SELAMAT MEMBACA

Friday 13 December 2013

JAMINAN PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP AKTIVIS HAK ASASI MANUSIA



Oleh. Ian Haba Ora
Ketua FPAR Komunitas Dampingan PIAR NTT
(Tulisan ini dipublikasi oleh SKH TIMOR EXPRESS)
 
Pengantar
Merefleksi semangat reformasi tahun 1998 di Indonesia masih menyisahkan berbagai persoalan kekinian. Di jaman demokratisasi saat ini, negara masih memandang para aktivis Hak Asasi Manusia sebagai penghambat kehidupan bernegara. Labelisasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi menjadi indikator penting strategi negara dalam mengintimidasi sekaligus merepresif aktivis pembela HAM di Indonesia. ironisnya lagi, negara dapat terlibat langsung dalam upaya penghilangan nyawa dan daya juang para aktivis melalui pembunuhan, penculikan, dan penganiayaan sering menjadi berita buruk yang tersiar dan ditonton negeri ini.

Pembunuhan Wartawan Jogja Udin, aktivis buruh Marsinah, kasus Munir, kasus pembunuhan terhadap jurnalis Papua, Ardiansyah Matrais, kasus penganiayaan terhadap aktivis anti-korupsi ICW, Tama S. Langkun, penganiayaan terhadap aktivis lingkungan Walhi Bali, I Wayan Suardana alias Gendo, Stigmatisasi komunis pada aktivis PIAR NTT dan beberapa pastor-pendeta merupakan gambaran masifnya penghargaan negara terhadap hak asasi manusia masih lemah.

Namun adahal lain bahwa labelisasi dan intimidasi terhadap Aktivis Hak Asasi Manusia tidak saja dilakukan oleh aktor negara, namun telah bergeser juga pada aktor-aktor non negara seperti kapitalis, milisi/premanisme, ormas-ormas, partai politik, terorisme, dan lain sebagainya. Bahkan dapat juga intimidasi dan represif pada aktivis merupakan konspirasi antara aktor negara dan aktor non negara.

Begitu rentannya aktivis Hak Asasi Manusia dari tindakan represif dan intimidasi negara dan non negara maka pejuang-pejuang HAM perlu dilindungi. Negara Indonesia merupakan negara hukum maka salah satu cara perlindungan terhadap mereka adalah melalui legislasi.

Aktivis Hak Asasi Manusia
Mencari defenisi aktivis Hak Asasi Manusia memang belum memiliki defenisi yang baku di Indonesia, namun secara kontekstual Aktivis atau pembela HAM dapat dikategorikan pada siapa saja baik individu ataupun organisasi yang mempromosikan HAM, dari level akar rumput hingga internasional, tidak memandang dari berbagai jenis kelamin, umur serta latar belakang, tidak juga hanya LSM (NGO).

Keterbatasan dukungan negara dalam perlindungan aktivis Hak Asasi Manusia menjadikan para aktivis HAM sering menjadi sasaran atau terget negara maupun non negara dalam membungkam semangat juang aktivis untuk mendukung dan mendorong nilai-nilai penegakan hak asasi manusia. Untuk itu diperlukan jaminan hukum akan eksistensi aktivis Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender).

Sebenarnya negara Indonesia sudah memiliki instrumen penghargaan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (khususnya kerja-kerja HAM) seperti UUD 1945 amandemen Pasal 28C ayat (2), UU No 39/1999 Tentang HAM, UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM Berat, UU No 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi. Turunan dari setiap jawaban instrumen tersebut tersebar dalam pembentukan lembaga-lembaga seperti KOMNASHAM, OMBUDSMAN, LPSK, dan lain sebagainya. Namun konteks instrumen tersebut sebatas pada cara kerja Hak Asasi Manusia belum pada perlindungan aktivis HAM. Pada akhirnya para aktivis HAM dapat diintimidasi, diteror, diancam, dikriminalisasi, dan bahkan dibunuh. Sungguh kontras antara paradigma kerja HAM dan Pekerja-Pekerja HAM.

Perlindungan terhadap aktivis HAM sangat diperlukan karena jika tidak terlindungi maka aktivis HAM selalu menjadi target dan sasaran. Meskipun saat ini draf RUU tentang perlindungan terhadap pembela HAM telah ada dalam jadwal PROLEGNAS namun masih kabur dalam proses pembahasannya. DPR sebatas memasukkannya pada agenda Prolegnas namun tidak ada kepastian pembahasannya. Seharusnya Indonesia sebagai negara yang memiliki otoritas politik dalam legislasi perlu mendorong semangat juang perlindungan Hak Asasi Manusia seperti pada kewajiban negara yang telah diatur dalam “Declaration on the Rights and Responsibility of individuals, Groups, and Organs of Society to promote and Protect universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”, dinyatakan untuk melindungi memajukan dan melaksanakan HAM secara keseluruhan; menjamin bahwa semua orang dalam yuridiksinya dapat menikmati semua hak-hak sosial, ekonomi, politik serta hak-hak dan kebebasan lainnya; mengadopsi dalam lingkup legislatif, administratif dan tahapan lain yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan yang efektif dari hak dan kebebasan tersebut; menyediakan penggantian yang efektif terhadap korban HAM; melakukan investigasi yang cepat dan tepat serta imparsial terhadap pelanggaran HAM yang terjadi; melakukan semua langkah yang dibutuhkan untuk menjamin perlindungan terhadap setiap orang dari segala pelanggaran, ancaman, pembalasan, tindakan diskriminasi, tekanan, atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari kegiatan yang sah menurut deklarasi pembela HAM; memajukan pemahaman publik tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; menjamin dan mendukung pembuatan dan pengembangan institusi nasional independen untuk memajukan dan melindungi HAM; memajukan dan memfasilitasi pendidikan HAM pada semua level baik pendidikan formal maupun non formal.

Negara Wajib Melindungi Aktivis HAM
Kompleksnya otoriansime dan totaliter negara dalam merepresif dan menjustifikasi aktivis HAM dengan berbagai indimidasi dan kriminalisasi bahkan pembunuhan menjadikan kerja-kerja aktivis HAM tidak optimal dan bahkan terancam nyawa setiap kali melakukan tugas dan kerja-kerja HAM. Selain kekuasaan negara, pekerja HAM juga berhadapan dengan aktor-aktor non negara seperti milisi, premanisme, ormas-ormas intoleransi, hingga partai politik menjadikan pekerja HAM selalu terancam dari segala sisi.

Perjuangan pembela HAM untuk mendapat jaminan perlindungan negara akan kerja-kerja aktivis HAM tidak harus dipandang sebagai kekhawatiran pembela HAM terhadap taruhan nyawa dan idealisme karena menjadi pembela HAM maka resiko utama yang harus dihadapi adalah siap “mati” dalam kondisi apapun. Perlindungan yang dimaksudkan adalah agar apa yang dikerjakan aktivis HAM lebih optimal dan terhindar dari intimidasi dan kriminalisasi negara. Diharapkan ketika seorang aktivis dibungkam maka kerja-kerja perjuangan HAM tetap dilakukan oleh yang lain (continuitas). Bahkan ketika negara menghambat dalam kerja-kerja HAM, dapat diminta pertanggungjawabannya termasuk aktor-aktor non negara.

Sehingga menurut saya, Undang-Undang khusus perlindungan terhadap aktivis HAM perlu dilakukan oleh negara melalui kebijakan politik, meskipun tidak, negara harus berani untuk merevisi UU HAM agar memasukan pasal yang memuat khusus tentang perlindungan terhadap pembelah HAM. Maksudnya adalah memberi kepastian kerja-kerja pembelah HAM dan memberi impunitas atas perjuangan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.

TRANSLATE: