SELAMAT MEMBACA

Tuesday 5 November 2013

POLISI BISNIS



e Spirit de corps dalam Brutalitas Polri di NTT
Oleh. Ian Haba Ora)
Ketua Task Force Team SSR NTT

Bicara soal reformasi polri sebagai tuntutan gendang reformasi 1999, maka kita akan bicara soal polisi berkarakter sipil yang dekat dengan rakyat, menekankan pada pendekatan persuasif, jauh dari kegiatan represif dan pendekatan militeristik, jauh dari brutalitas dan kegiatan kejahatan kriminal lainnya yang dapat menciderai institusi polisi sebagai penegak hukum. Ini dikarenakan saat reformasi 1999, terjadi transformasi politik dari otoritarianisme ke demokrasi sehingga memaksa institusi Kepolisian untuk ikut berubah dengan mengadopsi nilai-nilai demokrasi, juga terjadi perubahan dan perkembangan lingkungan strategis sehingga Polisi dituntut untuk mengubah cara pandang, organisasi, teknis operasional dan lain-lain sejalan dengan perubahan yang terjadi. Pergeseran ini umumnya terjadi melalui apa yang disebut sebagai reformasi polisi. Hal tersebut juga dipertegas dalam UU 2/2002 tentang Polisi Republik Indonesia.  Namun, gendang reformasi polri sering dicedarai oleh ulah oknum polri yang tidak professional dan akuntabel terhadap tugas dan aturan hukum. Kita lihat saja, ulah tidak terpuji yang dipertontonkan oknum anggota Polda NTT yang diduga menembak Lurah Naioni, Melius J. Penun, Kamis (11/3/20100) malam lalu lantaran mangan ilegal yang diduga milik salah seorang pengusaha Naioni yang dikawal Adiberth Adoe seorang anggota Polri pada Polda NTT ditahan oleh warga Kelurahan Naioni (Timex-Sabtu, 13 Maret 2010).

Oknum Polri masih represif dan brutal.
Seturut kronologis dari pemantauan media, sekira pukul 22.15 Wita malam, Lurah Naioni Melius Penun bersama ketua RT 02 pada kelurahan tersebut mendatangi TKP dimana truk yang mengangkut mangan ilegal itu ada ditahan oleh masyarakat. Saat berada disana, lurah pun segera meminta kepada petugas untuk mendata nama para supir truk serta meminta keterangan surat izin berkaitan dengan penambangan mangan. Sialnya, para supir pun balik mengatakan kalau lurah bukan polisi. Adu mulut pun tak dapat terhindari antara petugas dan para supir. Kepada para supir, Lurah Naioni, Melius Penun menyampaikan soal perintah Walikota Kupang melalui Dinas Pertambangan dan Energi Kota Kupang agar parah Lurah meningkatkan pengawasan semua pihak dan meningkatkan pemantauan terhadap aktivitas penambangan dan pengangkutan mangan secara ilegal sambil menunggu regulasi dari UU 4/2009 tentang Minerba. Selesai memberikan penjelasan, seorang bernama Adiberth Adoe, oknum Anggota Polda NTTyang saat itu mengaku sebagai pembeli mangan datang dan mengatakan kalau Lurah dan Warga setempat tidak punya hak menahan mobil dan mangan milik mereka. Adiberth Adoe  kata Melius Penun sempat mengancam kalau mangannya ditahan maka ia akan membuat keributan dan bertindak menggunakan kekerasan. “Kemudian mereka kembali mau tahan saya karena katanya saya yang melanggar aturan menahan mangan mereka. Saat itu ada seorang oknum bernama Anis Kobis ikut mengiyakan agar segera menahan saya,” ungkap Melius Penun. “Lurah bangsat kami tahan kau, segera naik ke mobil untuk ikut ke kantor kami. Lalu dengan cara paksa mereka menarik saya dan membuang saya ke dalam mobil yang sudah terbuka pintunya,”kata korban.Merasa tidak puas, oknum polisi tersebut menariknya di krak baju dan melempar ke dalam mobil. “Saya tidak bisa melawan. Saat berusaha untuk keluar Adiberth Adoe meraih sebuah senjata laras panjang dan mau menembak saya. Untung saja saat itu saya bisa melarikan diri ke bagian belakang mobil hartop dan berusaha lari lagi,”tambah penun. Korban Melius Penun mengaku mendengar satu bunyi tembakan. Pelaku kemudian kembali menembak sekali sebelum melarikan diri menggunakan mobil hartop.

Dari kronologis yang dirilis media, terlihat anggota Polri masih represif dan aktif menggunakan kekerasan yang seyogyanya telah hilang dari cara pandang anggota kepolisian. Padahal dalam UU 2/2002 tentang Polri dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengatur norma-norma tugas dan wewenang anggota kepolisian dalam menegakkan keamanan dan ketertiban, pengayom dan perlindungan bagi masyarakat. Kenyataan ini paradox dengan ulah Adiberth Adoe seorang anggota Polri yang terindikasi melakukan ilegal mining, penganiayaan, pengancaman, penembakan diluar prosedur hukum meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, namun dengan kejadian ini, telah menciderai institusi Polri sebagai institusi penegak hukum yang melanggar hukum.

Dugaan fakta ini mempertontonkan bahwa oknum Polisi di Wilayah Polda NTT masih marak dengan brutalitas oleh anggotanya. Didalam buku saku untuk Polri tentang Pengenalan Prinsip-Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia Bagi Penegak Hukum telah dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas polisi tetap menghormati harkat dan martabat semua manusia maka setiap anggota polisi harus menjaga dan mengasah sanubarinya dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang terkandung dalam Code of Conduct, Tribrata, Catur Prasetya dan Etika Profesi Kepolisian serta mempedomani prinsip-prinsip Dasar Hak Asasi Manusia bagi penegak hukum menurut standar internasional. Disamping menghayati tuntunan moral tersebut, dalam buku saku tersebut juga dijelaskan tentang perpolisian Dalam Negara Demokratis, HAM dan Perpolisian, Harkamtibmas, HAM bagi Kelompok Rentan, Investigasi Pelanggaran HAM oleh Penegak Hukum dan Penanganan serta Pemantauannya. Namun semuanya jauh dari keyataan yang ada, brutalitas Polri makin menjadi-jadi. Kasus ini hanya sebagian kecil saja yang terpantau, padahal brutalitas polri sebenarnya telah seperti gunung es. Namun disesalkan, brutalitas polri tidak pernah menjadi agenda yang menarik dari institusi kepolisian, bahkan dugaan Kapolda melindungi anak buahnya sebagai wujud spirirt de corps makin menggila.

Brutalitas polisi itu bisa disebabkan karena masalah persoalan yang menyangkut mental aparat juga menyangkut sruktural. Masalah personal tidak lepas dari aspek rekrutmen dan basis pendidikan. Sedangkan masalah structural, mencakup persoalan yang bersifat umum sehingga persoalan yang sangat sensitif karena pekerjaan polisi berhubungan langsung dengan soal kebebasan dalam hal penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan terhadap seseorang. Dari sinilah tindakannya sering mengundang persepsi negatif karena merampas kebebasan seseorang, lebih dari itu dimanfaatkan untuk mengamankan kekuasaan.

Ini menunjukan masih ada persoalan yang perlu didudukan untuk mengendalikan polisi dalam penggunaan kekerasan. Selama ini pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepolisian dapat dikatakan sangat lemah. Pengawasan internal yang dilakukan oleh divisi propam polri belum berlangsung secara optimal. Hal ini disebabkan karena ada hambatan dari budaya polisi yang berkisar pada solidaritas (solidarity) dan kerahasiaan (secrecy). Solidaritas polisi mendorong kearah semangat saling melindungi kawan meskipun bersalah. Sedangkan implikasi kerahasiaan, sebagai institusi penegak hukum polisi merasa tabu membuka aib angotanya yang melanggar hukum (terutama pada strata petinggi polisi).

Hadirnya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagaimana diamanatkan pasal 37 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sesungguhnya merupakan angin segar bagi terciptanya mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan tugas-tugas polisi. Jika selama ini polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tanpa kontrol masyarakat secara formal, maka dengan kehadiran Kompolnas seakan masyarakat diberikan ruang untuk mengontrol pelaksanaan tugas polisi. Namun jika dilihat dari tugas dan wewenang yang dirumuskan dalam undang-undang hanya terbatas sebagai pembantu  presiden dalam memberikan saran, menyimpulkan keluhan dan saran dari masyarakat untuk disampaikan kepada presiden. Hal ini sama saja mengaburkan fungsi sebenarnya dari  Kompolnas. Apalagi jika dilihat dari struktur keanggotaan yang mendudukan tiga orang menteri didalamnya, harapan agar komisi ini independen dan mampu mengontrol tugas-tugas polisi secara cermat pupuslah sudah.

Analisis brutalitas polisi ini mendeskripsikan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan polisi setelah pisah dengan TNI sesuai TAP MPR No.VI/2000 dan TAP MPR No.VII/2000 yang mengarahkan polisi sebagai lembaga sipil yang dalam pelaksanaan tugasnya mengutamakan hukum dan ketertiban. Dalam uraiannya dapat dilihat secara mendalam kejadian-kejadian dan korban-korban yang mengganaskan sejalan dengan sejarah kepolisian di Indonesia. Dengan kata lain kekerasan yang mewarnai kinerja polisi bukannya merupakan fenomena yang kasuitis,melainkan sudah menjadi budaya organisasi.

Reformasi kepolisian yang telah berlangsung ±11 tahun nampaknya belum memenuhi sasaran yang diharapkan, banyak hal yang perlu dikaji seperti perlu dibenahi perilaku organisasi, manajemen, profesionalisme, efesiensi, spesialisasi, akuntabilitas, transparansi. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat kondisi sosial rakyat saat ini berada diambang rawan. Dengan kata lain, struktur yang menyimpang dari cita-cita dan tujuan bersama secara potensial bersifat memecah. Ini berarti jika lembaga kepolisian di Indonesia tidak didudukan secara sistemik, maka kontradiksi  antara polisi dengan warga masyarakat akan terus terjadi. Dalam posisi demikian warga masyarakatlah yang selalu menjadi pihak yang kalah.

Polisi masih berbisnis ilegal mining
Dugaan permasalahan yang ada berkaitan dengan ditahannya truk yang mengangkut mangan ilegal milik Adiberth Adoe seorang anggota polisi di polda NTT oleh warga Naioni dan dilaporkan kepada Lurah untuk ditindak lanjuti. Kasus ini mempertontonkan masih adanya anggota yang menciderai institusinya sebagai penegak hukum masih melakukan pengangkutan mangan secara ilegal dan membawa-bawa institusi dalam berbisnis. Ini dapat dilihat dengan diawalnya pengangkutan tersebut menngunakan senjata laras panjang yang pada akhirnya diduga digunakan untuk menembak Lurah naioni, Melius Penun. Kejadian ini mempertontonkan kekuasaan dan otoritas penegak hukum dipakai sebagai alasan untuk melakukan kejahatan criminal ilegal mining. Jika dicontohi kasus tersebut,bukan baru kali pertama bisnis mangan ilegal ini dilakukan tetapi banyak pelaku kepolisian lain yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik. Lihat saja kasus perkelahian Satpol PP Kabupaten TTS dan seorang oknum polisi yang mengaku anggota primkopol Polda NTT yang mangannya ditahan karena tidak memiliki surat-surat secara resmi di bulan Nopember 2009 hingga kini belum terselesaikan.

Sunggh naïf ketika institusi kepolisian hanya menuntut warga sipil biasa untuk tidak melakukan kejahatan criminal seperti penambangan ilegal namun bagi anggotanya yang melakukan tindakan tersebut tidak ditindak dengan tegas. Apabila jika dilakukan oleh rakyat biasa maka akan ditangkap dan dipidana, bahkan proses hukumnya akan cepat selesai dengan ditahannya pelaku dari warga biasa sedangkan jika anggota yang melakukannya tidak. Sugguh aneh penegakan hukum yang ada di republik ini, terkhususnya hukum yang ada di NTT yang dijalankan oleh Polri NTT.

Dalam pemberitaan dimedia lokal juga, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), Herman Herry, mengatakan agar setiap anggota kepolisian tidak untuk berbisnis mangan memakai label korps kepolisian seperti yang dilakukan Primer Koperasi Polisi (Primkopol). Itu baru sebatas larangan bagi institusi secara legal, tetapi ini sangat tidak resmi yang dilakukan oleh salah seorang anggota polda NTT, Adiberth Adoe.

Polri dan Brutalitas Polri (UU 2/2002 dan PerKap 8/2009)
Sempat keluar kata dari Polisi Adiberth Adoe bahwa warga dan lurah tidak memiliki wewenang untuk menahan truk itu. Lurah juga tidak memiliki wewenang dalam melakukan penahanan karena itu tugas polisi. Disini sebernarnya bukan melihat dari apa yang seharusnya dilakukan tetapi etiket baik masyarakat untuk membantu kepolisian. Mungkin saja apa yang dilakukan oleh warga naioni bersama lurah adalah salah satu upaya untuk menjaga ketertiban dan ketentraman warga sekitar apalagi koordinasi itu dilakukan dengan perintah Walikota Kupang untuk mengamankan kekayaan daerah melalui koordinasi bersama Dinas Pertambangan dan Energi Kota Kupang agar parah Lurah meningkatkan pengawasan semua pihak dan meningkatkan pemantauan terhadap aktivitas penambangan dan pengangkutan mangan secara ilegal sambil menunggu regulasi dari UU 4/2009 tentang Minerba. Namun etiket baik dari pemerintah ini tidak dilakoni dan direspon oleh oknum Kepolisian yang seharusnya mendukung tujuan dan menghindarkan dari kejahatan Kriminal lainnya.

Dalam UU Polri No 2 tahun 2002 pasal (2) dijelaskan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kelakuan Adiberth yang diduga melakukan bisnis mangan ilegal telah menciderai konstitusi negara sebagai penegak hukum. Bahkan sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban tidak didukung oleh oknum dari polda tersebut karena masih mengancam Lurah bahkan menembak lurah yang juga adalah warga sipil biasa. Pasal 4 juga menjelaskan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ketika polisi melakukan penembakan kepada oknum lurah maka dengan sendirinya oknum anggota Polda tersebut telah berupaya menghilangkan hak asasi manusia itu sendiri.

Terpenting bagi negara ini adalah sejauh mana penghargaan akan nilai-nilai HAM yang dapat di internalisasi oleh setiap aktor negara sehingga dapat menjamin akan hak setiap warganya. Dalam UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 2 menegaskan Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejateraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Hak-hak dasar itu sesuai pasal 3 berupa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan didepan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau oleh siapapun. Namun kenyataannya ialah Hak-Hak tersebut yang dikebiri oleh aktor negara.

Didalam perkap 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian republik Indonesia pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan, huruf a). penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum, huruf j).  menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan. Ayat (2). Anggota Polri yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib mempertanggung jawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku.

Pasal 40 , dalam melaksanakan tugas pemeliharaan kamtibmas setiap anggota Polri dilarang a). berperilaku arogan, sewenang-wenang atau menyakiti hati rakyat, sehingga menimbulkan antipati atau merugikan rakyat, huruf b). melakukan tindakan kepolisian yang sangat berlebihan, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat ataupun bagi Polri.

Pasal 47 ayat (1), penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia. Ayat (2), senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk a). dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; b). membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; c). membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; d). mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; e). menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan f). menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Pasal 48, setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut : a). petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan proporsionalitas; b). sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara: 1). Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota polri yang sedang bertugas; 2). Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan atau meletakkan senjatanya; dan 3). Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

Pasal 58 ayat (1) setiap anggota Polri wajib memahami aturan tentang HAM, (2) Setiap anggota Polri wajib menerapkan aturan tentang HAM dalam melaksanakan tugasnya; (3). Setiap anggota Polri wajib meningkatkan pemahaman dan kemampuan diri dalam menerapkan aturan tentang HAM didalam pelaksanaan tugasnya.

Akuntabilitas Institusi Polri dalam Reformasi Polri
Akibat kurang optimalnya reformasi Polri dan sering mengesampingkan prinsip-prinsip HAM, hingga kini masih banyak masyarakat kecewa atas tindakan polisi dalam melaksanakan tugas, seperti melakukan kekerasan dan penganiayaan, represif dan lain-lain. Meskipun reformasi namun reformasi Polri dilakukan secara konvensional. Ini ditandai dengan masih belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi dengan trauma reposisi yang membayanginya padahal reformasi polisi didefenisikan sebagai transformasi organisasi kepolisian agar lebih professional dan akuntabel dalam memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Profesional yang dimaksudkan yakni dalam penggunaan pengetahuan dan keahlian dalam tugas kepolisian berdasarkan pendidikan dan latihan yang menghargai prinsip-prinsip HAM, memiliki kode etik sebagai pengabdian dan memiliki seperangkat ajaran yang dijadikan asas untuk memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup organisasi. Sedangkan akuntabilitas ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan atas wewenang yang diberikan. Akuntabilitas itu berupa 1). Answeribility, mengacu pada kewajiban polisi memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan; 2). Enforcement, mengacu pada kemampuan polisi menerapkan sanksi kepada anggotanya apabila mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik; 3). Punishibility, mengacu pada kesediaan polisi untuk menerima sanksi bila mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana. Dengan demikian, tujuan dari reformasi polisi adalah membentuk lembaga kepolisian untuk profesional dan bertanggung jawab atas tiap tindakan yang diambil dan menghormati hak asasi manusia.

Mudah-mudahan reformasi polri guna menghasilkan polri yang professional dan akuntability dapat terlaksana di Indonesia khususnya di NTT. Walaupun kecenderungan agenda akuntabilitas dalam konteks reformasi sektor keamanan semakin hari menjadi semakin penting, meski tantangannya juga masih banyak. Kecenderungan global menunjukkan bahwa agenda akuntabilitas merupakan salah satu elemen terpenting dalam reformasi sektor kepolisian. Mengabaikan agenda akuntabilitas akan membuat reformasi sektor keamanan terjerumus menjadi agenda formalitas belaka. Situasi Indonesia pasca orde baru juga tetap mencerminkan relevansi pertautan antara agenda akuntabilitas dengan reformasi sektor keamanan.

Meski berbagai agenda reformasi terkait penegakan hukum dan HAM sudah berjalan, kemajuan baru sebatas perubahan institusional dan legislasi. Agenda akuntabilitas yang otentik belum terwujud yang ditandai oleh absennya penghukuman bagi para pelaku pelanggaran (brutalitas anggota polri). Minimnya akuntabilitas membuat agenda reformasi kedepan tidak akan berjalan mulus. Peran organisasi masyarakat sipil dalam agenda ini sangat penting mengingat berbagai kerangka legal dan institusional ditingkatan nasional dan internasional cukup mendukung partisipasi aktif mereka.

Kasus-kasus kekerasan dan penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh institusi keamanan masih menjadi trend, meskipun secara institusional seluruh institusi keamanan selalu menyatakan ketundukan pada hukum dan prinsip-prinsip HAM. Belum ada korelasi positif yang signifikan antara perubahan legislasi, kebijakan institusional di lingkungan Polri serta klaim tumbuhnya profesionalisme institusi-institusi keamanan tersebut dengan penurunan angka kekerasan dan pelanggaran HAM. Karenanya aktor-aktor keamanan penting untuk menjelaskan kepada publik atas fenomena ini.

TRANSLATE: