SELAMAT MEMBACA

Tuesday 5 November 2013

CATATAN HITAM BRUTALITAS SATPOL PP DI JAKARTA



Lembaran Hitam Pol PP Pada Kasus Koja-Tanjung Priuk
Oleh Ian Haba Ora
Ketua Task Force NTT

Bagian 1. Brutalitas Satpol PP
Kasus brutalitas satuan Polisi Pamong Praja Kota Jakarta (Koja) di lokasi Pelindo Tanjung Priok dengan warga lantaran rencana pergusuran lokasi makam mbah Priuk (merenovasi, versi Pemerintah) yang berujung pada tewasnya tiga orang anggota Satpol PP, mengindikasikan masih massifnya kebrutalan “preman berseragam” (Versi Warga). Alih-alih tuntutan pembubaran kesatuan Polisi Pamong Praja di seantero nusantarapun makin menyeruak dengan kasus satpol PP vs Warga Tanjung Priuk pada Rabu, 14 April 2010.

Ketua Komnas HAM, dalam staetmen mediapun mempertegas bahwa ada indikasi pelanggaran HAM oleh Satpol PP, tak elak pun, Gubernur DKI Jakarta, Fauzy Bowo (Foke) dituntut untuk membebastugaskan Kepala Satpol PP DKI Jakarta. Lapisan ornop dan warga pun melakukan aksi dan somasi ke pemerintah Pusat untuk segera membubarkan Satuan Polisi Pamong Praja lantaran aksi brutal dan represif yang selalu dipertontonkan oleh anggota Satpol PP. kontroversipun dalam penyidikan kasus satpol PP versus warga tak elak terjadi dikalangan elit hingga warga biasa, pada akhirnya terjadi distrust antara aparat negara dan warganya. Gaung reformasi, tuntutan demokrasi seruak muncul untuk mengeliminasi kasus-kasus pelanggaran HAM yang sering terjadi dalam tugas dan instruksi dilapangan demi upaya good governance and clean governance. Lepas dari tuntutan good governance and clean governance; keamanan insani kini menjadi aktualisasi kalangan demokratior untuk hidup bebas dari rasa takut dan bebas dari tekanan.-

Menurut Amdy Hamdani (2009), dalam Almanak Hak Asasi Manusia di reformasi Sektor Keamanan dalam tulisannya Wacana HAM dan Sektor Keamanan Kontemporer menulis tentang keamanan insani (human security). Menurutnya, kemanan insani menganut cara pandang keamanan berorientasi manusia sebagai elemen penting bagi stabilitas lokal, nasional dan global. Lebih jauh, konsep keamanan insani juga terkait dengan praktek pembangunan. Berdasarkan konsep keamanan insani, kemiskinan dan ketimpangan merupakan akar penyebab dari kerentanan individu.

Ancaman atas keamanan insani sendiri-menurut pendekatan HAM-berasal dari pengingkaran terhadap HAM dan tiadanya sistem demokrasi disebuah negara. Pendekatan ini menjadikan perang sebagai ancaman utama keamanan insani hingga keselamatan individu dipandang sebagai tujuan utama pengembangan konsep keamanan insani. Sedangkan elemen penting dalam keamanan insani hanya penegas dari peran dan kewajiban negara kepada rakyatnya.

Tahun 1994 United Nations Development Programs (UNDP) merilis Human Development Report yang dianggap sebagai tonggak awal diadopsinya konsep keamanan insani. UNDP menjelaskan konsep keamanan insani mencakup: keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan hidup, keamanan personal, keamanan komunitas dan keamanan politik.

Sebernarnya kemanan insani dan keamanan tradisional (keamanan nasional) bukanlah konsep yang perlu dipertentangkan. Keamanan insani dan keamanan nasional merupakan hal yang saling bergantung satu sama lain, kekacauan sosial, politik, dan kebutuhan ekonomi adalah hal yang bisa menjadi alasan goyahnya sebuah rezim, dan pada akhirnya akan melemahkan negara dalam menghadapi ancaman internal dan eksternal.

France Stewart menyatakan bahwa keamanan dan pembangunan sangat terkait satu sama lain. Keamanan insani menjadi tujuan dari pembangunan karena membentuk bagian penting dari keberadaan manusia. Kurangnya keamanan insani memiliki dampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Sedangkan ketidak seimbangan pembangunan yang melibatkan ketimpangan holizontal adalah sumber konflik.

Dengan demikian keamanan harus dilihat dalam konteks keseluruhan (comprehensive security) dan keseimbangan antara kepentingan keamanan negara (state security) disatu pihak dan keamanan insani (human security) dilain pihak.

Ancaman terhadap yang satu tidak secara otomatis memberi hak bagi pemerintah untuk meniadakan penghormatan atau melakukan pengorbanan atas lainnya. Dalam pemahaman keamanan nasional sebagai barang publik, pemerintah senantiasa dituntut untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan (liberty) dan keamanan (security). Dalam perkembangannya, mulai diakui keamanan insani (bebas dari kekurangan dan ketakutan) tidak selalu bisa dipenuhi oleh negara. Bahkan, negara justeru bisa menjadi sumber dari ketidakamanan.

Kekerasan, penindasan, dan pelecehan terhadap kemanusiaan oleh rezim totaliter diabad modern-yang tidak berbeda jauh dengan perilaku kekuasaan diabad pertengahan dan zaman primitif merupakan sumber munculnya gagasan dan upaya mendorong adanya respon global pentingnya pengakuan atas HAM. Dimana perumusan dan proses internasionalisasi Hak Asasi Manusia merupakan usaha serius manusia untuk menjaga dan melindungi harkat dan martabat kemanusiaannya. Dan aplikasi HAM berupa pengakuan atas kebebasan (bebas dari rasa takut dan bebas dari kekurangan) dan kesetaraan seharusnya memperoleh jaminan dari negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Melihat perkembangan ancaman keamanan yang terjadi didunia belakangan ini, maka penting sekali menanamkan kepada publik mengenai perspektif keamanan baru yaitu “human security” dalam mempengaruhi kebijakan stabilitas lokal, regional dan internasional untuk menciptakan perdamaian abadi agar generasi mendatang mewarisi lingkungan yang sehat.

Kasus Koja, Negara Gagal Menjamin Human Security
Kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta menggambarkan masih massifnya pendekatan dan perilaku kekerasan dan represif demi penegakan perda dan Keputusan Kepala Daerah. Maraknya aksi brutalitas dan pengesampingan penghargaan akan nilai Hak Asasi Manusia mencirikan negara ini mereformasi diri secara subyektif belum pada upaya reformasi secara obyektif. Negara masih mereformasi secara reaksioner belum pada reformasi secara kekinian (contemporer reform). Kasus Koja, menjustifikasi maraknya aksi pelanggaran HAM di Indonesia. Meskipun secara aktualisasi kasus saat ini, semakin dipolitisir dengan berbagai macam kronologis dan sebab-akibat, intinya negara telah gagal menjamin human security.

Salah satu cara negara merepresif warganya adalah melalui legislasi dan kebijakan negara. Seringkali tindakan negara diamini dengan kekerasan dan represif. Metode ini sering digunakan negara bercirikan abuse of power.

Polisi Pamong Praja selaku bahagian dari negara yang sesuai tugas dan intruksinya dalam PP 32 tahun 2004 pasal (3) “Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah” dan pasal (4) menyatakan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Satuan Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi: a). penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakan peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah; b). pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum didaerah; c). pelaksanaan kebijakan penegakan peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah; d). pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah, keputusan Kepala Daerah dengan aparat kepolisian negara, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya; e). pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Dengan demikian, Polisi Pamong Praja wajib untuk menjalankan amanat perda dan keputusan Kepala Daerah yang terkadang berlawanan dengan nurani. Banyak perda-perda subversif yang sering mengebiri hak-hak rakyat terutama hak-hak komunal dari masyarakat adat. Kasus Koja, menggambarkan aksi kekerasan yang ditunjukkan oleh oknum aparat negara dalam menjalankan amanat keputusan Gubernur, yang pada akhirnya mengorbankan beberapa anggota Satpol PP dan warga sipil. Indikasi pelanggaran HAM pun nyata dalam kasus Koja. Negara gagal menjamin ketentaraman dan keamanan warganya dengan bentrok yang terjadi.

Lantaran sebagai penegak Perda dan Keputusan Kepala Daerah dan demi mengamankan perintah/keputusan Gubenur maka indikasi tindakan-tindakan represif diambil oleh Satpol PP untuk mengamankan kebijakan yang ada, sehingga Polisi pamong Praja pun “terpaksa” melakukan kekerasan. Hal lain juga terletak pada pelatihan dan perekrutan anggota Satpol PP sebatas pada kesamaptaan tanpa dibekali dengan materi HAM, civic education dan social approach.

Untuk menimalisir pelanggaran HAM, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja juga harus bertanggung jawab untuk memberi advis dalam penegakan perda dan keputusan Kepala daerah kepada anggotanya seperti yang ditunjukkan Kasat Pol PP Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami, M.Si., ketika menggelar operasi penertiban “Tegakkan Perda tapi jangan hilangkan mata pencaharian orang,”  (mengutip perintah walikota Kupang pada saat Kasat pol pp bekonsultasi dengan Walikota Kupang) kata-kata ini dilecutkan Kasat PolPP Kota Kupang ketika berdialog dengan belasan PKL di aula PolPP Kota Kupang, Kamis (25/3/2010). Kondisi ini mencerminkan masih adanya junjungan penghargaan akan nilai-nilai HAM sehingga pelanggaran HAM secara terstruktur dalam dinamika penegakan perda di Kota Kupang dapat diminimalisir. Kiranya semakin memperkokoh anggota Satpol PP menjadi lebih professional.

Pesan “jaga harga diri institusi PolPP dan jangan arogan” yang sering dilakon oleh Kasat Pol PP Kota Kupang pada anggotanya dalam setiap kegiatan operasi perintah perda seturut pengakuannya, agar anggotanya tidak melakukan kekerasan dan mengutamakan pendekatan persuasif, secara temporer terbukti dengan pemberitaan-pemberitaan media jauh dari pemberitaan kekerasan yang dilakoni oleh Satpol PP. Apa yang telah ditunjukkan oleh PolPP Kota Kupang agar terus diasah agar menjadi lebih professional tanpa mengabaikan perintah Perda.

Aturan Subversif
Dengan dalih menjalankan perintah perda sering kali anggota dari kesatuan Polisi Pamong Praja sering malakukan kekerasan dalam penegakan perda dan keputusan Kepala Daerah.

Peraturan daerah yang dihasilkan oleh DPRD sering kali mengebiri hak-hak rakyat, begitupun Keputusan Kepala Daerah sering melalaikan eksistensi hak-hak komunal maupun hak-hak dasar dari warga negara. Ketika perda dan keputusan kepala daerah menuntut untuk ditegakkan, maka Satpol PP lah yang menjadi senjata andalannya. Meskipun dalam penegakkannya bertentangan dengan nurani, namun karena tugas maka kekerasan dan represif sering menjadi solusi terakhir. Meskipun upaya pendekatan persuasif (persuasive approach) sering dilakukan oleh Satpol PP namun tidak serta merta dipahami warga negara sebagai alternatif. Dengan adanya teori HAM dan UU HAM, warga negara sering salah menginterpretasi menjadi brutalitas warga negara.

Namun eksistensi Satpol PP akan baik dimata masyarakat jika perda dan Keputusan Kepala Daerah menjadi perda yang berorientasi kebutuhan masyarakat (need oriented). Untuk itu partai politik perlu membekali kadernya yang duduk di lembaga legislatif untuk selalu mengedepankan kebijakan yang propoor dan menghargai nilai-nilai hak asasi manusia. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepala Daerah dalam merubah mindset/mindstreeming menjadi keputusan yang menghargai warga negara sebagai penerima layanan dan kebijakan. Sehingga apapun yang dihasilkan dari peraturan daerah ditingkat DPRD dan Keputusan Kepala Daerah ditingkat eksekutif tidaklah mengebiri hak-hak rakyat. Karena kadangkala negaralah pelaku sumber ancaman bagi warganya.

Polisi Pamong Praja dan Harapan
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi Satpol PP ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak.

Dengan demikian, corak anekdot institusi Polisi Pamong Praja berwatak dan berwajah represif  dapat bermetamorphosis menjadi Polisi Pamong Praja yang persuasif, profesional dan akuntabel. Tunjukkan Polisi Pamong Praja yang proaktif dalam penegakkan perda dan tidak arogan dan mengesampingkan kekerasan, mengutamakan persuasif. Masyarakat tentram, jauh dari ketakutan akan kekerasan yang dilakonkan oleh Satpol PP. Saatnya pendekatan persuasif menjadi trend dalam penegakan perda dengan alternatif-alternatif yang disolusikan tanpa menghilangkan hak-hak rakyat.

Lembaran Hitam Pol PP (Bagian 2)
“Wacana Kebutuhan Akan Satpol PP”

Indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sering dipertontonkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja hampir diseluruh antero nusantara menuntut agar Pol PP dibubarkan. Ditambah dengan indikasi aksi pelanggaran HAM di Koja oleh Satpol PP DKI Jakarta terhadap warga tanjung priuk Rabu, 14 April 2010 menguatkan tema pembubaran Pol PP.

Satpol PP, Sejarah dan Dasar Hukum
Keberadaan Satpol PP, yang bermoto Prajawibawa, sebernarnya bisa dilacak lebih jauh pada pembentukan Bailluw saat VOC menduduki Batavia (1602). Bailluw saat itu merupakan polisi yang merangkap jaksa dan hakim yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota. Selain menjaga ketertiban dan ketentraman warga kota, institusi ini berkembang menjadi organisasi kepolisian disetiap Kerisidenan dan Kawedanan untuk melakukan tugas-tugas ketertiban dan keamanan pasca kekuasaan Raffles (1815). Bailluw ini terus berkembang menjadi suatu organisasi yang tersebar disetiap Keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh residen dan asisten residen. Selanjutnya, organisasi kepolisian kolonial dikembangkan menjadi: pertama, Polisi Pamongpraja (Bestuurpolitie) yang ditempatkan menjadi bagian dari pemerintahan pribumi yang didukung oleh kepala-kepala desa, para penjaga malam, dan agen-agen polisi yang diperbantukan pada pejabat-pejabat pamongpraja. Kedua, Polisi umum (Algemeen Politie) yang merupakan kesatuan khusus dan berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepolisian. Ketiga, polisi bersenjata (Gewapende Politie). Untuk polisi pamong praja dan polisi umum, keduanya ditempatkan dibawah Kejaksaan (Procureur Generaal) pada Mahkamah Agung (Hoogerrechtshof) sebagai penanggung jawab tertinggi atas pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum (IDSPS, 2009).

Pasca Proklamasi kemerdekaan yang diawali dengan kondisi yang mengancam NKRI, dibentuklah Detasemen Polisi Penjaga Keamanan Kapanewon di Yogyakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Praja di DIY No 1/1948 tertanggal 30 Oktober 1948 untuk menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat. Pada tanggal 10 Nopember 1948, lembaga ini berubah menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja berdasarkan Surat Perintah Jawatan Praja DIY No 2/1948. Di Jawa tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UR32/2/21/Tahun 1950 untuk mengubah Detasemen Pol PP menjadi Kesatuan Polisi Pamong Praja. Inilah embrio terbentuknya Satpol PP. Tanggal 3 Maret ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diperingati setiap tahun (Tadie, 109:170). Pada Tahun 1960, dimulai pembentukan Kesatuan Polisi Pamong Praja diluar Jawa dan Madura berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 7 Tahun 1960 tanggal 30 Nopember 1960, yang mendapat dukungan para petinggi militer (Angkatan Perang). Tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar Baya dengan peraturan Menteri Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 tertanggal 11 Juni 1962 untuk membedakannya dari Korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalam UU No 13/1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian. Tahun 1963, lembaga ini berganti nama lagi menjadi Kesatuan Pagar Praja dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963. Istilah Satpol PP sendiri mulai populer sejak pemberlakuan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam pasal 86 ayat 1 UU itu disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekosentrasi.

Kini UU 5/1974 sudah tidak berlaku lagi, digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan bahwa tujuan Satpol PP adalah untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja dan, pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah. UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 148 menjadi landasan hukum keberadaan Satpol PP. Pasal ini bahkan menuntut pembentukan Satpol PP sebagai kelengkapan struktur pemerintah daerah. Dengan UU ini, hampir tak ada lagi daerah yang tidak mempunyai lembaga Satpol PP. Satpol PP juga dilengkapi dengan Pedoman Satpol PP dalam PP No 32/2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja merupakan prosedur tetap operasional yang dimilki Satpol PP. Pasal 4 Permendagri No 26/2005, Protab terdiri atas: prosedur operasional ketentraman dan ketertiban umum; prosedur operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; prosedur operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; prosedur operasional pelaksanaan tempat-tempat penting; prosedur pelaksanaan operasional patroli; prosedur operasional penyelesaian kasus pelanggaran ketentraman, ketertiban umum dan Peraturan Daerah.

Sementara, mengenai pakaian dinas, perlengkapan dan peralatan Satuan Polisi Pamong Praja diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja. Permendagri ini mengatur seluruh perlengkapan operasional satuan polisi pamong praja, baik perorangan maupun institusional. Terkait dengan perlengkapan perorangan, pedoman ini juga memberikan kewenangan pada anggota Satpol PP untuk memakai dan menggunakan senjata api. Dan kini kesatuan Satpol PP pada Hari Ulang Tahunnya yang ke 60 pada 3 Maret 2010 mendapat kado istimewa berupa PP No. 6 tahun 2010 tentang Pol PP.

Wacana Masyarakat Mengenai Kebutuhan akan Satpol PP
UU dan Perda-Perda serta berbagai perda yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah telah menempatkan Satpol PP menjadi aktor pengendalian ketentraman dan ketertiban kota/daerah yang strategis dan penting. Aksi mereka banyak mengundang perhatian masyarakat karena memang bersifat publik. Selain itu, aksi mereka juga kerap diberitakan baik oleh media visual, auditif, maupun cetak. Sebahagian motif pemberitaan ini juga bagian dari ‘sosialisasi’ aparatus pemerintah daerah akan kewajiban mereka melaksanakan amanat Perda. Langsung maupun tidak langsung, aksi-aksi mereka Satpol PP ini menyentuh kepentingan masyarakat banyak. Tak heran kalau kedudukan dan kiprahnya itu mengundang beragam pandangan. Dalam penelusuran wacana di masyarakat ada beberapa pandangan terhadap Satpol PP. pertama, pandangan Moderat, kedua, pandangan liberal, dan ketiga, pandangan kritis.

Pandangan moderat menganggap keberadaan Satpol PP penting dan perlu terutama untuk menjaga ketentraman dan ketertiban kota. Kalaupun ada aksi-aksi mereka yang terkesan penuh kekerasan dan melanggar hak asasi manusia, itu menurut mereka, tidak mengharuskan Satpol PP dibubarkan atau ditiadakan. Kekerasan terjadi lebih sering karena kekeliruan yang bersifat teknis-prosedural atau karena adanya aksi-aksi masyarakat yang bersifat provokatif terhadap mereka. Dengan pandangan ini, kalangan moderat lebih banyak membela keberadaan Satpol PP sambari mengusulkan perlunya Satpol PP bertindak lebih persuasif dengan tahapan pendekatan mulai pengayoman, pencegahan hingga penindakan bagi pelanggaran Perda. Disisi lain, mengharapkan masyarakat untuk tidak melawan dan memprovokasi para petugas Satpol PP yang memancing emosi dan kemarahan mereka. Untuk itu mereka mengusulkan perlunya revitalisasi Satpol PP, misal dengan membuat rambu “kewenangan prosedural” yang harus jelas dan terukur terutama dalam tahap aksi penindakan. Pandangan yang banyak didukung masyarakat menengah ini selanjutnya mengharapkan adanya peningkatan SDM, anggaran, dan sarana, agar dalam berbagai tindakan, Satpol PP bisa lebih baik dan persuasif.

Pandangan kalangan moderat cukup beralasan. Dengan cara yang persuasif, Pol PP bisa menghindari aksi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi dalam aksi-aksi mereka. Hal ini dilakukan sejauh ini oleh misalnya Satpol PP Kota Kupang. Berbeda dengan gambaran Satpol PP di media elektronik yang terkesan sangar dalam menangani perda, menurut Drs. Dumuliahi Djami, Kepala Satpol PP Kota Kupang, selama ia bekerja dilapangan di wilayah Kota Kupang, mereka lebih mengedepankan cara “kekeluargaan”  dan negosiasi. Dia mencontohkan ketika mereka akan menertibkan PKL atau pasar liar maka pertama-tama mereka melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang terkena jalur penertiban. “Kami memberitahukan kepada mereka kalau mereka dilarang berjualan diarea tersebut dan selanjutnya meminta mereka untuk pindah secara baik-baik. Bahkan kami membantu mereka untuk pindah dan mengangkut barang-barang mereka,” cerita Dumul Djami. Cara-cara seperti ini menurutnya jauh lebih efektif dan lancar di lapangan (Temuwicara Kasat Pol PP setiap kegiatan Operasi).

Berbeda dengan kalangan moderat, pandangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan sama sekali. Mereka lebih banyak berharap agar soal ketertiban dan keamanan diserahkan kepada kalangan Polisi saja. Ketidak setujuan kalangan liberal yang didukung kalangan kelas menengah keatas ini terutama karena Satpol PP sering mengurus hal-hal yang bersifat ‘privacy,’ yang memang menjadi kemewahan kalangan kelas ini.

Meskipun secara teoritis wewenang polisi dan Satpol PP telah tertulis dan berbeda, dalam praktiknya clash dan kesalahpahaman tidak terhindarkan. Satpol PP bertanggung jawab untuk mengawal pelaksanaan Perda, terutama peraturan yang mempunyai hukuman, dengan kata lain terhadap pejabat publik. Sementara polisi sebagai penegak hukum memainkan peran sebagai pengawal, pelindung, dan pembela. Ini berarti polisi dengan fungsinya sebagai penyelidik resmi juga berwenang menegakan Perda sesuai dengan tuntutan hukuman. Tumpang tindih peran, wewenang, dan tanggung jawab kedua lembaga ini sangat disadari.

Sementara pandangan kritis, seperti kalangan liberal, menganggap keberadaan Satpol PP tidak dibutuhkan. Tapi alasannya sangat berbeda, ketidaksetujuan terhadap Satpol PP lebih karena Satpol PP banyak merugikan hajat dasar dari kehidupan mereka. Pandangan kritis ini didukung kalangan kelas bawah seperti kaum miskin kota, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pekerja seks komersial, dan lain-lain yang selama ini memang sering menjadi sasaran Satpol PP karena dianggap melanggar Perda mengenai ketentraman dan ketertiban kota. Bagi kalangan ini, Satpol PP telah banyak melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam aksi-aksi mereka. Bagi kalangan kritis ini, Satpol PP tidak lebih dari “aparat militer yang tak berseragam” dengan aksi-aksi mereka yang sangat militeristik. Berbeda dengan kalangan moderat, yang memandang aksi-aksi kekerasan yang dilakukan Satpol PP lebih sebagai ‘akibat’ saja, bagi kalangan kritis ini sifat kekerasan dan militeristik ini sudah menjadi watak dan karakter dari Satpol PP ini. Ini bukan saja terlihat dari seragam yang mereka pakai, latihan-latihan fisik ala militer yang merka terima (yang porsinya mendominasi dibandingkan latihan-latihan atau kursus-kursus lain), dan riwayat sejarah mereka yang terhubung dengan sejarah militer. Sehingga imajinasi dan citra diri yang membentuk pandangan mereka pun dipenuhi penampilan sebagai ‘militer.’

Pandangan kalangan yang kritis ini sangat mendasar dan perlu menjadi perhatian. Kalau ditelusuri lebih lanjut, memang setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan pola perilaku dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan Satpol PP begitu militeristik. Pertama, terkait dengan pedoman Satpol PP sendiri sebagaimana diatur dalam PP No. 32/2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dan prosedur tetap Satpol PP sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 26/2005 Tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja. Kedua, Permendagri No.35/2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi Pamong Praja. Faktor ketiga yang menyebabkan Satpol PP bersifat militeristik adalah materi pendidikan Satpol PP didominasi oleh pendekatan militeristik dari pada pendekatan sosial dan kultural. Keempat, institusi Satpol PP lebih banyak diisi pegawai-pegawai yang tidak berkualitas, bahkan cenderung dijadikan tempat pembuangan pegawai-pegawai yang tak lagi digunakan di instansi-instansi lain. Kedua ketentuan tersebut, yang diikuti oleh sistem pendidikan militeristik dan kualitas SDM yang rendah menyebabkan Satpol PP selalu tampil militeristik, dan hampir-hampir menganggap diri mereka sebagai bagian dari militer saja.

Dengan alasan ini, kalangan kritis menuntut agar Satpol PP dibubarkan saja. Atau setidaknya mereka menuntut pencabutan beberapa perda, misal yang menyangkut ketertiban, ketentraman, dan keamanan, yang sebenarnya merupakan ‘nyawa’ dari keberadaan Satpol PP.

Berbagai alasan dan pandangan tersebut diatas akan mewadahi kita sebagai warga negara untuk dapat menilai layakkah Pol PP untuk tetap dipertahankan?

Lembaran Hitam Pol PP (Bagian 3-habis)
Sedikit cerita dari Pol PP Kota Kupang

Ketika maraknya tuntutan warga negara agar dilakukan pembubaran Satpol PP lantaran peristiwa Tanjung Priuk berdarah pada Rabu, 14 April 2010, kita dihentakkan dengan upaya logis dan nyata oleh Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Kupang dalam mengeliminasi pelanggaran HAM yang kental dengan Satpol PP, terlepas dari tiga pandangan wacana kebutuhan akan Satpol PP baik secara Moderat, Liberal dan Kritis.

Pantauan penulis menyimak pemberitaan media lokal NTT seperti Surat Kabar Harian Timor Express, sering aktif menulis aktifitas Polisi Pamong Praja Kota Kupang dalam urusannya dengan penegakan perda. Kenyataan temporer terlihat paradox di Kota Kupang, dimana anekdot Polisi Pamong Praja selaku institusi represif terhadap warga pelanggar perda jarang tervisualisasi dalam tatanan penegakan perda di Kota Kupang. Misalkan saat penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pelabuhan Indonesia III (Pelindo) Tenau Kupang oleh Satpol PP Kota Kupang koordinasi Kasie Ops Alponthus Loban dan anggota  beberapa waktu lalu, tidak terjadi perlawanan oleh PKL. PKL dengan kesadaran membongkar lapak-lapak mereka, dan jika ada PKL yang belum dapat membongkar lapak mereka akan dibantu oleh anggota Polpp. Nampak adanya kedekatan antara anggota Satpol PP dan PKL. Lapak-lapak tersebut dipindahkan ketempat yang telah ditentukan demi penataan Kota yang lebih asri. Aktifitas yang kondusif ini ternyata dipengaruhi oleh pendekatan persuasif dan dialog antara Kasat Pol PP dan PKL, dan jika dikaitkan dengan kondisi Pol PP diwilayah otonom lain yang sering kita tonton dan baca dimedia, pasti lapak-lapak PKL akan dibongkar, dagangan dan pedagang menjadi korban kekerasan Satpol PP jika ada perlawanan dari PKL. Seturut Kasat Pol PP dalam pemberitaan media, “Penertiban PKL di Pelabuhan Tenau tanpa ada perlawanan karena ketika dilakukan pendekatan secara persuasif oleh Satpol PP, masyarakat sadar demi penataan pelabuhan yang lebih asri”.

Pemberitaan media juga, demi melaksanakan amanat perda dengan tanpa mengabaikan mata pencaharian PKL, insiasi Kasat Pol PP Kota Kupang, Drs. Dumuliahi Djami untuk melakukan dialog bersama PKL diseputaran Kota Kupang, mempertontonkan adanya institusi yang masih menghargai pentingnya nilai persuasif dalam penegakkan perda. Saran dan gagasan banyak yang dilontarkan PKL dan terbentuk kesepakatan-kesepakatan antara Pol PP dan PKL. Retorika ini memperlihatkan Pemerintah tidak selalu represif dan arogan dalam melaksanakan perda, kiranya dapat dicontohi oleh institusi lain. Mungkin apa yang diinisiator oleh Kasat PolPP Kota Kupang menjadi terobosan dan corong sehingga dapat meminimalisir kekerasan anggota PolPP dilapangan dan juga masyarakat dapat sadar akan kewajibannya sebagai warga kota.

Namun kondisi ini kiranya dapat menjadi temuan dan kajian dalam penegakan ribuan perda lainnya yang menjadi tugas Pol PP sesuai PP 06 tahun 2010 tentang Pol PP dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja seperti halnya Pasal 4 Permendagri No 26/2005, Protab terdiri atas: prosedur operasional ketentraman dan ketertiban umum; prosedur operasional pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa; prosedur operasional pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting; prosedur operasional pelaksanaan tempat-tempat penting; prosedur pelaksanaan operasional patroli; prosedur operasional penyelesaian kasus pelanggaran ketentraman, ketertiban umum dan Peraturan Daerah. Dengan demikian Kota Kupang semakin cantik dan bersih dari penataan kota yang sembrawut.

“Tegakkan Perda tapi jangan hilangkan mata pencaharian orang,”  kata-kata ini dilecutkan Kasat PolPP Kota Kupang ketika berdialog dengan belasan PKL di aula PolPP Kota Kupang, Kamis (25/3/2010) lalu. Kondisi ini mencerminkan masih adanya junjungan penghargaan akan nilai-nilai HAM sehingga pelanggaran HAM secara terstruktur dalam dinamika penegakan perda di Kota Kupang dapat diminimalisir. Kiranya semakin memperkokoh anggota Satpol PP menjadi lebih professional.

Pesan “jaga harga diri institusi PolPP” yang sering dilakon oleh Kasat Pol PP Kota Kupang pada anggotanya dalam setiap kegiatan operasi perintah perda seturut pengakuannya, agar anggotanya tidak melakukan kekerasan dan mengutamakan pendekatan persuasif, secara temporer terbukti dengan pemberitaan-pemberitaan media jauh dari pemberitaan kekerasan yang dilakoni oleh Satpol PP. Apa yang telah ditunjukkan oleh PolPP Kota Kupang agar terus diasah agar menjadi lebih professional tanpa mengabaikan perintah Perda.

Contoh lain adalah operasi penertiban minuman keras (berakhohol) yang beredar tanpa label perda oleh Satuan Polisi Pamong Praja beberapa waktu lalu membantu mendongkrak kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Kupang. Operasi pendataan bangunan liar yang tidak memiliki Ijin Membangun Bangunan (IMB), masyarakat disadarkan untuk mengurusnya ke perijinan. Hal yang sama juga berlaku dalam operasi pendataan Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi pengusaha. Begitupun ketika terjadi kenaikan harga Sembilan bahan pokok (sembako) Pol PP Kota Kupang menggerebek pengusaha hitam yang memainkan harga pasar sehingga permainan harga pasar pun tidak terjadi di Kota Kupang. Pol PP aktif menahan pengangkutan mangan secara ilegal oleh pengusaha yang mencuri hasil alam meskipun penanganan secara pidana terkesan “gelap” di pihak Kepolisian.

Dalam keaktifan kemasyarakatan, Polisi Pamong Praja aktif dalam mencermati kondisi keluhan masyarakat seperti bersama warga membersihkan got guna mencegah penyakit, membantu warga yang terkena dampak banjir, dampak pohon tumbang, membantu warga untuk dievakuasi ketika terjadi konflik holizontal, dan kegiatan positif lainnya.

Dengan demikian tidak serta merta tuntutan pembubaran Satpol PP secara Nasional dapat dilakukan lantaran kejadian Koja berdarah. Dapat saja dimungkinkan Koja berdarah merupakan realitas dan emosional antara warga dan aparat negara. Begitupun kasus DKI Jakarta (Koja berdarah) belum dapat dikatakan representase secara institusi lantaran Pol PP merupakan kesatuan otonomi daerah yang sosio approach berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Pembubaran Pol PP juga dapat dikatakan sebagai pengingkaran terhadap sejarah lantaran Pol PP bercikal bakal sejak 1602. Seharusnya yang perlu diperhatikan dalam kejadian Koja adalah menuntut reformasi birokrasi agar tindakan represif aparat negara dapat diminimalisir baik secara perekrutan dan pendidikan.

Demikian sedikit catatan dari kesatuan Polisi Pamong Praja yang kental dengan tindakan represif dan arogan. Dari catatan yang ada, seyogyanya pendekatan persuasif sangat diutamakan selain merubah cara pandang legislatif dan eksekutif agar tidak menghasilkan peraturan daerah dan kebijakan yang mengebiri hak-hak rakyat.

TRANSLATE: