SELAMAT MEMBACA

Tuesday 5 November 2013

SEMANGAT KORPS



KAPOLDA NTT “TIDAK AKAN BERANI”
MENGELIMINASI ESPIRIT DE CORPS DALAM MENINDAK BRUTALITAS POLISI
Oleh : Ian Haba Ora)*
Ketua Task Force Security Sector Reform NTT

Ditengah gencarnya reformasi dimana hampir seluruh sendi kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan keamanan menjadi sorotan masyarakat, masih saja terdengar baik melalui media cetak maupun media elektronik brutalitas polisi (tindakan kekerasan berlebihan). Brutalitas polisi yang terjadi sejak ekonomi Indonesia dalam keadaan suram, berlanjut semasa peralihan kekuasaan orde baru hingga pemerintah reformasi mulai memperkuat kekuasaan belum nampak kecenderungan menurun. Meskipun prestasi yang dikejar Polri melalui keberhasilan dalam mengungkap jaringan terorisme dan sindikat narkoba, namun belum mendongkrak citranya sebagai aparat yang tegas dan santun. Kesan brutal itu masih lekat pada dirinya, apalagi jika melihat ditanyangan televisi maupun membaca di surat kabar, Bagaimana tindakan polisi dalam menangani aksi-aksi demo, pemeriksaan BAP, penahanan maupun dalam melibas para penjahat jalanan (blue collar crime). Kekerasan memang mencitrakan pekerjaan polisi. Hal ini dapat dilihat dari perlengkapan yang disandangnya, seperti pistol, borgol, pentungan dan lain-lain. Pengunaan kekerasan bagi polisi bisa disebut sebagai inti dari pekerjaannya atau sebagai perlengkapan untuk menjalankan pekerjaan dimasyarakat.Tentu pekerjaan itu hanyalah digunakan saat menghadapi ancaman yang membahayakan dirinya dan dihadapi secara wajar atau dengan menggunakan alat yang seimbang. Dengan kata lain kekerasan yang digunakan polisi adalah kekerasan normatif bukan kekerasan emosional brutal atau kekejaman.

Dalam hal ini sebagai lembaga negara polisi diberi dua kekuasaan yaitu kekuasaan dibidang hukum dan kekuasaan dibidang pemerintah.  Penerapan kedua kekuasaan itu diwujudkan dalam bentuk kekuatan paksa fisik secara terorganisir untuk mengontrol perilaku masyarakat dalam mencapai modal kolektif. Diberikan monopoli kekuasaan tersebut sesungguhnya tidak memiliki masalah yang serius, namun persoalan muncul ketika masyarakat menuntut agar polisi menjadi wasit yang adil berhadapan dengan napsu kekuasaan yang mengabaikan tujuan moral. Pada titik ini kelemahannya ialah bagaimana mengontrol mandat yang diberikan kepada polisi dalam menggunakan kekuatan paksa fisik tersebut dipertanggungjawabkan dan kegagalan atas pertanggungjawabannya itu diberikan hukuman yang setimpal.

Pada dasarnya penggunaan kekerasan bagi polisi diijinkan apabila : (1) Pada saat menjalankan tugas polisi diserang secara fisik oleh seseorang atau sekelompok orang. (2) Polisi yang telah memberikan peringatan baik dengan kata-kata maupun perbuatan terhadap seseorang atau sekempok orang yang tidak diindahkan. (3) Polisi menghadapi perlawanan tidak seimbang dari seseorang atau sekelompok orang yang akan ditangkap karena memiliki kesalahan. Sedangkan yang tidak diijinkan antara lain adalah : (1). Polisi menangkap seseorang dengan menggiring dimuka umum, pada hal itu yang seharusnya tidak perlu ditangkap atu cukup dipanggil saja; (2). Seorang yang tidak berusaha melarikan diri atau melawan, dengan tanpa alasan diborgol; dan (3). Seseorang yang ditangkap, sudah ditundukkan kemudian dipukul atau ditembak. Meskipun dalam penggunaann kekerasan itu telah diberikan berbagai patokan baik berupa undang-undang (KUHP,KUHAP) maupun petunjuk kepolisian (juklak,juknis), namun praktek brutalitas polisi masih saja terjadi.

Brutalitas polisi itu bisa disebabkan karena masalah persoalan yang menyangkut mental aparat juga menyangkut sruktural. Masalah personal tidak lepas dari aspek rekrutmen dan basis pendidikan. Sedangkan masalah structural, mencakup persoalan yang bersifat umum sehingga persoalan yang sangat sensitive karena pekerjaan polisi berhubungan langsung dengan soal kebebasan dalam hal penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan terhadap seseorang. Dari sinilah tindakannya sering mengundang persepsi negative karena merampas kebebasan seseorang, lebih dari itu dimanfaatkan untuk mengamankan kekuasaan suatu golongan. Kondisi seperti ini membuat polisi bisa terseret pada rekayasa politik dengan melakukan kontrol lewat penyelidikan, pelacakan, pencekalan, pengaturan dan pemeriksaan membuka peluang bagi kemungkinan digunakannya polisi sebagai alat kekerasan politik, bukan kekerasan normative atau kekeraasan yang berlandaskan hukum. Keadaan ini tidak lepas dari kondisi nyata yang hidup dalam sistem dan doktrin kepolisian yang membuat aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya cenderung akan berpihak kepada kekuasaan yang kuat dari segi politik. Jika demikian wajah polisi merupakan refleksi dari watak rezim yang otoritarian.

Ini menunjukan masih ada persoalan yang perlu didudukan untuk mengendalikan polisi dalam penggunaan kekerasan. Selama ini pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepolisian dapat dikatakan sangat lemah. Pengawasan internal yang dilakukan oleh divisi propam polri belum berlangsung secara optimal. Hal ini disebabkan karena ada hambatan dari budaya polisi yang berkisar pada solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Solidaritas polisi mendorong kearah semangat saling melindungi kawan meskipun bersalah. Sedangkan implikasi kerahasiaan, sebagai institusi penegak hukum polisi merasa tabu membuka aib angotanya yang melanggar hukum (terutama pada strata petinggi polisi).

Hadirnya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagaimana diamanatkan pasal 37 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sesungguhnya merupakan angin segar bagi terciptanya mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan tugas-tugas polisi. Jika selama ini polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tanpa kontrol masyarakat secara formal, maka dengan kehadiran Kompolnas seakan masyarakat diberikan ruang untuk mengontrol pelaksanaan tugas polisi. Namun jika dilihat dari tugas dan wewenang yang dirumuskan dalam undang-undang hanya terbatas sebagai pembantu presiden dalam memberikan saran, menyimpulkan keluhan dan saran dari masyarakat untuk disampaikan kepada presiden. Hal ini sama saja mengaburkan fungsi sebenarnya dari  Kompolnas. Apalagi jika dilihat dari struktur keanggotaan yang mendudukan tiga orang menteri didalamnya, harapan agar komisi ini independen dan mampu mengontrol tugas-tugas polisi secara cermat pupuslah sudah.

Analisis brutalitas polisi ini mendeskripsikan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi setelah pisah dengan TNI sesuai TAP MPR No.VI/2000 dan TAP MPR No.VII/2000 yang mengarahkan polisi sebagai lembaga sipil yang dalam pelaksanaan tugasnya mengutamakan hukum dan ketertiban. Dalam uraiannya dapat dilihat secara mendalam kejadian-kejadian dan korban-korban yang mengganaskan sejalan dengan sejarah kepolisian di Indonesia. Dengan kata lain kekerasan yang mewarnai kinerja polisi bukaNnya merupakan fenomena yang kasuitis,melainkan sudah menjadi budaya organisasi. Masalah ini yang ditonjolkan dengan harapan akar permasalahannya dapat diketahui secara benar dan perbaikan dilakukan secara mendasar.

Reformasi kepolisian yang telah berlangsung ±11 tahun nampaknya belum memenuhi sasaran yang diharapkan, banyak hal yang perlu dikaji seperti kedudukan polri belum otonomi sehingga pertanggungjawaban Kapolda sentralistik, juga perumusan kompolnas yang disfungsional. Sejalan dengan itu perlu dibenahi perilaku organisasi, manajemen, profesionalisme, efesiensi, spesialisasi, akuntabilitas, transparansi, pembiayaan tugas polisi dan kesejahteraan anggotanya. Selama ini masyarakat telah berusaha memahami dilema yang dihadapi polri dalam posisinya dipemerintahan. Pelecehan-pelecehan yang dilemparkan kepadanya sebagai alat kekuasaan pada hakekatnya merupakan kekecewaan masyarakat terhadap sistem kepolisian yang kurang memberi peluang untuk warga menyalurkan aspirasi. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat kondisi sosial Indonesia saat ini berada diambang rawan. Dengan kata lain, struktur yang menyimpang dari cita-cita dan tujuan bersama secara potensial bersifat memecah. Ini berarti jika lembaga kepolisian di Indonesia tidak didudukan secara sistemik, maka kontradiksi  antara polisi dengan warga masyarakat akan terus terjadi. Dalam posisi demikian warga masyarakatlah yang selalu menjadi pihak yang kalah.

Akhirnya analisis ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi para penentu kebijakan. Reformasi polri hendaknya lebih mengarah kepada cita-cita mewujudkan polisi sipil, polisi yang menunjukkan kemanusiaan (humanis), independen dalam menjalankan tugasnya, bukan polisi yang hanya berpihak pada kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Mungkinkah dengan kasus brutalitas polisi “ kasus tewasnya dua siswa SMK Eltari, Cristofel Taebenu dan Jefri Lay akibat ditendang motornya oleh Anggota Samapta Polda NTT, 12 Oktober 2009 saat melintas di jalan Mohammad Hatta-Kuanino Kupang hingga kini semakin kabur dalam proses penyidikannya. Kasus tewasnya Paulus Usnaat dalam sel Mapolsek Nunpene-wilayah Polres TTU pada 2 Juni 2008 akibat dibunuh yang diduga melibatkan 4 orang anggota polisi yang sedang piket saat itupun, masih terkesan lamban penyusutannya, bahkan ke empat orang anggota piket itupun hanya di Mutasi ke Polda NTT dan belum mendapat status hukum yang jelas. Kasus Bripda Iwan Susanto anggota Brimobda NTT sebagai tersangka dalang pencurian dua kilogram emas di toko kanaan pada 12 Mei 2009, berkas penyidikannya hanya pada “bolak-balik” kejaksaan-polisi dan tindakan indisipliner belum sepenuhnya terlaksana. Kasus penikaman oleh Bripda Polce Ludji terhadap sesama rekan polisi Bripda Deni Ndoloe, 27 Januari 2010 di TTS dengan alasan hukuman indisipliner yang terimanya lantaran mabuk-mabuka  menggambarkan makin bejatnya moral polisi di NTT”. Pertanyaannya; Berani atau tidak, Kapolda NTT untuk mengeksekusi pelaku brutalitas polri di NTT? Kasus ini hanya sebagian contoh dalam dinamika brutalitas Polisi di wilayah Polda NTT. Jikalau Kapolda NTT hanya berani membuat statement maka reformasi Polri belum sepenuhnya berjalan di institusi Kepolisian. “Watak espirit de corps masih kental di Kepolisian NTT”.


TRANSLATE: