SELAMAT MEMBACA

Tuesday 5 November 2013

REFORMASI POLRI YANG MEMBINGUNGKAN



KATA ORANG PINTAR DAN REFORMASI POLRI  YANG MEMBINGUNGKAN!
Mencermati Opini Publik “Penahanan Ketua DPRD Kota Kupang” Oleh Polresta Kupang
Oleh. Ian Haba Ora
Ketua Task Force Team NTT

Kata Orang Pintar
Tulisan dari penulis dalam kelemahannya sebagai wong cilik/kaum proletar dengan keterbatasan sumber daya manusia (IQ and EQ), mencoba mencermati fenomena penahanan Ketua DPRD Kota Kupang, Vecky Viktor Lerik, SE oleh pihak Polresta Kupang dikaitkan dengan pendapat pakar/pemikir/ahli atau yang lebih dikenal dengan istilah orang pintar.

Pemberitaan media massa atas penangkapan, penahanan dan menangguhkan penahanan menjadi babak lakon retorika dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam menegakkan hukum terhadap penerima layanan hukum. Indikasi ketidakprofesionalisme Polri, berimplikasi pada termetaforanya opini yang kecewa dengan kinerja Polri (baca Polresta Kupang). Aktualisasi penahanan Vecky yang disangkakan mencekik dan mengancam akan melempar keluar Louis Charles Lily lewat jendela, melanggengkan perspektif via opini publik lantaran kepentingan politik untuk menjegal Vecky dalam upayanya menegakkan keadilan dan kepentingan masyarakat, termanifestasi dalam pemikiran-pemikiran orang pintar.

CM, seorang pintar asal NTT yang tinggal di Jakarta dalam opini Surat Kabar Harian (SKH) Timex (Kamis, 27 Mei 2010), mencermati fenomena langkah penahanan Ketua DPRD Kota Kupang bahwa telah terjadi ketidakadilan penahanan terhadap legislator Vecky Lerik. Tulisnya “yang kita herankan adalah langkah Polresta Kupang yang langsung melakukan penahanan terhadap seorang ketua DPRD untuk sebuah kasus yang berkategori ringan ini. Disinilah rasa keadilan kita selaku anggota masyarakat terusik. Betapa tidak, seorang ketua DPRD yang punya hak imunitas ditahan hanya karena sebuah laporan perbuatan tidak menyenangkan yang terjadi didalam ruang persidangan dewan. Entah ini sebuah kebodohan atau malahan kepintaran, karena pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), secara jelas menyebutkan: anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut didepan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis didalam rapat DPRD Kabupaten/Kota ataupun diluar rapat DPRD Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota”. Frans Rengka, seorang pintar dan Pengamat Hukum asal Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, saat diwawancarai SKH Timex, mengungkapkan penahanan Ketua DPRD Kota Kupang terkesan sarat muatan politik dan terkesan polisi main-main. “Polisi harusnya sudah mengetahui alasan penahanan terhadap seseorang, dimana penahanan seseorang, bertujuan memudahkan pemeriksaan dan penyidikan juga ditakutkan menghilangkan barang bukti maupun melarikan diri. Namun jelas dia, dalam kasus yang melibatkan Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor Lerik, Polisi terkesan main-main untuk menahan, juga menangguhkan penahanannya. Ia juga menilai kalau penahanan Ketua DPRD Kota Kupang ada unsur politik, sehingga sulit dihindari,” tulis Lok dalam pemberitaanya di Timex (Rabu, 27 Mei 2010). Media massa yang sama (Rabu, 26 Mei 2010), seorang pintar dari legislator Kota Kupang, Jerry Pingak mengungkapkan penahanan oleh Polresta terhadap Ketua DPRD Kota Kupang merupakan pelanggaran hukum, karena itu, pihaknya memintah pemerintah bertanggung jawab atas kondisi ini. Selain itu, pihaknya (baca DPRD) mulai saat ini tidak akan menerima aspirasi masyarakat. “Jika ada, silahkan ke Polresta, karena jika salah sedikit, selalu berurusan dengan hukum,” ujarnya.

Perihal diatas merupakan “sabetan parang” via opini dari orang-orang pintar guna mencermati dugaan ketidakprofesionalisme Polri dalam penegakan hukum. Truss….bagaimana dengan reformasi polri yang selama ± 11 tahun ini didengung-dengungkan sejak Polri dipisahkan dari institusi militer (Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000). Bagaimana yah…..?

Reformasi Polri
Menurut Bambang Widodo Umar (BWU), 2009 dalam Reformasi Polri didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, tujuan dari reformasi Polri adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.

Namun bagaimana tindakan Kepolisian Resort Kota (Polresta) Kupang menangkap, menyidik dan menahan Ketua DPRD Kota Kupang selama 1x24 Jam yang terindikasi sarat dengan muatan politik, kemudian baru dilepaskan setelah mendapat penangguhan? Mungkinkan tabiat dan lakon ini menggambarkan reformasi Polri belum sepenuhnya berjalan optimal dalam institusi Kepolisian?

Menurut CM, ini adalah batu sandungan bagi reformasi Polri. “ditengah gencarnya polri menggaungkan reformasi ditubuhnya, kasus penahanan Ketua DPRD Kota Kupang ini jelas menjadi batu sandungan tersendiri. Mata masyarakat makin terbuka melihat adanya ketidak sinkronan antara kata dan perbuatan, antara reformasi yang diingini Kapolri dengan apa yang dijalankan Kapolresta Kupang, antara prestasi yang diraih Polri dengan penyimpangan yang dilakukan oknum Polri. Pada akhirnya, keinginan masyarakat untuk memiliki sosok Polri yang ramah, melindungi, dan melayani, belum terwujud. Harus diakui untuk aspek sturuktural dan instrumental, sudah ada kemajuan. Namun yang belum terlihat banyak berubah adalah pada aspek Kultural, khususnya moral dan mental.

Mungkin apa yang diungkapkan oleh CM ada benarnya, ketika persoalan perilaku Polri mendapat kritik dimana organisasi ini dipandang belumlah professional dan bebas korupsi. Budaya korupsi ditingkat kepolisian terjadi mulai dari tingkat yang paling rendah seperti dalam pengurusan SIM, STNK, dan lain-lain, hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti penanganan kasus kejahatan. Penelitian yang dilakukan oleh PTIK menunjukkan bahwa perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh Polri terjadi hampir disemua lini/satuan organisasi kepolisian. Misalkan area Korupsi di Reserse Kriminal, ada 11 jenis KKN yaitu : penyimpangan prosedur penangguhan penahanan, rekayasa penanganan/penindakan kasus ilegal logging, kolusi dalam penyelenggaraan perjudian (toto gelap), penyimpangan prosedur pinjam pakai barang bukti, penyimpangan penerbitan surat keterangan kehilangan kendaraan bermotor untuk persyaratan klaim asuransi, penyimpangan dalam penanganan kasus narkoba, penyimpangan dalam penanganan kasus depo BBM ilegal, penyimpangan proses penyelidikan kasus pidana, kolusi pengelolaan kegiatan prostitusi, sindikasi tindak pidana bidang pertanahan, dan penyimpangan dalam penyelidikan dan penyidikan peredaran VCD bajakan.

Kata Orang Pintar dan Reformasi Polri dalam Fenomena Penahanan Ketua DPRD Kota Kupang
Cermatan berikut, penulis tidak melihat dalam konteks ranah hukum atau ranah penegakan UU tetapi lebih berfokus pada sejauhmana pemahaman akan konteks imunitas dipahami sebagai anggota legislator. Perlu ditekankan bahwa kita tidak berbicara pada konteks hukum, karena penulis berlatar belakang pendidikan rendah dan tak mengerti hukum, namun hanya ingin menggugah tabiat aktor negara (baik legislator, akademisi, maupun Polri) menjadi tindakan moral sesuai tuntutan reformasi moral walaupun secara struktur dan instrument banyak beradaptasi kontemporer.

Jika kata CM, setiap anggota legislator memiliki hak imunitas sehingga tidak dimungkinkan untuk diadukan dalam ranah hukum/pengadilan ketika mengenduskan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan baik secara lisan maupun tertulis dalam rapat DPRD ataupun diluar rapat DPRD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD sesuai pasal 366 ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Ironis ketika hak imunitas yang dimiliki legislator digunakan untuk mengumpat dan memaki-maki hingga berujung pada penganiayaan. Kita mungkin masih ingat, dugaan penganiayaan Ketua DPRD Vecky Lerik disertai umpatan terhadap salah seorang Anggota DPRD Kota Kupang, Drs. Rudi Tonibesie. Saat itu Vecky dalam wewenangnya selaku ketua DPRD Kota Kupang mengatai sesama rekannya di Legislator dengan kata Monyet, binatang dan lain-lain hingga berujung pada indikasi penganiayaan. Kasus ini sementara dalam penyidikan kepolisian. Dan kini, hal yang sama juga terjadi pada Manajer PT. Suara Sejati. Mungkinkan imunitas itu dipakai sebagai ajang untuk memaki, mengumpat, mengancam dan menganiaya orang lain. Ataukah mungkin mengancam dan menganiaya orang lain merupakan wewenang dan fungsi dari keanggotaan DPRD sehingga diberikan hak imunitas seperti apa yang dikatakan CM? Meskipun kaum proletar/wong cilik tidak memahami secara eksplisit yang dimaksudkan orang pintar dalam UU No 27 pasal 366 ayat (2), namun dimungkinkan untuk menginclude-nya dalam perspektif moral.

Kata Jerry Pingak, setiap ada masalah jangan lagi diaspirasikan ke DPRD, masyarakat aspirasikan ke Polisi saja, karena jika ada masalah sedikit langsung dilaporkan ke polisi. Mungkinkah, legislator kita harus membuat statement begitu adanya. Ironis memang ketika orang yang dianggap untuk mewakilkan aspirasi rakyat belum mampu untuk mendewasakan diri dalam politik sehingga setiap persoalan selalu dihadapi dengan tindakan reaksioner emosional belaka. Ataukah mungkin, statement yang sering dilakonkan oleh legislator kita belum sepenuhnya terwakilkan secara holistik karena masih terwakilkan kepentingan golongan dan kelompok.

Kata Frans Rengka, Polisi sedang main-main dan ada unsur politiknya dalam penahanan Ketua DPRD Kota Kupang. Warga negara kini dibingungkan lagi dengan kata “main-main” yang dilontarkan Frans Rengka. Hukum tidak lagi dijadikan corong pencarian keadilan dan kebenaran karena dapat dimainkan demi kepentingan tertentu dan bukan lagi berasaskan rule of law. Kata “ada unsur politik” menjadi trend baru saat ini karena hukum tidak dipandang lagi sebagai instrument penegakan keadilan dan HAM namun dijadikan sebagai ladang korupsi guna mencari kue keuntungan dan mesin penarik uang dari pelaku. Pantasan juga, jika dalam setiap penegakan hukum, keadilan hanya dimiliki orang-orang berduit saja. Jika begitu adanya, benar jika dikatakan Reformasi Polisi gagal dalam menjajaki era demokratisasi.

Entah opini orang pintar tersebut diatas terwakilkan kepentingan mana, tetapi yang pasti seyogianya imunitas tidak dipakai sebagai impunitas dalam melakukan tindakan-tindakan demoralisasi yang juga dapat mengganggu privasi warga negara (human security). Jika bertalian dengan ranah hukum alangkah baiknya diselesaikan dengan prosedur dan mekanisme hukum tidak lagi mengumbar staetmen berjargon “kegagalan reformasi” jikalau masih dilakukan oleh aktor negara/pejabat publik meski dalam konteks masalah yang berbeda. Jadilah contoh pemikir pintar yang dapat diilhami dan adopsi oleh mereka yang terbatas dalam SDM seperti penulis yang dibingungkan dengan konteks imunitas seorang legislator.

Demikian juga Polri yang gencarnya dengan Reformasi Polisi, dikarenakan memperhatikan luasnya bidang yang menyangkut reformasi Polri, naïf jika reformasi tersebut secara previlegge dilaksanakan oleh Polri sendiri tanpa mengikutsertakan berbagai kalangan seperti politisi, akademisi, lembaga non pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat sipil lainnya. Akibat kurang optimalnya reformasi polri, hingga kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas seperti melakukan pungli, salah tangkap, memeras, memperkosa tahanan dan lain-lain.


TRANSLATE: