkin, statement yang sering dilakonkan oleh legislator kita belum sepenuhnya terwakilkan secara holistik karena masih terwakilkan kepentingan golongan dan kelompok.

Kata Frans Rengka, Polisi sedang main-main dan ada unsur politiknya dalam penahanan Ketua DPRD Kota Kupang. Warga negara kini dibingungkan lagi dengan kata “main-main” yang dilontarkan Frans Rengka. Hukum tidak lagi dijadikan corong pencarian keadilan dan kebenaran karena dapat dimainkan demi kepentingan tertentu dan bukan lagi berasaskan rule of law. Kata “ada unsur politik” menjadi trend baru saat ini karena hukum tidak dipandang lagi sebagai instrument penegakan keadilan dan HAM namun dijadikan sebagai ladang korupsi guna mencari kue keuntungan dan mesin penarik uang dari pelaku. Pantasan juga, jika dalam setiap penegakan hukum, keadilan hanya dimiliki orang-orang berduit saja. Jika begitu adanya, benar jika dikatakan Reformasi Polisi gagal dalam menjajaki era demokratisasi.

Entah opini orang pintar tersebut diatas terwakilkan kepentingan mana, tetapi yang pasti seyogianya imunitas tidak dipakai sebagai impunitas dalam melakukan tindakan-tindakan demoralisasi yang juga dapat mengganggu privasi warga negara (human security). Jika bertalian dengan ranah hukum alangkah baiknya diselesaikan dengan prosedur dan mekanisme hukum tidak lagi mengumbar staetmen berjargon “kegagalan reformasi” jikalau masih dilakukan oleh aktor negara/pejabat publik meski dalam konteks masalah yang berbeda. Jadilah contoh pemikir pintar yang dapat diilhami dan adopsi oleh mereka yang terbatas dalam SDM seperti penulis yang dibingungkan dengan konteks imunitas seorang legislator.

Demikian juga Polri yang gencarnya dengan Reformasi Polisi, dikarenakan memperhatikan luasnya bidang yang menyangkut reformasi Polri, naïf jika reformasi tersebut secara previlegge dilaksanakan oleh Polri sendiri tanpa mengikutsertakan berbagai kalangan seperti politisi, akademisi, lembaga non pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat sipil lainnya. Akibat kurang optimalnya reformasi polri, hingga kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas seperti melakukan pungli, salah tangkap, memeras, memperkosa tahanan dan lain-lain.


MENJADI WAKIL RAKYAT BELUM TENTU BIJAK



Senator Yang Bijak, Tidak Mudah Tersinggung
(catatan buat Paul Liyanto dan Martinus Teme)
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Task Force Team SSR NTT

Pemberitaan Surat Kabar Harian (SKH) Timor Ekspress pada Rabu (01/09/2010) menuliskan, pelaku Martinus Teme yang diduga menyandera Anggota DPD RI Abraham Paul Liyanto berserta rombongan di lokasi tambang galian C milik PT.Cendrawasi-Naioni saat melakukan investigasi,  resmi ditahan oleh penyidik Polresta Kupang, setelah menyerahkan diri ke Polisi.

Martinus Teme disidik dan ditahan, lantaran menggembok gerbang masuk dan keluar ke lahan eksplorasi tambang galian C milik PT. Cendrawasih. Kebiasaan menggembok gerbang biasa dilakukan para buruh PT. Cendrawasih setelah selesai aktivitas pekerjaan dilokasi tambang itu. Namun, menjadi heboh ketika salah seorang anggota DPD RI Paul Liyanto, melakukan investigasi mendadak (Indak) dilokasi tersebut, menemukan adanya dugaan pengangkutan mangan dari kali oleh truk milik PT. Cendrawasih diarea ekplorasi tersebut. Indak ini dilakukan atas keluhan masyarakat, adanya pengerjaan dan pengangkutan mangan secara illegal. Selesai indak, Paul berserta rombongan meninggalkan lokasi. Sesampainya didepan gerbang, didapati dalam keadaan tergembok. Ihwal tergembok ini yang dimaksudkan sebagai penyanderaan, tulis media.

Dugaan penyanderaan inipun dikonfrontir pihak kepolisian dengan ditetapkan Martinus Teme sebagai pelaku. Martinus Teme yang juga adalah buruh pada PT. Cendrawasih tersebut harus berhadapan dengan hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Meskipun pihak Paul telah memaafkan, namun proses hukum tetap jalan. Pikir Paul, pasti ada dalangnya, karena ada aktor dibalik aksi itu.

Paul Liyanto Salah Satu Delegasi NTT.
Ir. Paul Liyanto adalah salah seorang delegasi NTT yang duduk dikursi DPD RI yang terpilih dalam proses perpolitikan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2009. Namun, namanya menjadi aktual ketika dirinya disandera oleh seorang buruh PT. Cenderawasih bernama Martinus Teme. Aktivitas Paul yang awalnya untuk menginvestigasi pengeluhan masyarakat dalam persoalan tambang illegal (illegal mining), menemukan adanya indikasi pelanggaran konsensi dari PT. Cenderawasih yang mengangkut mangan dalam area penambangan galian C. Jelas jika fakta ini dikonfrontir dengan bukti-bukti yang ada, maka perlu ada impeachment dari Pemerintah Daerah terhadap pelanggaran ini. Dugaan ini didasarkan pada pemberitaan media massa ketika menulis pemberitaan penyanderaan seorang anggota DPD RI.

Ihwal tindak oleh anggota DPD merupakan suatu keharusan sebagai senator dalam mencermati persoalan tambang di NTT, sehingga dapat dijadikan kajian dan data dalam memperjuangkan aspirasi warga sehingga tidak dikorbankan. Namun bagaimana jika aktivitas ini tiba-tiba berubah menjadi aksi penyanderaan? Siapa tahu kebenarannya? Proses hukum kepolisian-lah menjadi tolak ukurnya.

Martinus Teme, Buruh Miskin di Cenderawasih
Salah seorang buruh di PT Cendrawasih Martinus Teme, akhirnya menyerahkan diri pada pihak yang berwajib untuk disidik dan berbuntut pada penahanan. Ia (baca Teme) harus mendekam dibalik jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Teme diduga sebagai pelaku penggembok gerbang masuk-keluar kendaraan  diarea tambang sehingga tersanderanya senator NTT Paul Liyanto. Menurut Teme, perbuatannya untuk menggembok gerbang merupakan aktivitas lumrah yang dilakukan para buruh di Cendrawasih. Namun naas menimpah Teme lantaran tidak mengetahui adanya indak dari senator NTT. Teme merupakan buruh miskin yang sial saat ini karena berhadapan dengan proses hukum yang menyeret namanya. Kini Teme harus berurusan dengan pihak berwajib dan seorang senator NTT yang memiliki kekuasaan dan materi.

Kejadian ini, harus mengeliminasi tugas Teme selaku pencari nafkah bagi keluarga, pemimpin dalam keluarga, apapun itu dalam aktivitas kesehariannya harus ditinggalkannya karena sedang menginap di hotel prodeo, mempertanggung jawabkan perbuatan yang biasa dilakukan oleh buruh PT. Cenderawasih yakni menggembok pintu gerbang setelah selesai melakukan aktivitas pertambangan. Namun kondisi ini, terindikasi menuai ketersinggungan senator NTT dan berujung pada dugaan penyanderaan.

Sungguh malang nasib mu kini Teme! Orang yang kamu lawan adalah seorang senator NTT yang memiliki otoritas publik/negara, kekuasaan dan bergelimpangan materi karena seorang pengusaha. Tapi yakinlah, banyak mata yang kini menyorot mu bahwa kamu tidak semestinya disalahkan.

Kaum Elit dan Kaum Marginal
Pertarungan kaum elit dan kaum marginal selalu yang menjadi korban adalah kaum marginal. Ini dikarenakan kekuatan kekuasaan dan uang selalu diandalkan oleh kaum elit sedangkan kaum marginal hanya mampu mengandalkan nurani dan usaha. Namun yang pasti kekuatan kaum marginal lambat laun akan dimenangkan dengan dukungan gerakan dan partisipasi, meskipun secara hukum tidak melihat pada nurani dan usaha.

Mencermati fenomena penyanderaan oleh Teme terhadap senator NTT Paul Liyanto, janganlah dilihat pada cermatan kaum elit dan kaum marginal. Namun, lebih ditekankan pada fenomena wakil rakyat dan rakyatnya.

Yang ditindak : PT. Cenderawasih atau Martinus Teme?
Seyogianya yang menjadi persoalan adalah siapa yang harus ditindak? Pengakuan Teme, menggembok gerbang merupakan hal lumrah dan kebiasaan buruh pada saat meninggalkan lokasi tambang setelah selesai melakukan aktivitas di area tersebut. Namun, karena pada saat itu sedang dilakukan investigasi mendadak oleh senator NTT dan tidak diketahui para buruh maka gerbang tersebut digembok sebelum senator NTT dan rombongan meninggalkan area tambang. Paul Liyanto dianggap tersinggung dengan aksi penggembokan gerbang tersebut berbuntut pada penyanderaan. Jika kita kesampingkan itu, adahal menarik yang seharusnya menjadi substansi pemberitaan ini. Dalam indak senator NTT didapati adanya indikasi pengangkutan mangan oleh truk Cendrawasih dalam area pertambangan galian C. konsensi ini yang harus disidak dengan aktivitas Cendrawasih yang dilakukan sehingga jangan sampai melakukan pelanggaran. Bukannya membalikkan substansi menjadi problema penyanderaan dibandingkan dugaan tambang illegal.

Atas kejadian penggembokan ini, Martinus Teme telah memintah maaf dan mengakui bahwa ia yang menggembok pintu gerbang tersebut. Namun proses hukum terus berlanjut, dan kini tugas selaku tulang punggung keluarga harus ditinggalkannya. Problema lain adalah, jika kasus ini merunut pada P-21 maka tidak dapat dipungkiri, Teme harus duduk dikursi pesakitan dalam proses pengadilan. Teme pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya lantaran kemungkinan karena ketersingungan seorang senator NTT. PT. Cendrawasih tidak seharusnya berdiam diri dengan persoalan yang melibatkan buruhnya apalagi jika menggembok gerbang setelah selesai aktivitas merupakan kebiasaan yang ada pada PT tersebut.

Paul selaku senator NTT juga harus meminta pertanggungjawaban  Pemerintah Daerah atas eksplorasi pertambangan di Naioni dalam pemberian izin penambangan PT Cendrawasih sehingga setiap pengusaha mentaati konsensi yang ada, dan dalam urusan ini, harus dijauhkan dari kepentingan bisnis.

Harapan sekonyong-konyong
Paul Liyanto selain Senator NTT juga seorang pengusaha kaya telah memaafkan Teme, namun ada tapinya yakni proses hukum tetap berjalan. Paul menduga ada oknum dibalik kejadian ini sebagai dalangnya. Teme mengaku, menggembok gerbang merupakan kebiasaan buruh setelah selesai beraktivitas dan meninggalkan lokasi. Kejadian ini, membuat Teme harus meringkuk dibalik jeruji besi dan meninggalkan keluarga. Teme selain berurusan dengan Polisi, juga berurusan dengan pejabat negara. Kini, harapan sekonyong-konyong digantungkan Teme pada proses hukum yang sedang dihadapi. Teme pasrah dengan proses hukum yang ada, tak ada satupun yang membantu. PT. Cendrawasih belum berstaetment atas kejadian ini.

Sebagai seorang wakil rakyat yang peduli dengan konstituennya, seharusnya tidak mudah tersinggung dengan sebuah fenomena yang ada. Jika persoalan melibatkan kaum elit tidaklah kaum marginal yang dikorbankan. Masyarakat mulai menyadari, tidak selamanya wakil rakyat menggunakan nurani terkadang lebih mengegokan diri. Jika ada wakil rakyat seperti ini, jadikan sebagai catatan buruk.

Dalam kasus Teme versus Liyanto, masyarakat dapat menilai, mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi satu hal yang perlu dipertanyakan dan sebagai dugaan adalah Ada yang salah diarea penambangan galian C yang sedang dikerjakan PT. Cendrawasi, pelanggarankah atau ketaatan konsensi?

TRANSLATE: