SELAMAT MEMBACA

Friday 1 April 2016

OPINI BLOGGER: JERIKO DISINYALIR KORBAN POLITISASI PIP




Oleh: Ian Haba Ora (Ketua FReePublik NTT)

Pendahuluan

Laporan Setahun Kinerja Kemendikbud (November 2014 s/d November 2015) menyatakan aset terbesar Indonesia bukanlah sumber daya alam, melainkan manusianya. Alasan ini menjadi dasar pandangan bahwa pembangunan manusia Indonesia menjadi prioritas utama. Tapi, fenomena di Indonesia masih banyak anak bangsa yang belum bisa bersekolah, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolah seperti membeli buku pelajaran, pelatihan siswa, dan lain sebagainya. Ini seharusnya menjadi perhatian stakeholder (pemangku kepentingan) untuk secara aktif mendorong penguatan pembangunan manusia. Salah satu program pemerintah yang langsung menyentuh adalah Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang kini diubah menjadi Program Indonesia Pintar (PIP).

Tapi penguatan pembangunan manusia di Indonesia harus terkendala akibat indikasi salah paham (dapat juga disebut indikasi gagal paham) oleh beberapa stakeholder. Coba kita lihat alokasi penyerapan bantuan PIP di Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 20,07% sesuai pengakuan Mendikbud Anis Baswedan pada Raker besama Komisi X DPR RI pada 1 Februari 2016 lalu. Jika ditinjau dari pemberitaan media massa maupun media sosial, di Kota Kupang ternyata terjadi salah paham diantara stakeholder dalam pemahaman terkait PIP. Penyerapan PIP belum maksimal karena salah satu stakeholder dalam hal ini Walikota Kupang diduga menyebar informasi kepada seluruh kepala sekolah di teritorial Kota Kupang untuk tidak menerbitkan Surat Keterangan Siswa dari kepala sekolah kepada penerima PIP dengan alasan yang dianggap penulis tidak rasional. Tindakan ini dapat dianggap sebagai tindakan yang cenderung memikirkan kepentingan diri dibandingkan kepentingan membangun sumber daya manusia di wilayahnya.

Tindakan Kepala Daerah ini dianggap telah menciderai komitmen pemerintah bahwa peningkatan pendidikan kuncinya berada di pemimpin daerah (Kilas Kemendikbud, 2015:9). Tapi, Walikota Kupang disinyalir belum sepenuhnya memahami gagasan Mendikbud Anis Baswedan sehingga dianggap belum memahami spirit pemangku kepentingan (stakeholder) dengan tujuan sama membangung sumber daya manusia Indonesia umumnya.

Jefri Riwu Kore (Anggota Komisi X DPR RI) merupakan salah satu stakeholder yang memiliki hak untuk membantu dalam mendorong peningkatan sumber daya manusia melalui program PIP. Tapi, perjuangan oleh stakeholder ini belum sepenuhnya mendapat respon positif dari Walikota Kupang. Alhasil, penyerapan PIP di Kota Kupang dapat dibilang buruk. Dampak dari belum ada sepakat dari Walikota Kupang maka banyak warga miskin Kota Kupang yang dikorbankan. Seharusnya, Walikota Kupang perlu memahami jika pembangunan manusia membutuhkan kerjasama dari seluruh pihak terkait.

Fungsi Pengawasan DPR RI

Seharusnya Walikota Kupang dapat disarankan tidak perlu terganggu dengan adanya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh stakeholder pendidikan selain dirinya. Ini sebagai dampak dari teori pengawasan yang dikemukakan Hans Kelsen (2009:382) bahwa pengawasan yang berbeda muncul dari konsep triaspolitica yang memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan demikian, pemisahan ini menyebabkan muncul fungsi di setiap masing-masing bidang pemerintahan berbeda-beda. Tujuannya sama, yakni untuk kesejahteraan rakyat.

PIP merupakan program pemerintah sekaligus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditinjau dari pengawasan DPR RI maka terdapat pada Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 yang menyebutkan fungsi pengawasan DPR RI dilakukan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. Nurcholis (2007:208) juga menyebutkan pengawasan atas pelaksanaan APBN dilakukan oleh legislative bukan pemeriksaan untuk menghukum lembaga eksekutif tapi pengawasan untuk menjamin capaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBN. Sebelumnya, Mardiasmo (2001:206) telah menjelaskan bahwa pengawasan legislatif tidak perlu diperdebatkan jika hal itu dilakukan mulai dari penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, saran untuk Walikota Kupang adalah tidak perlu mempersoalkan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI karena telah dijamin secara aturan yang berlaku.

Pengawasan terhadap program menggunakan APBN penting dilakukan untuk dipastikan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas program dan diajukan untuk kesejahteraan rakyat; menjaga agar penggunaan APBN ekonomis, efisien dan efektif; menjaga agar pelaksanaan APBN benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, pengawasan DPR RI sangat penting untuk memastikan anggaran yang dikelolah secara transparan dan akuntabel untuk meminimalkan adanya kebocoran ataupun penyimpangan.

Pendataan PIP oleh DPR RI

DPR RI diberikan kewenangan sesuai UU MD3 untuk memperjuangkan PIP yang didefenisikan sebagai bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang orang tuanya tidak dan/atau kurang mampu membiayai pendidikannya, sebagai kelanjutan dan perluasan sasaran dari program BSM.

Untuk memaksimalkan penyerapan anggaran PIP maka Mendikbud Anis Baswedan pada Rapat Kerja (Raker) antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komisi X DPR RI pada tanggal 10 Juni 2015 yang menyimpulkan bahwa untuk mencapai pemenuhan sasaran PIP maka dialokasikan sebanyak 1.432.027 siswa untuk pemangku kepentingan dalam hal ini Komisi X DPR RI dari 17.920. 270 siswa yang dialokasikan Kemendikbud RI.

Dasar hukum pelaksanaan fungsi DPR RI yang diterjemahkan dalam mekanisme pendataan PIP ini sesuai dengan Pasal 78 UU MD3 bahwa setiap anggota DPR RI saat dilantik telah bersumpah memperjuangkan dapil.  Pasal 227 ayat (1) UU MD3 menyatakan setiap anggota DPR berhak mengawasi APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di dapilnya. Ini sesuai Pasal 72 huruf g bahwa menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat wajib dilakukan oleh setiap anggota DPR RI. dan bentuk pertanggungjawaban DPR sesuai Pasal 81 huruf k, setiap anggota wajib memberi pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di dapilnya.

Jika ditinjau dari mekanisme perjuangan DPR RI terkait PIP di dapil maka sesuai UU MD3 Pasal 98 ayat (6) manyatakan hasil keputusan rapat di Komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah. Tertanggal 27 September 2010 dan 14 September 2012 dihasilkan keputusan bahwa PIP atau BSM saat itu, diberi wewenang kepada Komisi X DPR RI untuk mendata dan mengusulkan program APBN Pendidikan (untuk PIP) dari dapilnya. Hal ini juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang PIP, Pasal 8 menyatakan PIP dapat diusulkan oleh Pemangku Kepentingan.

Dengan demikian, untuk melaksanakan fungsi DPR dalam pengawasan maupun ruang pendataan penerima PIP sebagai mekanisme aspirasi maka setiap anggota DPR RI dapat melakukan tindakan maupun aksi yang tidak bertentangan dengan UU atau aturan lain sebagai perlindungan dan jaminan impunitas DPR RI. Artinya, Surat Pemberitahuan dan Surat Permohonan Aspirasi baik dari/dan atau ke DPR RI merupakan tindakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas.

Penutup

Penyerapan APBN untuk program PIP di Kota Kupang masih dibilang sangat buruk karena hanya mampu menyerap 20,07% dari 100 persen anggaran untuk anak usia sekolah di Kota Kupang. Salah satu penyebab karena dianggap belum ada dukungan moril dari kepala daerah untuk membantu anak-anak miskin di Kota Kupang. Hal ini tampak dari tindakan moril walikota kupang yang disinyalir tidak menerbitkan surat keterangan siswa kepada penerima manfaat dari jalur pemangku kepentingan. Oleh karena itu Walikota perlu memahami tupoksi perjuangan dan mekanisme pendataan dari jalur Stakeholder agar rakyat tidak dikorbankan.

TRANSLATE: