SELAMAT MEMBACA

Tuesday 5 November 2013

CARA PANDANG WARGA PADA SATPOL PP



SATPOL PP dan PARADIGMA WARGA
Oleh. Ian Haba Ora 
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT

Pengantar
Sosio kemasyarakatan menampilkan berbagai aktivitas kehidupan yang tampak brutal menggunakan kewenangan institusi untuk mengintimidasi dan arogansi premanisme pada kaum miskin dan marginal. Satuan Polisi Pamong Praja merupakan manisfestasi metafora aksi kekerasan dalam penggusuran dan pembongkaran lapak-lapak jualan secara paksa komunitas pedagang kaki lima. Begitupun kabar audio, visual, maupun cetak memberitakan ketika terjadi razia ke panti-panti pijat sering mengkangkangi perilaku pelecehan seksual, menangkap dan menahan orang yang dianggap menyalahi aturan Perda tanpa prosedural, memprovokasi masyarakat dengan arogansi kebijakan subversif. Dengan demikian, setiap tindakan mendiskriminasi tanggungjawab negara untuk mensejaterahkan rakyat, ironisnya lagi setiap aksi tanpa dipikirkan grand desighn pasca penertiban. Namun, seringkali aksi-aksi Satpol PP menimbulkan cara pandang beragam masyarakat terhadap aksi-aksi brutalisme Satpol PP. Berikut ini beberapa pandangan Hairus Salim dalam buku Polisi Pamong Praja dan Reformasi Sektor Keamanan terbitan IDSPS dan DCAF (2009:8-10) yaitu:

Pandangan moderat. Kelompok ini menganggap arogansi Satpol terhadap warga berbuah kekerasan hanya kekeliruan teknis prosedural atau adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat provokatif terhadap anggota Satpol PP. Eksistensi Satpol PP sangat urgent dalam menata dan mengatur ketentraman dan ketertiban kota, dan inisiasi hadirnya Satpol PP dalam mengawal kebijakan daerah dan penegakan Perda yang berkualitas di masyarakat. Tetapi, cenderung masyarakat merasa apatis dan menganggap pemerintah mengeluarkan aturan yang dianggap destruktif dan represif. Ketika dilakukan penertiban maka muncul konfrontasi antara Satpol PP dan warga berujung pada kekerasan.

Pandangan liberal. Kalangan ini menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama sekali. Kaum ini lebih berharap agar soal ketertiban dan keamanan diserahkan kepada kalangan polisi saja karena jika satpol PP diberikan kewenangan lebih untuk melakukan penyidikan maka akan tumpang tindih antara Satpol PP (PP 6/2010) dan Polri (UU 2/2002). Ini terutama karena Satpol PP sering mengurus hal-hal yang bersifat “privacy” yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas ini. Tumpang tindih ini akan menimbulkan masalah, terutama makin banyaknya Satpol PP mengambil peran polisi dengan mengabaikan ‘code of conduct’ seorang penegak hukum. Kaum liberal lebih banyak didominasi oleh kaum kelas menengah ke atas.

Pandangan kritis. Kaum kritis sama seperti kaum liberal yang menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi, alasannya berbeda. Ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari hidup kaum kritis seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima, pengamen, pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain, yang selama ini menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan kritis, Satpol PP tidak lebih dari ‘aparat militer’ dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik.

Pandangan-pandangan di atas menjustifikasi akan potensi komunal antara yang mendukung dan tidak mendukung aktivitas Satpol PP sebagai institusi penegak kebijakan dan peraturan daerah.

Ambiguitas Satpol PP
Durasi pergerakan terlepas dari cara pandang kaum moderat, liberal, dan kritis terhadap Satpol PP menginisiasi aktualisasi yang selama ini muncul dalam setiap kegiatan dan pemberitaan media massa maupun elektronik. Ada beberapa hal yang mendasari aksi brutalitas Satpol PP, yaitu:

Terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 06 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam aturan ini memberi kewenangan pada Satpol PP untuk melakukan tugas penyelidikan dan penahanan yang dapat menimbulkan multiintepretasi mengilhami tugas polisi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja dan Permendagri 26/2010 Tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota SatpolPP. Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.

Hal penyebab Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik daripada pendekatan sosial dan kultural. Institusi Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain, dan dijadikan preman-preman jalanan sebagai Banpol (Bantuan Polisi) yang hangat dengan premanisme.

Institusi Satpol PP rawan politisasi Kepala Daerah, karena bertanggung jawab penuh dan berada langsung di bawah naungan Gubernur, Walikota, maupun Bupati. Seringkali dalam setiap kebijakan kepala daerah sering menggerakkan satpol pp untuk mengintimidasi dan arogan terhadap kaum penentang yang pada akhirnya menciderai hak asasi manusia. Disisi lain saat mendekati proses pemilu maupun pilkada Satpol PP dijadikan sebagai ‘mata-mata’ maupun mobilisasi aparatur untuk menjadi tim sukses pemenangan melalui pendekatan kebijakan-kebijakan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak regulasi-regulasi (Peraturan Daerah) dan keputusan-keputusan Kepala Daerah sering kali menciderai demokratisasi dan desentralisasi kehidupan warga sebagai daerah otonom. Banyak regulasi dan kebijakan memiskinkan rakyat, pinjam kata Moniche Saubaki “Negara sebagai pelaku pemiskinan rakyat melalui regulasi dan abuse of power aktornya”. Dalih menjalankan perintah Perda dan Keputusan Kepala Daerah, sering kali anggota Satpol PP menggunakan kekerasan. Setiap peraturan baik secara Perda (Legislatif) dan Keputusan Kepala Daerah (Eksekutif) selalu menempatkan Satpol PP sebagai tameng dan motor penggerak pengawasan dan pelaksanaannya oleh warga daerah otonom.

Revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis
Penulis ketika mengetik artikel ini membangun komunikasi via telepon untuk berdiskusi bersama Bapak Drs. Dumuliahi Djami, M.Si yang juga adalah mantan Kasat Pol PP Kota Kupang (interview telpon, 8 Agustus 2013). Alasan penulis menghubungi orang ini didasari atas loyalitas dan kemampuannya ketika memimpin institusi Satpol PP Kota Kupang tidak pernah terindikasi aksi brutalitas, penyalahgunaan wewenang, bahkan persuasif dan populis dalam pendekatan regulasi pada masyarakat. Dari hasil diskusi maka penulis menyimpulkan beberapa catatan penting untuk revitalisasi dan reaktualisasi peran Satpol PP yang humanis, yaitu:

Perlunya reformasi dan revitalisasi birokrasi bukan saja pada instrumen hukum namun secara struktur dan budaya. Secara intrumen Pol PP telah memiliki PP 32 tahun 2004 dan direvisi dengan PP 6 tahun 2010. Secara struktur Pol PP berbeda dengan garis komando Polri meskipun kata “polisi” yang lebih ditonjolkan. Secara budaya, masih banyaknya anggota Satpol PP yang berkarakter militer. Namun semua itu tidaklah dapat disamaratakan seantero nusantara lantaran Pol PP mengilhami asas otonomi daerah, sehingga yang menjadi inti pergerakan institusi adalah paradigma pemimpin yang responsif hukum, HAM, Gender, dan populis;

Pelanggaran-pelanggaran yang mengindikasikan keterlibatan aktor (baik aktor Pol PP maupun aktor sipil) perlu diproses hukum secara imparsial (asas keadilan) sehingga dapat meminimalisir kasus pelanggaran terhadap UU dan mencegah indikasi keberulangan (remidial indicate);

Seringkali rekruitmen Pol PP masih sebatas pada paradigma pegawai-pegawai bermasalah dilingkungan PNS tanpa didasari pemahaman pendidikan persuasif. Begitupun perekrutan cenderung pada fisik semata belum pada tingkatan sumber daya manusia yang kondusif. Bila pemerintah (pusat) benar-benar menciptakan Pol PP yang profesional baik intitusional maupun anggotanya maka mulai proses rekrutmen, proses pendidikan, kurikulum pun harus dimulai dengan profesional. Rekrutmen anggota Satpol PP harus tersendiri dan berbeda dengan rekrutmen PNS non Pol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Realita karena kekurangan anggota Satpol PP diangkatlah Banpol PP yang cenderung tidak tepat sasaran. Anggota Satpol PP harusnya menjadi anggota Satpol PP dari awalnya bukan pada akhirnya”;

Polisi Pamong praja memiliki sejarah tersendiri sehingga lahirnya tidak serta merta karena kekinian/kontemporer tetapi lebih difokuskan karena kebutuhan hingga usianya kini yang makin dewasa. Jika dikaitkan dengan segi historis maka dapat dikatakan upaya pembubaran institusi Pol PP oleh kalangan kritis dan liberal merupakan pengingkaran terhadap sejarah. Karena secara otonom, institusi Pol PP bertanggung jawab kepada Kepala Daerah maka secara Social Approach (pendekatan sosial) berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tidak bisa dikatakan sebagai pemerataan.

Pol PP secara rasionalitas atau praktis tidak dapat dijadikan sebagai salah satu institusi yang perlu dibubarkan lantaran emosional dan anarkisme yang ditunjukkan institusi Pol PP daerah otonom lain. Kebrutalan aktor tidak serta merta terwakilkan secara institusi, misalkan kasus perkelahian aparat negara dan warga lantaran tindakan emosional tidak serta merta dijadikan kesalahan institusi (bukan memahami espirit de  corps).

Resolusi atau Rekomendasi
Peningkatan peran dan kinerja anggota Satpol PP dalam menertibkan sesuai perintah peraturan daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah yang berkaitan dengan penegakan HAM, maka perlu diberikan rekomendasi-rekomendasi.

Pertama, untuk Pemerintah Pusat: bekerjasama dengan donor untuk melakukan reformasi kebijakan dan institusi Satpol PP, termasuk untuk mengamandemen undang-undang, membuat cetak biru dan capacity building bagi Satpol PP yang lebih menghormati dan melindungi nilai-nilai hak asasi manusia; menelaah ulang serta mengaudit peraturan keterlibatan Satpol PP untuk memastikan kesesuaiannya dengan standard penerapan undang-undang internasional, misalnya standar PBB mengenai kode perilaku bagi aparat penegak hukum, dan prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata; menyediakan bagi aparat Satpol PP pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta masalah yang dihadapi kaum termaginalkan (terpinggirkan).

Kedua, untuk Pemerintah Daerah: memastikan bahwa petugas dan anggota Satpol PP menerima pelatihan professional yang sesuai untuk melaksanakan tanggung jawab keamanan public; menyelidiki dan menuntut secara hukum aparat Satpol PP yang bertanggung jawab melakukan kekerasan, perampasan, penghancuran harta benda pribadi secara sewenang-wenang selama operasi penertiban. Harus ada konsekuensi, termasuk penuntutan kriminal dan pemecatan apabila terbukti; menelaah ulang pengalokasian dana untuk sektor keamanan dan ketertiban dalam anggaran belanja daerah (APBD) untuk menjadi perhatian serius lantaran beban kerja Pol PP yang banyak dan berhubungan dengan kepentingan keamanan publik.

Dengan demikian, eksistensi Satpol PP dalam penegakan Perda dan penjagaan ketentraman dan ketertiban masyarakat tidak semata-mata dipandang sebagai boneka drakula yang mudah diintervensi, diinvasi, dan dipolitasi berujung pada espirit de corps akan aksi-aksi brutalitas.





TRANSLATE: