SELAMAT MEMBACA

Tuesday, 26 April 2016

PEMERINTAH DAERAH JANGAN PERMAINKAN NASIB GURU SOAL TUNJANGAN

Jefri Riwu Kore 
DR. Jefirstson Richset Riwu Kore, MM., MH

Zonalinenenws- Jakarta,  AnggotaKomisi X DPR RI Jefri Riwu Kore mengatakan jika ada oknum yang bermain untuk menghambat pencairan dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) segera infokan ke dirinya untuk dilaporkan ke Kemendikbud jika terkait dengan administrasi dan ke pihak kepolisian jika sudah menyangkut kriminal. Hal ini dijelaskan Jefri kepada wartawan di ruangkerjanya Nusantara I Gedung DPR RI pada Senin, 25 April 2016.

“Sesuai info yang diterimanya dari Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Sumarna Surapranata bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan anggaran untuk tunjangan profesi guru (TPG) sejak Maret 2016. Dana tersebut telah ditransfer langsung ke rekening masing-masing para guru. Jadi seharusnya sudah tidak ada masalah lagi”, jelas politisi Partai Demokrat ini.

Menurutnya, sistem transfer langsunguntuk guru yang PNS pusat. Sedangkanbagi guru PNS daerah, dana telah dialokasikan kepemerintahan daerah (Pemda).

Namun Jefri masih mendapat informasi  terdapat Pemrintah Daerah (Pemda) yang belum memberikan TPG  tersebut padahal khusus guru PNS daerah secara otomatis dana TPG  telah ditransfer kedaerah”, ungkap Calon Walikota Kupang Periode 2017-2022 ini.

Sebelumnya Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Sumarna Surapranata saat Raker bersama di DPR RI mengaku sudah sejak Maret lalu dana TPG ditransfer kedaerah. Oleh karena itu, Pranata mengimbau, jika ada kecurangan dan guru memiliki bukti akan apa yang dilakukan oleh dinas, segera laporkan saja kepada pihak yang berwajib agar bias diproses”,tutup Pranata.

Pranata menyebutkan, para guru yang berhak mendapat TPG adalahpara guru yang memenuhi syarat penerima TPG sesuaiUndang –Undang Guru danDosen. Bagi yang tidak memenuhi tidak berhak mendapat TPG. Ada pun persyaratannya mulai dari jumlah jam mengajar harus 24 jam seminggu.

Selanjutnya, bagi guru yang belum memenuhi TPG, biasanya dapat melengkapi pada semester berikutnya. Misalkan pada semester satu belum sesuai, maka semester depan dapat disesuaikan jam mengajarnya agar dapatmenerima TPG. Pasalnya, setiap semester guru memiliki bebanmengajar yang berbeda-beda.

Sementaraitu, untuk guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang pada kurikulum 2013 (K-13) tidak dijadikanlagi pelajaran, menurut Pranata, telah ada peraturan yang tidak merugikan guru, termasuk dalam penerimaan TPG. Para guru tersebut dalam menggenapi jam mengajarnya dengan menjadi pembina.

“Para guru TIK dapat membina siswa sebanyak 150 orang itu sudah mencapai jam mengajar yang ditentukan oleh Undang- Undang,” kata dia. (*adi)

PEMERINTAH DAN PEMDA WAJIB CEGAH DARURAT PORNOGRAFI DIKALANGAN ANAK-ANAK

Jefri Riwu Kore
DR. Jefri Riwu Kore/Anggota Komisi X DPR RI

Zonalinenenws- Jakarta., JefriRiwuKore anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat dihubungi Senin 25 April 2015 menyebut Indonesia dapat dikatakan sedang darurat pornografi khususnya dikalangan usia anak-anak.

Jeriko menjelaskan berdasarkan fakta yang  didapat dari kepolisian bahwa sekitar 25 ribuanak-anak di Indonesia sering mengakses dan menonton fitur-fitur berbau pornografi. Untuk itu tanggungjawab terhadap perilaku anak selain didapat dari lingkungan keluarga, pemerintah juga wajib bertanggungjawab.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melalui pendidikan moral maupun keagamaan. “ini perlu sinergitas seluruh pihak baik keluarga, masyarakat dan pemerintah”, ujarnya.

Menurutnya, dalam Undang-Undang Pornografi khususnya Pasal 17  mengatakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi

“Selain itu, upaya seperti pemblokiran dan sosialisasi internet sehat dan aman yang berkerjasama dengan beberapa lembaga maupun stakeholder yang peduliakan bahaya pornografi perlu digiatkan lagi, selain dari sector edukasi”, Kata Jeriko.

Berdasarkan data kepolisian yang disebutkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembi sesaat membuka diskusi musikal, stop kekerasan terhadap anak di Art Center, Denpasar, Bali, Minggu 24 April 2016, sebanyak 25 ribuanak di Indonesia menonton film porno pornografi.

Yohana menjelaskan saat ini teknologi sudah maju dan sudah ada perangkat yang bias mendeteksi siapa saja yang mengakses konten berbau porno.“Jika setiap hari ada 25 ribu anak, bayangkan saja jadi berapa anak yang melihat film pornografi jika dalam 350 hari”, ungkapnya.

Kondisi tersebut membuat Menteri Yohana prihatin dan khawatir masa depan anak-anak nantinya.
“Indonesia sekarang ini bermasalah, bias bayangkan masa depan Indonesia nanti bagaimana,” ujarnya.

Dia mengimbau kepada para orang tua untuk lebih memperhatikan perilaku anak-anaknya .” Jangan sampai nanti ketikadewasa akan menjadi predator,” ujarnya. (*adi)

Friday, 1 April 2016

OPINI BLOGGER: RAKYAT BUTUH BUKTI, BUKAN JANJI




Fellyanus Haba Ora/Kepala Biro PAUD & DIKMAS DPP PD




Nawa Cita Presiden Joko WIdodo dalam butir yang berbunyi “Kami akan memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, berkomitmen dalam penegakan hukum” menjadi spirit publik untuk berasa terhadap kepemimpinan Presiden “blusukan” dalam memimpin bangsa ini, yang profeisonal, mandiri/independen, akuntabilitas, dan bersandar pada amanat undang-undang (hukum).

Komitmen good governance dan clean governance juga tertuang dalam tagline “revolusi mental” semasa Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Nawa Cita dan Revolusi Mental menjadi harapan baru ketika ide blusukan terhadap paradigma dan realitas warga sering dilakukan oleh Joko Widodo.

Berbagai penelitian dan opini publik menyatakan bahwa darurat masalah penegakan hukum paling tertinggi terjadi di Kepolisian, mulai yang dilakukan oleh aparatur hukum terbawah sampai aparatur perwira tinggi. Semakin tinggi jabatan maka semakin tinggi indikasi perilaku korup. Butuh komitmen tersendiri dari pemimpin bangsa untuk mampu menyelesaikan masalah yang telah akut dan tersistematis.
Tetapi komitmen dalam Nawa Cita dan Revolusi Mental yang diprioritaskan dalam masa kepemimpinan Jokowi sedang diuji saat anggapan publik menyayangkan adanya upaya tersistematis untuk melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Komjen Budi Gunawan ditetapkan statusnya oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus pemilikan aliran dana ke rekening yang diduga hasil gratifikasi ataupun dugaan korupsi. Tetapi anehnya, sampai kini Presiden Jokowi belum berani untuk mempertegas kewibawaan dan janji yang pernah diucapkan untuk memimpin bangsa ini dengan jiwa satria dan spirit komitmen yang tidak diragukan.

Sebenarnya nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG) bukanlah sesuatu nama yang baru bagi Presiden Jokowi. Ini dikarenakan nama Komjen Budi Gunawan merupakan salah satu nama yang telah terinventarisir dalam calon-calon menteri dalam Kabinet Indonesia Hebat yang diberikan kepada KPK untuk diteliti track record-nya. Selain itu, asumsi menjelaskan bahwa Komjen BG merupakan pemikir dalam pemenangan Jokowi sebagai Presiden RI. Hasil ketelitian KPK telah diikuti Presiden Jokowi untuk tidak melantik calon-calon Menteri yang telah ditandai warna oleh KPK, dimana bagi nama-nama yang ditandai dengan warna merah dan kuning merupakan nama-nama yang akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi atau pun nama-nama yang sedang dalam pengumpulan alat bukti sebagai subjek tersangka.

Nama Komjen Budi Gunawan adalah salah satu nama yang telah disinyalkan oleh KPK sebagai calon tersangka korupsi. Komjen BG-pun tidak dimasukkan dalam kabinet Indonesia Hebat. Rakyat ancungi jempol saat dibacakan nama-nama Menteri di Istana Negara, tidak terdapat nama-nama yang telah disinyalkan oleh KPK. Tetapi lain halnya ketika Presiden ajukan nama Komjen BG ke DPR RI untuk dilakukan feed and proper test sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Kapolri Sutarman.

Kisruh-pun mulai memanas ketika adanya dugaan mengkriminalisasikan empat pimpinan KPK sebagai tersangka oleh Polri sehingga memunculkan cerita lama “KPK vs Polri atau tenar CICAK vs BUAYA”. Anggapan publik pun mulai melemah terhadap Presiden Jokowi yang sampai saat ini masih dianggap terbelenggu dengan kepentingan Politik partai pendukung dan kepentingan dalam internal istana sendiri. Bahkan dibeberapa media sosial telah disebar gambar-gambar dan foto-foto yang diedit oleh pihak tidak bertanggungjawab yang mengilustrasikan bahwa yang Presiden dan Wakil Presiden adalah Megawati Soekarno Putri dan Surya Paloh, bukan Joko Widodo.

Kompas (8/2/2015) memberitakan bahwa telah ada sinyal kebosanan rakyat terhadap Presiden Jokowi dalam memimpin bangsa ini. “Taufik mengisahkan, pada sebuah perjalanan dirinya mampir di sebuah warung makan. Begitu siaran televisi menayangkan berita tentang konflik berkepanjangan antara Polri dan KPK, pemilik warung mengubah siaran, ini merupakan sinyal kebosanan rakyat terhadap Jokowi”. Rakyat menduga bahwa ada kekuatan besar dibalik kepemimpinan Presiden Jokowi sehingga tidak mampu untuk memutuskan nilai-nilai kebenaran yang krusial bagi keberlangsungan negara ini. Dugaan rakyat cenderung pada kekuatan PDIP, karena Komjen BG disinyalir memiliki afiliasi yang kuat terhadap pembesar-pembesar partai PDIP. Asumsi ini juga diartikan dari wawancara Kompas kepada politisi PDIP Masinton Pasaribu, yang mengatakan bahwa “…Jokowi itu bukan anak tiri di partai. Dia kader utama dengan tempat yang sangat terhormat. Jangan jauhkan pula dari Ibu Mega (Ketua Umum Megawati Soekarno Putri),…; Masinton yakin Presiden orang baik, tetapi orang disekelilingnya juga harus punya semangat yang sama”. Ungkapan Masinton ini merupakan ungkapan keragu-raguan antara Presiden yang baik, Tetapi orang sekelilingnya juga harus baik. Adakah makna yang mengartikan bahwa Presiden saat ini dilingkupi proyeksi kepentingan tertentu, sehingga belum mampu untuk tegas.

Saya masih mengingat saat pernyataan Jokowi terhadap Prabowo Subianto ketika acara debat calon Presiden RI yang digelar KPU dan disiarkan secara terbuka umum oleh stasiun-stasiun televise nasional. “Jangan kira kalo saya tidak bisa tegas”, ungkap Jokowi terhadap Prabowo. Tetapi kenyataannya kini apakah Presiden Jokowi adalah orang yang tegas? Pertanyaan ini harus mampu dijawab oleh Presiden Jokowi, “Beri Bukti, Bukan Janji”.

Saat ini rakyat telah bosan akan kepemimpinan janji. Presiden memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga bangsa ini semakin sejahtera dan terbebas dari mereka yang koruptor. Kemelut kisruh antara KPK dan Polri tidak terjadi hanya pada kepemimpinan Jokowi-JK tetapi telah terjadi juga pada masa kepemimpinan Presiden SBY. Tetapi kepemimpinan SBY mampu mempertahankan KPK sebagai entitas lembaga yang vital dalam pemberantasan korupsi. Upaya mengkriminalisasi KPK pada era SBY tidak berhasil dilakukan karena SBY sebagai Presiden mampu tegas terhadap aturan dan tidak terikat dengan kepentingan politik sekitar istana. Pembuktian janji (nawa cita dan revolusi mental) lebih penting dibandingkan pembuktian kepentingan politik. Oleh karena negara kita adalah negara hukum, maka pelantikan BG harus dibatalkan. Demikian juga, Presiden Jokwi harus mampu menyelesaikan kisruh yang terjadi antara Polri dan KPK berdasarkan profesionalitas dan akuntabilitas berdasarkan pertimbangan yang logis dan jauh dari asumsi politik orang-orang sekitarnya.

OPINI BLOGGER: JERIKO DISINYALIR KORBAN POLITISASI PIP




Oleh: Ian Haba Ora (Ketua FReePublik NTT)

Pendahuluan

Laporan Setahun Kinerja Kemendikbud (November 2014 s/d November 2015) menyatakan aset terbesar Indonesia bukanlah sumber daya alam, melainkan manusianya. Alasan ini menjadi dasar pandangan bahwa pembangunan manusia Indonesia menjadi prioritas utama. Tapi, fenomena di Indonesia masih banyak anak bangsa yang belum bisa bersekolah, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah seperti membeli buku pelajaran, pelatihan siswa, dan lain sebagainya. Ini seharusnya menjadi perhatian stakeholder (pemangku kepentingan) untuk secara aktif mendorong penguatan pembangunan manusia. Salah satu program pemerintah yang langsung menyentuh adalah Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang kini diubah menjadi Program Indonesia Pintar (PIP).

Tapi penguatan pembangunan manusia di Indonesia harus terkendala akibat indikasi salah paham (dapat juga disebut indikasi gagal paham) oleh beberapa stakeholder. Coba kita lihat alokasi penyerapan bantuan PIP di Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 20,07% sesuai pengakuan Mendikbud Anis Baswedan pada Raker besama Komisi X DPR RI pada 1 Februari 2016 lalu. Jika ditinjau dari pemberitaan media massa maupun media sosial, di Kota Kupang ternyata terjadi salah paham diantara stakeholder dalam pemahaman terkait PIP. Penyerapan PIP belum maksimal karena salah satu stakeholder dalam hal ini Walikota Kupang diduga menyebar informasi kepada seluruh kepala sekolah di teritorial Kota Kupang untuk tidak menerbitkan Surat Keterangan Siswa dari kepala sekolah kepada penerima PIP dengan alasan yang dianggap penulis tidak rasional. Tindakan ini dapat dianggap sebagai tindakan yang cenderung memikirkan kepentingan diri dibandingkan kepentingan membangun sumber daya manusia di wilayahnya.

Tindakan Kepala Daerah ini dianggap telah menciderai komitmen pemerintah bahwa peningkatan pendidikan kuncinya berada di pemimpin daerah (Kilas Kemendikbud, 2015:9). Tapi, Walikota Kupang disinyalir belum sepenuhnya memahami gagasan Mendikbud Anis Baswedan sehingga dianggap belum memahami spirit pemangku kepentingan (stakeholder) dengan tujuan sama membangung sumber daya manusia Indonesia umumnya.

Jefri Riwu Kore (Anggota Komisi X DPR RI) merupakan salah satu stakeholder yang memiliki hak untuk membantu dalam mendorong peningkatan sumber daya manusia melalui program PIP. Tapi, perjuangan oleh stakeholder ini belum sepenuhnya mendapat respon positif dari Walikota Kupang. Alhasil, penyerapan PIP di Kota Kupang dapat dibilang buruk. Dampak dari belum ada sepakat dari Walikota Kupang maka banyak warga miskin Kota Kupang yang dikorbankan. Seharusnya, Walikota Kupang perlu memahami jika pembangunan manusia membutuhkan kerjasama dari seluruh pihak terkait.

Fungsi Pengawasan DPR RI

Seharusnya Walikota Kupang dapat disarankan tidak perlu terganggu dengan adanya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh stakeholder pendidikan selain dirinya. Ini sebagai dampak dari teori pengawasan yang dikemukakan Hans Kelsen (2009:382) bahwa pengawasan yang berbeda muncul dari konsep triaspolitica yang memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, pemisahan ini menyebabkan muncul fungsi di setiap masing-masing bidang pemerintahan berbeda-beda. Tujuannya sama, yakni untuk kesejahteraan rakyat.

PIP merupakan program pemerintah sekaligus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditinjau dari pengawasan DPR RI maka terdapat pada Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 yang menyebutkan fungsi pengawasan DPR RI dilakukan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. Nurcholis (2007:208) juga menyebutkan pengawasan atas pelaksanaan APBN dilakukan oleh legislative bukan pemeriksaan untuk menghukum lembaga eksekutif tapi pengawasan untuk menjamin capaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBN. Sebelumnya, Mardiasmo (2001:206) telah menjelaskan bahwa pengawasan legislatif tidak perlu diperdebatkan jika hal itu dilakukan mulai dari penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, saran untuk Walikota Kupang adalah tidak perlu mempersoalkan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI karena telah dijamin secara aturan yang berlaku.

Pengawasan terhadap program menggunakan APBN penting dilakukan untuk dipastikan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas program dan diajukan untuk kesejahteraan rakyat; menjaga agar penggunaan APBN ekonomis, efisien dan efektif; menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, pengawasan DPR RI sangat penting untuk memastikan anggaran yang dikelolah secara transparan dan akuntabel untuk meminimalkan adanya kebocoran ataupun penyimpangan.

Pendataan PIP oleh DPR RI

DPR RI diberikan kewenangan sesuai UU MD3 untuk memperjuangkan PIP yang didefenisikan sebagai bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang orang tuanya tidak dan/atau kurang mampu membiayai pendidikannya, sebagai kelanjutan dan perluasan sasaran dari program BSM.

Untuk memaksimalkan penyerapan anggaran PIP maka Mendikbud Anis Baswedan pada Rapat Kerja (Raker) antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komisi X DPR RI pada tanggal 10 Juni 2015 yang menyimpulkan bahwa untuk mencapai pemenuhan sasaran PIP maka dialokasikan sebanyak 1.432.027 siswa untuk pemangku kepentingan dalam hal ini Komisi X DPR RI dari 17.920. 270 siswa yang dialokasikan Kemendikbud RI.

Dasar hukum pelaksanaan fungsi DPR RI yang diterjemahkan dalam mekanisme pendataan PIP ini sesuai dengan Pasal 78 UU MD3 bahwa setiap anggota DPR RI saat dilantik telah bersumpah memperjuangkan dapil.  Pasal 227 ayat (1) UU MD3 menyatakan setiap anggota DPR berhak mengawasi APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di dapilnya. Ini sesuai Pasal 72 huruf g bahwa menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat wajib dilakukan oleh setiap anggota DPR RI. dan bentuk pertanggungjawaban DPR sesuai Pasal 81 huruf k, setiap anggota wajib memberi pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di dapilnya.

Jika ditinjau dari mekanisme perjuangan DPR RI terkait PIP di dapil maka sesuai UU MD3 Pasal 98 ayat (6) manyatakan hasil keputusan rapat di Komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah. Tertanggal 27 September 2010 dan 14 September 2012 dihasilkan keputusan bahwa PIP atau BSM saat itu, diberi wewenang kepada Komisi X DPR RI untuk mendata dan mengusulkan program APBN Pendidikan (untuk PIP) dari dapilnya. Hal ini juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang PIP, Pasal 8 menyatakan PIP dapat diusulkan oleh Pemangku Kepentingan.

Dengan demikian, untuk melaksanakan fungsi DPR dalam pengawasan maupun ruang pendataan penerima PIP sebagai mekanisme aspirasi maka setiap anggota DPR RI dapat melakukan tindakan maupun aksi yang tidak bertentangan dengan UU atau aturan lain sebagai perlindungan dan jaminan impunitas DPR RI. Artinya, Surat Pemberitahuan dan Surat Permohonan Aspirasi baik dari/dan atau ke DPR RI merupakan tindakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas.

Penutup

Penyerapan APBN untuk program PIP di Kota Kupang masih dibilang sangat buruk karena hanya mampu menyerap 20,07% dari 100 persen anggaran untuk anak usia sekolah di Kota Kupang. Salah satu penyebab karena dianggap belum ada dukungan moril dari kepala daerah untuk membantu anak-anak miskin di Kota Kupang. Hal ini tampak dari tindakan moril walikota kupang yang disinyalir tidak menerbitkan surat keterangan siswa kepada penerima manfaat dari jalur pemangku kepentingan. Oleh karena itu Walikota perlu memahami tupoksi perjuangan dan mekanisme pendataan dari jalur Stakeholder agar rakyat tidak dikorbankan.

Thursday, 31 March 2016

JEFRI RIWU KORE (JERIKO) ADALAH SOSOK YANG PATUT DITELADANI

Baca juga:
  1. http://www.zonalinenews.com/2015/09/mendikbud-sebut-jeriko-legislator-yang-harus-diteladani/
  2. http://ntt.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/12
  3. http://www.harnas.co/2015/03/31/bappenas-ipm-ntt-masih-rendah

Foto: Jefri saat mempresentasekan kinerjanya di depan Mendikbud RI pada 2 September 2015


Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mungkin perlu berbangga karena memiliki putra daerah yang mampu mengoptimalkan dirinya menjadi seorang yang bermanfaat bukan saja untuk daerah asalnya tapi juga berjuang untuk meningkatkan taraf pendidikan di Indonesia. 

Ya..., sebut saja nama lengkapnya Jefirstson Richset Riwu Kore atau karib disapa Jeriko. Pria kelahiran Kupang, 13 Januari 1960 ini bisa disebut sebagai salah satu politisi yang mampu melakukan tugas pengabdian sebagai Anggota DPR RI yang bersungguh-sungguh berjuang untuk pendidikan yang masih tertinggal jika dibandingkan terhadap melek pendidikan di propinsi lain.

Jeriko yang duduk di Komisi X DPR RI sejak periode legislator 2009-2014 dan 2014-2019 ini disebut sebagai salah satu politisi yang patut diteladani. Jika kita membaca media online http://www.zonalinenews.com tertanggal 4 September 2015 (http://www.zonalinenews.com/2015/09/mendikbud-sebut-jeriko-legislator-yang-harus-diteladani/) dituliskan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) Anis Baswedan memberi apresiasi pada legislator NTT Jefri Riwu Kore (tulisan akrab Jeriko) Anggota Komisi X DPR RI terkait usaha keras mendorong peningkatan mutu dan kuantitas pendidikan di Nusa Tenggara Timur.

Jeriko yang pernah menyabet prestasi Mahasiswa Teladan Seluruh Indonesia Tahun 1986 ini dikatain Mendikbud sebagai legislator yang harus dicontohi.

"Kami (Mendikbud) memberi apresiasi pada pak Jefri yang aktif mendorong peningkatan kualitas pendidikan di NTT. Usaha dan kerja keras untuk perbaikan pendidikan di Indonesia seperti yang dilakukan pak Jefri, sekiranya menjadi hal yang harus diteladani oleh seluruh stakeholder pendidikan. Mudah-mudahan perjuangan pak Jefri mampu mengubah stigma NTT dari Nasib Tidak Tentu (NTT) menjadi Nasib Tambah Terang (NTT)", ucap Baswedan diikuti tawa peserta Rapat Kerja (Raker) Komisi X DPR RI bersama Kemdikbud RI pada 2 September 2015.

Pujian Mendikbud Anis Baswedan ini tidak bisa dianggap retorika saja namun harus dipahami sesungguhnya jika NTT membutuhkan tokoh-tokoh yang bermutu untuk meningkatkan taraf pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan. Salah satu indikator yang menjadi tinjauannya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT yang berada di urutan 32 dari 34 provinsi di NTT tahun 2015.

Berkaca dari data yang dirilis oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof A. Chaniago bahwa  IPM Provinsi Nusa Tenggara Timur masih rendah dimana berada pada kisaran 68,77 tahun 2013 atau hanya naik 1,5 indeksnya dari tahun 2011 sebesar 66,23. Realita ini menyebabkan NTT menduduki peringkat 32 dari 34 provinsi di Indonesia (http://ntt.bps.go.id/) juga jauh dari rataan IPM nasional sebesar 73,81.

IPM menjadi acuan pendidikan karena digunakan untuk mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup maka IPM dibangun dari pendekatan tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.  Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian yang sangat luas karena terkait banyak faktor, namun telah ditetapkan jika untuk mengukur dimensi kesehatan digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

Oleh karena itu rendahnya IPM Provinsi NTT menurut BPS (2015) ini diakibatkan dari rendahnya capaian daerah terhadap komponen indeks pembangunan manusia yang terdiri atas Angka Harapan Hidup (AHH); Angka Melek Huruf (AMH); Rata-Rata Lama Sekolah (RLS); dan Pengeluaran Riil per Kapita yang disesuaikan.

Angka Harapan Hidup pada waktu lahir diperoleh dari rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup. Sedangkan Angka Melek Huruf merupakan presentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Kemudian Rata-Rata Lama Sekolah diperoleh dari gambaran jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Setelah itu Pengeluaran Riil per Kapita yang disesuaikan menggunakan standar UNDP dalam mengukur standar hidup layak menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) riil yang disesuaikan atau yang sering digunakan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson.

BPS (2015) merilis data Angka Harapan Hidup NTT tahun 2014 hanya berkisar 65,91 atau berada jauh dari rataan nasional sebesar 70,10 selang waktu 2010-2015. Sedangkan Angka Harapan Lama Sekolah di NTT rata-rata hanya 12,65 tahun dengan rata-rata lama sekolah mencapai 6,85 tahun dan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp 6.934 per hari. Kondisi ini menjadi akumulasi IPM NTT berada di peringkat 32 dari 34 provinsi atau 68,77 dan dianggap buruk jika disandingkan dengan propinsi Papua Barat (70,62) dan propinsi Maluku Utara (70,63) yang adalah propinsi baru dimekarkan.

Selain IPM menjadi penentu integritas propinsi NTT sebagai propinsi terbelakang dalam sumber daya manusianya, juga didukung oleh angka buta huruf yang masih tinggi dimana mencapai 34,73% menurut data BPS tahun 2013. Kemudian diduga juga bahwa angka buta huruf ini menjadi alasan jika di NTT masih terkategorisasi sebagai propinsi miskin dengan angka mencapai 1.006.900 jiwa tahun 2013.

Selain data yang disebutkan di atas, pengaruh lain disebabkan juga oleh kesenjangan yang ditunjukkan oleh rasio gini NTT yang hanya mencapai 0,35 jauh di bawah rasio gini nasional sebesar 0,41 meskipun sebelumnya rasio gini provinsi NTT menunjukkan peningkatan dari tahun 2004 sampai dengan 2010 namun  pada tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan.

Jika ditinjau dari tingkat kesenjangan ekonomi maka yang terjadi di NTT berkategori tinggi yang menunjukkan perekonomian di kabupaten/kota di provinsi ini belum merata. Hal ini juga dapat dicermati dari perbedaan antara perbedaan per kapita penduduk Kota Kupang hampir lima kali lipat pendapatan per kapita penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya.

Berdasarkan distribusi ekonomi maka kontribusi PDRB didominasi sektor pertanian (35%) dan jasa-jasa (26%). Sementara itu sektor angkutan, telekomunikasi dan industri pengolahan peranannya masing-masing mengalami penurunan yakni 6,4% menjadi 5,7% dan 1,8% menjadi 1,4%. Jika ditinjau dari profesi maka 65% berada pada sektor pertanian dan 11,5% di sektor jasa. Tapi beberapa sektor mengalami penurunan antara lain berada dii sektor pertanian dan pertambangan masing-masing 12,58% dan 0,87%. Pekerja di sektor industri pengolahan hanya mampu menyerap tenaga kerja 4,91% dan tingkat pertumbuhan penyerapan kerja relatif stagnan (http://www.harnas.co/2015/03/31/bappenas-ipm-ntt-masih-rendah).

Dijelaskan juga bahwa tantangan NTT pula berada pada angkatan kerja yang hanya berpendidikan SD mencapai 66,40%. Kemudian tantangan lain muncul pula dari pembiayaan investasi terkait potensi simpanan masyarakat masih bersifat konsumtif dari besar pinjaman masyarakat. Dalam perspektif jangka panjang maka pola ini kurang sehat karena sesuatu yang bersifat konsumtif tidak berkelanjutan.

Pemda juga belum kreatif dalam menggunakan APBD dimana hampir 50% anggaran terserap untuk belanja pegawai dan 17% untuk belanja barang jasa. Sedangkan untuk belanja publik terbilang rendah karena hanya mencapai 12% saja.

Tantangan-tantangan yang disebutkan di atas menjadi indikator pendukung jika propinsi NTT masih terbelakang. Perlu diingat juga bahwa salah satu penyebab meningkatnya tantangan tersebut adalah dari korupsi kebijakan struktural. Oleh karena itu untuk memperbaikinya membutuhkan sosok yang benar-benar terakumulasi dalam stakholder penentu kebijakan struktural tersebut.

Ternyata Jeriko mampu menjadi salah satu sosok yang mampu memfasilitasi penurunan tantangan tersebut agar propinsi ini lebih baik ke depannya. Salah satu bukti tampak dari apresiasi Mendikbud Baswedan memberi perhatian serius terkait presentase Jeriko dimana berdasar temuan lapangan masih banyak ditemukan ketimpangan-ketimpangan pendidikan di Indonesia, khususnya di NTT seperti bangunan sekolah yang tidak layak, politisi guru-guru oleh kepala daerah, penyaluran beasiswa yang tidak maksimal, tunjangan sertifikasi yang tidak dibayarkan atau sengaja diendapkan, dan kesejahteraan guru yang minim perhatian pemerintah.

Apa yang dilakukan Jefri belumlah sempurna karena hanya menyentuh satu sektor saja yaitu pendidikan namun secara simultan mampu memberi dampak terhadap sektor lain. 

Jika berbicara sosok maka Jeriko patut menjadi pionir untuk memunculkan sosok-sosok lain yang mampu hadir berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Pendidikan hanya menjadi salah satu sektor yang dapat memberi efek terhadap sektor lain.

Bagaimana jika NTT memiliki banyak sosok seperti Jeriko. Sudah pasti NTT akan nyata berubah stigma dari NTT (Nasib Tidak Tentu) menjadi NTT sesungguhnya (Nasib Tambah Terang).

Good Jefri Riwu Kore (Jeriko)....! Lanjutkan.

TRANSLATE: