SELAMAT MEMBACA

Thursday 31 March 2016

Makalah Seminar: Konsep Lembaga Negara dan Sidang Tahunan MPR RI (Akuntabilitas dan Transparansi Publik Kinerja Lembaga Negara)




Oleh: DR. Jefri Riwu Kore, MM., MH[1]
Anggota Komisi X DPR RI Periode 2014-2019


Pengantar
Lembaga negara sering disebut dengan istilah badan negara atau organ negara. Jika di Inggris, lembaga negara disebut political institution. Sedangkan di Belanda disebut dengan istilah staat organen. Dalam kamus hukum Andrea Fockema yang diterjemahkan Adiwinata dkk, organ diartikan sebagai alat perlengkapan  atau orang dan/atau majelis yang terdiri dari orang-orang dan berdasarkan undang-undang atau anggaran dasar berwenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan hukum. Sedangkan Refly Harun dkk. (2004) berpandangan bahwa organ atau lembaga negara adalah badan-badan di semua lingkungan pemerintahan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Pandangan ini disesuaikan dengan yang dikemukakan Hans Kelsen (1961) yang mendefenisikan lembaga sebagai organ, artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum.
Sri Soemantri (2004) menjelaskan bahwa konsep diadakannya lembaga negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Artinya, lembaga-lembaga tersebut harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara (actual governmental process).
Berdasarkan kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaran fungsi negara, tentunya masing-masing lembaga/institusi negara harus secara serempak dan menegakkan good governance. Hal ini dapat tercapai jika masing-masing lembaga mampu melaksanakan peran, tugas, dan fungsinya secara bertanggungjawab, efektif dan efisien, bebas dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat atau warga negara. Di Indonesia, peran dan fungsi ini terdistribusi pada 3 (tiga) bagian, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Bintan R. Saragih, 2004). Pendapat ini dipertegas lagi oleh Soemantri (2006:24) bahwa yang dikatakan sebagai lembaga negara adalah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UUD 1945. Oleh karena itu, setelah dilakukan amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), maka lembaga negara tersebut adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
Berdasarkan hasil amandemen keempat UUD NRI 1945, maka lembaga negara di Indonesia terdistribusi secara “horizontal-fungsional” dengan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara (bukan lembaga tertinggi negara) yang sederajat. Hal ini berbeda dengan masa pra-amandemen yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan semua lembaga negara berada di bawah kedudukan MPR.
Sebelum amandemen UUD NRI 1945, bentuk pertanggungjawaban kinerja seluruh lembaga tinggi negara wajib ke MPR dalam mekanisme sidang tahunan MPR. Atas laporan kinerja tersebut, MPR membentuk Ketetapan MPR tentang penerimaan atas laporan Pertanggungjawaban Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Tetapi dalam rentan waktu tahun 1999-2003, sidang tahunan MPR diperlukan terkait dengan proses perubahan UUD NRI 1945 yang disepakati secara bertahap dalam rentan waktu tersebut sebagai satu rangkaian proses perubahan (Gaffar, 2015).
Pasca tahun 2003, Sidang Tahunan MPR RI terjadi kevakuman hingga tahun 2014. Terkait rentan waktu tersebut banyak perdebatan perlu tidaknya Sidang Tahunan MPR RI karena kedudukan MPR RI yang sejajar holizontal tidak lagi vertikal dimana MPR RI dianggap lembata tertinggi negara. Tahun 2015, diselenggarakan Sidang Tahunan MPR RI pertama kali lagi di masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla setelah vakum semenjak tahun 2003. Terhadap ini, Gaffar (2015) menyatakan bahwa Sidang Tahunan MPR RI yang dilakukan merupakan kreasi ketatanegaraan yang diinisiasi oleh MPR RI dengan harapan setiap lembaga tinggi negara yang diberikan mandat oleh konstitusi melalui presiden sebagai kepala negara dapat menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat. Namun Gaffar menekankan bahwa meskipun laporan kinerja dalam bentuk pidato yang disampaikan dalam forum sidang tahunan MPR RI, laporan kinerja tersebut bukan ditujukan kepada MPR RI tetapi kepada pemberi mandat yaitu rakyat. Hal ini diketahui sesuai dengan konstruksi ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 pasca-perubahan yang tidak lagi “vertikal-hirarkis” terhadap MPR RI sebagai lembaga tertinggi, namun terdistribusi secara “horizontal-fungsional”. Demikian pun MPR RI juga akan menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat melalui presiden selaku kepala negara dalam Sidang Tahunan MPR RI yang dilakukan tersebut. Dengan demikian, bentuk laporan kinerja lembaga tinggi negara ini merupakan pandangan dari bentuk horizontal fungsional diantara lembaga negara hasil amandemen UUD NRI 1945.
Tetapi perlu disadari agar tidak terjadi salah tafsir terkait posisi lembaga Megara yang saling berkait dalam mendukung penyelenggaraan negara sehingga perlu ditinjau konsep masing-masing lembaga negara pasca amandemen UUD NRI 1945. Demikian juga keterkaitan fungsi dalam penyelenggaraan negara dan mekanisme pelaporan kinerja kepada rakyat (pemegang kedaulatan tertinggi). Demikian juga, salah satu mekanisme yang dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR RI.
Berdasarkan tinjauan tersebut di atas maka perlu dijelaskan sejauhmana bentuk “akuntabilitas dan transparansi publik kinerja lembaga negara melalui Sidang Tahunan MPR RI”.
Konsep Lembaga Negara
Hans Kelsen dalam bukunya berjudul “General Theory of Law and State” menyebut lembaga negara dengan sebutan organ. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum adalah suatu organ. Organ negara itu tidak selalu berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). Atau dalam naskah aslinya tertulis: “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ. “These functions, be they of a norm creating or of a norm applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”.
Pandangan Kelsen didasarkan pada intepratasinya terhadap parlemen yang menetapkan undang-undang dan rakyat yang memilih wakilnya untuk duduk di parlemen melalui mekanisme pemilihan umum. Kedua mekanisme ini sama-sama sebagai organ negara (konsep luas). Hal ini dapat juga dianalogikan terhadap hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman putusan hakim di lembaga permasyarakatan. Ini juga dikatakan sebagai organ negara. Jadi organ adalah individu yang melaksanakan fungsi tertentu. Kualitas seseorang sebagai organ dibentuk oleh fungsinya. Ia adalah seorang organ karena dan bila dia melakukan fungsi dan membuat atau menerapkan hukum (an organs, in this sense, is an individual fulfilling a specific function. He is an organ because and in so far as he performs a law creating or law applying function).
Faridah T (2012) menyimpulkan pandangan Kelsen dalam arti luas ini menjadi proses yang identik dengan individu yang melaksanakan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara, dan biasanya disebut dengan jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).
Selain pengertian luas di atas, Kelsen mempersempit konsep lembaga/organ negara ditinjau dari konsep material, “seseorang dikatakan sebagai organ negara jika dia secara pribadi menempati kedudukan hukum tertentu”, (He personally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum, seperti halnya perjanjian atau kontrak, merupakan tindakan membuat hukum, seperti halnya keputusan pengadilan (Farida T, 2012:4).
Jimly Asshiddiqie (2004) mempertegas pengertian organ negara ditinjau dari pengertian yang sempit dan pengertian yang luas. Dalam arti sempit jika organ negara itu bercirikan:
1.    Jika organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki jabatan atau fungsi tertentu.
2.    Jika fungsi itu dijalankan sebagai profesi utama atau bahkan secara hukum bersifat ekslusif.
3.    Jika karena fungsinya itu, ia berhak untuk mendapatkan imbalan berupa gaji dari negara.
Sedangkan dalam arti luas dikemukakan bahwa cakupan organ/lembaga negara, terdapat hal-hal yang perlu dijelaskan dan diterangkan dalam defenisi organ negara di Indonesia, yaitu:
1.    Dalam arti luas, (pengertian pertama), yaitu organ negara mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law creating and law applying.
2.    Pengertian kedua, organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang menjalankan fungsi law creating or law applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan.
3.    Pengertian ketiga, organ negara dalam arti lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating dan/atau law-applying dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan.
4.    Pengertian keempat, yang lebih sempit lagi, organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah.
5.    Pengertian kelima, selain empat pengertian yang dikemukakan di atas, untuk memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945.
Dengan demikian Faridah T (2012:5) menyimpulkan bahwa pembicaraan terkait organisasi negara, terdapat dua unsure pokok yang saling berkaitan yaitu organ dan fungsi. Organ adalah bentuk atau wadahnya. Sedangkan fungsi berupa isinya. Atau dalam status bentuknya, di Inggris diistilahkan dengan form, di Jerman diistilahkan dengan vorm. Sedangkan fungsi adalah gerakan wadah itu sesuai dengan maksud pembentukannya. Terkait dengan naskah UUD NRI 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya dan adapula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.
Lembaga Negara Berdasar UUD NRI 1945
Berdasarkan konsep lembaga negara atau organ negara yang dikemukakan Jimly Assiddiqie, Hans Kelsen, dan Farida T maka terdapat beberapa istilah lembaga negara di Indonesia yang dapat disebut dengan lembaga pemerintahan, lembaga non-departemen, atau lembaga negara saja. Pengistilahan tersebut sangat terkait dengan pembentukan lembaga yang dibentuk karena mandat atau amanah dalam UUD NRI 1945, ada pula yang dibentuk karena kekuasaan Undang-Undang, dan bahkan ada yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden. Dengan demikian, hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja bergantung pada derajat pengaturan menurut kekuasaan peraturan perundangan yang berlaku. Artinya, lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD NRI 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah maka tentu lebih rendah lagi tingkatannya (Farida T, 2012:5).
Penyebutan lembaga negara diungkapkan Sri Soemantri (1993), bahwa secara konseptual, tujuan dibentuknya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.  Artinya, lembaga-lembaga tersebut harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau actual governmental process.
Berdasarkan perihal terkait kedudukan lembaga negara berdasarkan tinjauan tingkatan peraturan yang dibentuk baik penyebutan lembaga negara yang ekplisit namanya maupun eksplisit fungsinya, atau pun organ atau lembaga negara yang baik nama maupun fungsinya diatur dengan peraturan yang lebih rendah, maka organ, jabatan maupun lembaga-lembaga yang terdapat dalam konstitusi tersebut dapat ditulis sebagai berikut[2]:
1.    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat.
2.    Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal.
3.    Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”.
4.    Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat(1), (2), dan (3).
5.    Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat [3] yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
6.    Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
7.    Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat  menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya.
8.    Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.
9.    Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2).
10. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1).
11. Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945.
12. Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945.
14. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945.
15. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.
17. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945.
18. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945.
20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
21. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B.
22. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220.
23. Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang.
24. Bank Sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 230, yaitu “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
25. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul “Badan Pemeriksa Keuangan, dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat).
26. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945.
27. Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur kebera-daannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945.
28. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945.
29. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945.
30. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945.
31. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945.
32. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945.
33. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945.
34. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang
Berdasarkan nama-nama lembaga negara yang disebutkan dalam konstusi (kurang lebih 34 lembaga negara) terdapat beberapa diantaranya perlu dibentuk secara Undang-Undang atau tingkatan peraturan yang berada lebih rendah tingkatannya atau kewenangannya belum ditentukan dalam UUD NRI 1945, seperti Pasal 23D dalam konstitusi yang menyebutkan bahwa “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”, dimana memiliki pengertian kewenangan bank sentral itu sendiri masih akan diatur dengan Undang-Undang. Dalam Undang-Undang Bank Sentral tersebut diberi nama Bank Indonesia.
Demikian juga terkait dengan Pasal 24 ayat (3) yang menyebutkan Badan-Badan lain yang menjalankan fungsi kehakiman. Badan-badan tersebut artinya lebih dari satu. Dalam terminologinya, selain Kejaksaan Agung, masih terdapat lembaga lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman atau yang menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga tersebut seperti: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga seperti ini meskipun tidak secara jelas disebutkan dalam UUD NRI 1945 tetapi memiliki constitutional importance (derajat kepentingan konstitusi) atau memiliki kekuatan yang sama dalam sistem tata negara.
Tinjauan badan-badan lain di Pasal 24 juga dapat dikaitkan dengan kedudukan antara Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Dalam UUD NRI 1945 yang ditentukan kewenangannya hanya kepolisian yakni pada Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak dijelaskan. Tidak berarti bahwa Kejaksaan Agung tidak penting dibandikan dengan kepolisian, karena kedua lembaga tersebut memiliki derajat kepentingan yang sama, karena setiap negara yang menganut sistem atau prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang efektif.
Pembedaan Lembaga Negara Dari Segi Fungsi dan Hirarki
Ditinjau dari konsep lembaga negara maka ke 34 lembaga negara yang telah disebutkan di atas, maka organ/lembaga negara tersebut dapat dikategorikan dalam 2 fungsi/sifat, yaitu bersifat utama (primary constitutional organs) dan bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary state organs). Pembedaan diantara lembaga negara yang bersifat utama dengan bersifat penunjang dapat ditinjau dari domain (ranah):
1.    Kekuasaan eksekutif atau pelaksana. Ditinjau dari domain ini, fungsi kekuasaan eksekutif atau pemerintahan ada di presiden dan wakil presiden sebagai kesatuan institusi kepresidenan.
2.    kekuasaan legislatif atau fungsi pengawasan. Ditinjau dari kekuasaan legislatif, maka terdapat 4 (empat) organ atau lembaga yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
3.    Kekuasaan yudisial atau kehakiman. Pada fungsi lembaga negara ini, pada dasarnya terdapat 3 (tiga) lembaga yang melaksanakan kekuasaan yudisial, yakni Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY). Tetapi pelaksanaan fungsi kehakiman hanya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan kekuasaan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Komisi Yudisial yang independen dan berkedudukan di luar dari 2 (dua) lembaga mahkamah. Tetapi bukan berarti kedudukan Komisi Yudisial dianggap sederajat dengan kedua mahkamah tersebut.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya maka lembaga negara yang bersifat primer adalah Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyarawatan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan lembaga negara lain dapat dianggap sebagai lembaga negara penunjang (auxiliary state organs), termasuk Komisi Yudisial. Dasar pikirnya, hubungan KY terhadap MA, merupakan hubungan fungsi penunjang yang menjadi penentu yang pokok. Meskipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY tetap dipandang tidak sederajat dengan MA sebagai lembaga (tinggi) negara. Dasar pikir ini dapat juga disebut pada kedudukan Komisi Pengawas Kejaksaan yang tidak dapat disederjatkan dengan Kejaksaan Agung maupun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terhadap Polri.
Oleh karena itu, ditinjau dari segi fungsi maka yang disebut lembaga tinggi negara adalah yang mencerminkan kekuasaan utama di eksekutif, legislatif, dan yudisial (Assidiqqie, 2003). Farida T (2012:15-16) mempertegas dengan penjelasan bahwa lembaga-lembaga negara seperti Komisi Yudisial (KY), TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan Pertimbangan  Presiden,  dan  lain-lain,  meskipun  sama-sama  ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR, MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat auxiliary  atau  memang  berada  dalam  satu  ranah  cabang  kekuasaan. Misalnya,  untuk  menentukan  apakah  KY  sederajat  dengan  MA  dan  MK, maka kriteria yang dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti halnya  kewenangan  MA  dan  MK  ditentukan  dalam  UUD  1945.  Karena, kewenangan TNI dan POLRI juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI dan POLRI dapat disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan di atas. TNI  dan  POLRI  tetap  tidak  dapat  disejajarkan  strukturnya  dengan presiden  dan  wakil  presiden,  meskipun  kewenangan  TNI  dan  POLRI ditentukan tegas dalam UUD 1945. Demikian pula,  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia  (KPI),  Komisi  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  (KPK), dan  sebagainya,  meskipun  kewenangannya  dan  ketentuan  mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi kedudukannya tidak dapat  dikatakan  berada  di  bawah  POLRI  dan  TNI  hanya  karena kewenangan  kedua  lembaga  terakhir  ini  diatur  dalam  UUD  1945. Kejaksaan  Agung  dan  Bank  Indonesia  sebagai  bank  sentral  juga  tidak ditentukan  kewenangannya dalam UUD, melainkan hanya ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada TNI dan POLRI. Oleh sebab itu,  sumber  normatif  kewenangan  lembaga -lembaga  tersebut  tidak otomatis  menentukan  status  hukumnya  dalam  hirarkis  susunan  antara lembaga negara.
Jika ditinjau dari segi hirarkinya, Farida T (2012) menggolongkannya atas 3 (tiga) lapis, yaitu organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara; organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja; dan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Tetapi perlu diingat bahwa penyebutan lembaga tinggi negara pada organ lapis pertama hanya dimaksudkan untuk memudahkan pengertian saja, karena saat ini tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi negara.
Organ/lembaga negara lapis pertama dalam pembedaan pengertian lembaga tinggi negara seperti Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan organ lapis kedua atau dalam pembedaan pengertian disebut lembaga negara, ada yang mendapat kewenangan dari UUD NRI 1945 Lembaga ini seperti Menteri Negara, Komisi Yudisial (KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Bank Sentral. Namun perlu dijelaskan terkait dengan kedudukan KPU dan Bank Sentral bahwa dalam Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945 berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Sedangkan ayat (6) berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa nama resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh undang-undang. Undang-Undang dapat saja memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya (Farida T, 2012:12-13). Sama hal juga terkait kedudukan dan kewenangan bank sentral yang tidak tercantum eksplisit dalam UUD NRI 1945. Dalam Pasal 23D UUD NRI 1945 dinyatakan, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu Bank Indonesia, maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-undang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan UU (Farida T, 2012:13).
Selain lembaga negara yang kewenangannya disebut dalam UUD NRI 1945, terdapat juga yang kewenangannya dari produk Undang-Undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Penyiaran Indoensia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil Kedokteran Indonesia, dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa terkait kedudukan lembaga negara yang kewenangannya ditulis dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang memiliki kesebandingan yang satu terhadap yang lain, meskipun kedudukannya tidak lebih  tinggi tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang sehingga tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang-undang (Farida, 2012). Tetapi terdapat juga lembaga negara (organ konstitusi) yang sumber kewenangannya berasal dari produk hukum di bawah Undang-Undang, misalnya Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres). Kedudukan lembaga ini hanya berdasarkan prerogatif kebijakan Presiden (presidential policy or beleid president). Artinya, jika presiden ingin membubarkan lembaga tersebut maka dapat dilakukan.
Sedangkan untuk organ lapis ketiga atau lembaga daerah juga menganut prinsip adanya organ negara atau organ jabatan yang merupakan lembaga negara yang ada di daerah. Lembaga daerah ini diatur dalam BAB VI UUD NRI 1945 tentang Pemerintah Daerah yanda dapat terdiri atas: Pemerintah Daerah Provinsi (Gubernur dan DPRD Provinsi), Pemerintah Daerah Kabupaten (Bupati dan DPRD Kabupaten), Pemerintah Kota (Walikota dan DPRD Kota). Jimly Assiddiqie (2003) juga menjelaskan bahwa dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945 terdapat ketentuan adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Keberadaan satuan pemerintahan ini dinyatakan diakui dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh undang-undang dasar sehingga keberadaannya sangat kuat konstitusional.
Hubungan antar Lembaga Negara
Pascaamandemen UUD NRI 1945, hubungan diantara lembaga negara pun menjadi berubah. MPR RI sebelum amandemen memiliki otoritas sebagai lembaga tertinggi negara, namun pascaamandemen disejajarkan dengan lembaga negara lainnya. Hal ini akhirnya menciptakan perubahan paradigm hukum dan ketatanegaraan. Perubahan ini pun menjadi prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara diantaranya supremasi konstitusi, sistem parlementer menjadi sistem presidensil, pemisahan kekuasaan, dan checks and balances.
Ditinjau dari supremasi konstitusi, perbahan mendasar dalam UUD NRI 1945 pascaamandemen dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Artinya, kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya dilakukan oleh MPR RI, namun dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR RI tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dibandingkan terhadap lembaga negara yang lain. Demikian juga, pascaamandemen tidak lagi dikenal konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, tetapi merupakan organ konstitusional yang kedudukannya tidak lagi hierarkis di bawah MPR RI namun menjadi sejajar dan saling terkoordinasi dalam kewenangan masing-masing sesuai UUD NRI 1945.
Ditinjau dari sistem presidensil, Sudirman (2014) menyatakan bahwa pascaamandemen UUD NRI 1945 memberi konsekuensi tidak ada pemangku kekuaran kedaulatan rakyat tertinggi, artinya tidak lagi mengakui supremasi MPR RI tetapi mengakui supremasi Undang-Undang Dasar. Seluruh lembaga negara termasuk MPR/DPR berada dalam posisi yang sejajar, yakni berkedudukan sebagai lembaga negara. Dengan demikian, pascaamandemen UUD NRI 1945 maka doktrin bernegara adalah separation of power (lembaga tinggi negara sederajat, saling mengimbangi, dan saling kontrol) sehingga mencirikan sistem pemerintahan presidensil.
Berdasarkan sudut pandang dalam pemisahan kekuasaan maka sebelum amandemen UUD NRI 1945, sistem kelembagaan yang dianut adalah distribution of power (pembagian kekuasaan). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi selaku eksekutif dan juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama DPR RI sebagai co-legilastory. Sedangkan kekuasaan yudikatif sebelum amandem dilakukan oleh Mahkamah Agung. Namun setelah amandemen UUD NRI 1945, proses pembentukan Undang-Undang menjadi kewenangan DPR dengan persetujuan Presiden. Tetapi kekuasaan utama membentuk Undang-Undang adalah DPR RI. Fungsi presiden menjadi co-legislator sama seperti DPD untuk materi undang-undang tertentu bukan sebagai legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Dalam konteks dilakukan check and balances diantara lembaga negara dimaksudkan untuk mengimbangi separation of power agar tidak terjadi abuse of power oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antar lembaga. Dengan demikian, dalam melakukan kewenangan lembaga negara selalu ada peran lembaga lain. Misalnya hubungan kekuasaan diantara eksekutif yang dilakukan oleh presiden terhadap kekuasaan legislatif yang dimiliki DPR (termasuk DPD sebagai co-legislator), dengan kekuasaan yudikatif yang terdapat di MA dan MK. Separation of power dalam checks and balances sangay tampak dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang, dimana telah ditentukan kekuasaan pembuat undang-undang adalah DPR namun wajib membutuhkan kerjasama dengan co-legislator (presiden dan DPD[4]). Bahkan jika telah terdapat ketentuan persetujuan dan disahkan bersama antara DPR dan Presiden, dapat dibatalkan oleh MK jika ketentuan perundangan tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. Di samping itu, dalam kewenangan DPR pun disebutkan pengawasan legislatif terhadap rencana implementasi program dan kekuasaan pemerintah termasuk pengalokasian anggarannya seperti terdapat dalam Pasal 20A UUD NRI 1945. Tetapi di sisi lain, Jimly Assidiqqie menjelaskan bahwa DPR tidak dapat meng-impeachment (menjatuhkan) Presiden dan Wakil Presiden kecuali karena pelanggaran hukum. Itu pun harus melalui mekanisme yang panjang dan memenuhi kriteria tertentu.
Sidang Tahunan MPR RI
Sidang Tahunan MPR muncul dalam praktik ketatanegaraan Indonesia sejak awal masa reformasi dimana pertama kali dilakukan berdasarkan pada Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR Tahun 1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI. Pengertian ini menjadi lebih berbeda dibandingkan sebelum masa reformasi (sebelum amandemen UUD NRI 1945 yang pertama) dimana presiden harus memberikan laporan kinerjanya sebagai mandataris MPR. Oleh karena itu, Presiden harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada MPR di akhir masa jabatannya. Tetapi di awal masa reformasi, muncul pemahaman baru bahwa kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan kekuasaan lembaga tinggi negara lain berasal dari MPR, maka semua lembaga tinggi negara, bukan hanya presiden, adalah mandataris MPR. Semua lembaga tinggi negara itu harus memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang dijalankan kepada MPR. Maka pada awal reformasi tersebut dibentuklah mekanisme Sidang Tahunan MPR mulai tahun 1999 sampai tahun 2003, dimana setiap lembaga tinggi negara menyampaikan laporan kinerjanya kepada MPR.
Terkait laporan pertanggungjawaban lembaga negara tersebut maka MPR membentuk Ketetapan MPR RI tentang Penerimaan Atas Laporan Pertanggungjawaban Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Selain itu, pada masa tersebut, Sidang Tahunan MPR RI sangat diperlukan terkait dengan proses amandemen UUD NRI 1945 yang dimulai tahun 1999. Sidang Tahunan MPR ini juga merupakan bentuk kesepakatan awal dimana sidang tahunan tersebut dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sebagai suatu rangkaian perubahan.
Sidang Tahunan MPR RI terakhir kali dilakukan tahun 2003 saat amandemen UUD NRI 1945 keempat. Sidang Tahunan MPR RI merupakan bentuk kreasi ketatanegaraan yang diinisiasi oleh MPR RI dengan harapan setiap lembaga tinggi negara yang diberikan mandat oleh konstitusi melalui presiden sebagai kepala negara dapat menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat. Meskipun pidato disampaikan dalam forum Sidang Tahunan MPR, laporan kinerja presiden tidak ditujukan kepada MPR namun kepada rakyat. Ini disebabkan karena kedudukan MPR RI pascaamandemen UUD NRI 1945 adalah sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain (baca UU MD3 Tahun 2014). Artinya, pascaamandemen UUD 1945 terjadi pergeseran sistem ketatanegaraan dan penguatan check and balances yang optimal antar cabang kekuasaan negara dalam bingkai mengimbangi dan mengawasi. Demikian juga, lembaga negara lain seperti DPR dan MPR melaporkan kinerjanya dalam sidang tahunan tersebut. filosofinya, rakyat yang akan menilai sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Sidang Tahunan MPR RI tidak dapat dimaknai sebagai laporan kinerja pemerintah sebagai mandataris MPR karena sesuai dengan konstruksi ketatanegaraan berdasarkan UUD NRI 1945 pascaamandemen telah bergeser dari “vertikal-hirarkis” menjadi “horizontal-fungsional”. Artinya kedudukan lembaga tinggi negara sederajat, karena MPR RI pun akan menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat melalui presiden sebagai kepala negara dalam sidang tahunan tersebut.
Dengan demikian, Sidang Tahunan MPR RI pascaamandemen UUD 1945 bukan merupakan wadah atau media pertanggungjawaban lembaga-lembaga tinggi negara terhadap MPR RI melainkan sebagai forum formal ketatanegaraan yang terjadi karena lembaga-lembaga tinggi negara melalui presiden selaku kepala negara menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Perbedaan mendasar Sidang Tahunan MPR RI masa awal reformasi dan saat ini harus dipahami sebagai konsekuensi hukum ketatanegaraan yang juga berbeda. Hal tersebut dapat dimaknai dalam beberapa dasar pemahaman sebagai berikut:
1.    Sidang Tahunan MPR RI merupakan forum formal penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga tinggi negara kepada rakyat bukan berarti terdapat unsur vertikal hirarkis namun karena bentuk check and balances diantara lembaga negara. Dalam forum ini masing-masing lembaga tinggi negara memberikan capaian dan bentuk eksistensi kinerja sebagai media formal prosedural bagi transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga tinggi negara.  Konsekuensi wujud pertanggungjawaban adalah kepada rakyat.
2.    Sidang Tahunan MPR RI tidak terdapat mekanisme rapat dalam artian menilai dan memutuskan terkait laporan kinerja lembaga tinggi negara yang akan disampaikan presiden selaku kepala negara. Forum ini pun tidak terdapat mekanismme pertanyaan, interupsi bahkan penilaian sepihak dari anggota MPR RI. hal ini untuk menjaga eksistensi Sidang Tahunan MPR tidak mengubah konstruksi kelembagaan negara yang artinya sama dengan mengubah UUD NRI 1945.
3.    Sidang Tahunan MPR RI dimaknai sebagai konvensi ketatanegaraan pascaamandemen dimana Sidang Tahunan MPR didayagunakan untuk bagi kenrja lembaga-lembaga tinggi negara dan sekaligus peningkatan kualitas demokrasi melalui transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik.
4.    Memahami Sidang Tahunan MPR RI sangat bergantung pada substansi pidato laporan kinerja sebagai bentuk penyampaian kinerja dan permasalahan serta tantangan yang dihadapi oleh setiap lembaga tinggi negara. Demikian juga, substansi laporan kinerja ini perlu mendapat perhatian serius dari peran media massa secara aktif untuk menyampaikan sampai ke rakyat sehingga dapat diketahui dan dipahami secara praktis dan kritis oleh masyarakat.
5.    Dalam Sidang Tahunan MPR RI, esensinya merupakan kemanfaatan lembaga negara dalam mencermati dan menyerap aspirasi umpan balik kritis dari masyarakat. Oleh karena itu, Sidang Tahunan MPR ini dapat dijadikan sebagai alat untuk menjawab semua tuntutan penilaian dari publik terkait kinerja-nya. Di sisi lain, lembaga negara harus terus berkoordinasi dengan media massa untuk menyampaikan penilaian publik terhadap kinerja lembaga negara. Perihal ini dapat terjawab jika media massa memberi ruang terhadap respon masyarakat yang kritis.
Hanya dengan demikian maka forum sidang tahunan yang diselenggarakan dapat benar-benar memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia sekaligus menjadi dasar untuk melaksanakan Sidang Tahunan MPR sebagai konvensi ketatanegaraan di tahun-tahun selanjutnya. Artinya, peningkatan kualitas demokrasi akan memperkokoh juga prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang baik dan bersih (good governance and clean governance), yang mencakup:
1.    Asas Kepastian Hukum, dimana asas ini dalam bingkai negara hukum, lembaga negara harus mengutamakan peraturan perundang-undangan, kepatutuan, dan keadilan dalam setiap penyelenggara negara.
2.    Asas Tertib Penyelenggara Negara, dimana pada asas ini menjadi landasan lembaga negara dalam keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
3.    Asas Kepentingan Umum, dimana asas ini diwajibkan agar lembaga negara mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4.    Asas Keterbukaan, dimana asas ini mendorong agar lembaga negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asas pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5.    Asas Proporsionalitas, dimana dalam asas ini ditekankan agar lembaga negara mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6.    Asas Profesionalitas, dimana asas ini menekankan agar lembaga negara mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.    Asas Akuntabilitas, dimana lembaga dituntut untuk melakukan asas ini pada setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Diharapkan Sidang Tahunan MPR RI dapat menjadi penunjang dalam mendorong strategis good governance melalui pelaporan kinerja dalam forum formal yang dibacakan dan disampaikan ke publik melalui rangkaian kegiatan tahunan di MPR RI. Melalui mekanisme Sidang Tahunan MPR RI, sekiranya masyarakat dapat memonitor penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tinggi negara. Masyarakat juga dapat mengetahui perkembangan sejauhmana kinerja lembaga negara dalam hal:
1.    Pemberantasan KKN. Sejauhmana upaya lembaga negara dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai prasyarat penerapan good governance. Karena untuk mewujudkan clean governance perlu adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa dalam upaya memberantas KKN. Tidak cukup hanya dengan komitmen saja, diperlukan juga upaya nyata yang sungguh-sungguh melalui pencegahan, penganggulangan, dan pemberantasannya yang terakomodir dalam tindakan preventif dan kuratif yang dilakukan intensif dan kontinue.
2.    Reformasi birokrasi/administrasi publik. Melalui mekanisme Sidang Tahunan MPR RI, publik dapat mengetahui sejauh mana perkembagan dan instensitas reformasi birokrasi dalam bingkai lembaga negara untuk menciptakan good governance. Diharapkan dengan pelaporan kinerja yang dilakukan dalam sidang tahunan, rakyat dapat menilai manajemen efisiensi dan efektivitas lembaga negara dalam penggunaan sumber-sumber daya, kemitraan diantara lembaga negara dalam meningkatkan pelayanan publik, desentralisasi dan penggunaan teknologi informasi.
3.    Penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu fungsi lembaga negara dalam penyebaran kekuasaan, adalah kemitraan dalam memahami kebutuhan pengaturan kehidupan bermasyarakat. Adanya sidang tahunan dapat menjadi lokus dalam pemahaman sinergitas diantara lembaga negara. Hal ini juga akan memperjelas kejelasan fungsi dan peran setiap lembaga negara. Peristiwa ini dapat tampak dari hubungan diantara lembaga tinggi negara.
4.    Peningkatan kapasitas dan kapabilitas. Sidang Tahunan MPR RI dapat menjadi wadah penilaian rakyat terkait dengan metode menilai terhadap aktor-aktor lembaga negara. Laporan kinerja atau pertanggungjawaban lembaga negara dalam sidang tahunan di MPR RI dapat menjadi referensi untuk menempatkan orang dalam lembaga tinggi negara. Mekanisme ini dapat dilakukan rakyat pada saat periode pemilihan umum maupun presiden pada periode selanjutnya. Ini menyangkut “the right man on the right place” menjadi pertimbangan utama dalam menempatkan orang-orang yang tepat pada setiap proses demokrasi untuk menjamin legislatif dan eksekutif dapat menghasilkan kinerja yang optimal.
5.    Peningkatan akuntabilitas dan transparansi. Setiap lembaga negara dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap amanah yang didapatkannya dari pemegang kedaulatan. Untuk dapat melakukan tugas yang akuntabel maka lembaga negara tentunya memiliki rencana stategis dan rencana operasional tahunan, mengembangkan pola-pola pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas atau kinerja yang transparan.
Penutup
Sebagai konvensi ketatanegaraan pasca amandemen UUD NRI 1945, tentu Sidang Tahunan MPR harus didayagunakan bagi kinerja lembaga-lembaga tinggi negara dan sekaligus peningkatan kualitas demokrasi melalui transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik.
Sidang Tahunan MPR pasca amandemen UUD 1945 bukan merupakan forum pertanggungjawaban lembaga-lembaga tinggi negara terhadap MPR, melainkan sebagai media formal ketatanegaraan di mana lembaga-lembaga tinggi negara melalui presiden selaku kepala negara menyampaikan laporan kinerjanya kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Perbedaan mendasar ini membawa konsekuensi hukum ketatanegaraan yang juga berbeda.
Sidang Tahunan MPR adalah semata-mata forum formal untuk penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga tinggi negara sebagai wujud pertanggungjawaban kepada rakyat. Sidang Tahunan MPR memberikan media formal prosedural bagi transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga tinggi negara.
Sidang Tahunan MPR ini tidak akan mengambil keputusan terkait laporan kinerja lembaga-lembaga tinggi negara yang akan disampaikan oleh presiden selaku kepala negara maupun lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
 
Referensi
Faridah T. 2012. Kedudukan Lembaga Negara di Indonesia Pasca Amandemen UUD Negara Tahun 1945. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan. Makasar.
Fitrianis, F. 2011. Bank Indonesia Sebagai Bagian Dari Hukum Tata Negara. (https://farahfitriani.wordpress.com/). Akses 20 September 2015.
Gaffar, J. M. 2015. Sidang Tahunan MPR RI 2015. Opini. Sindo News. 7 Agustus 2015.
Kelsen, H. 1961. General Theory of Law and State. Russell & Russel. New York.
Asshiddiqie, J. 2003.  Struktur  Ketatanegaraan  Indonesia  Setelah Perubahan  Keempat  UUD  Tahun  1945,  Makalah  disampaikan dalam  Simposium  yang  dilakukan  oleh  Badan  Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM.
Soemantri, S. 2004. Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945. Proceeding Diskusi Publik. Komisi Hukum Nasional. KRHNN. Jakarta, 9 September.
Undang-Undang Dasar 1945.



[1] Makalah ini disampaikan pada kegiatan Seminar Provinsi Anggota MPR RI berkerjasama dengan Universitas Nusa Cendana Kupang pada Selasa, 22 September 2015.
[3] Sebuah tiga serangkai (dari bahasa Latin, triumvirātus, dari Tres tiga + vir manusia) adalah rezim politik yang didominasi oleh tiga orang yang kuat, masing-masing triumvir sebuah (pl. Triumvirs atau triumviri). Pengaturan ini dapat formal atau informal, dan meskipun tiga biasanya sama di atas kertas, dalam kenyataannya hal ini jarang terjadi. Istilah ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan sebuah negara dengan tiga pemimpin militer yang berbeda yang semua mengklaim menjadi pemimpin tunggal (http://wikipedia.com/).
[4] Dalam rancangan undang-undang tertentu.

TRANSLATE: