SELAMAT MEMBACA

Thursday 30 January 2014

PELAYANAN PUBLIK PERSPEKTIF HAK WARGA NEGARA



Ian Haba Ora
Ketua FPAR Kota Kupang

Pengantar
Permasalahan publik hari ke hari kian menunjukkan carut marut yang tidak terselesaikan. Harapan warga dalam mengakses dan meminta tanggungjawab penyelenggara publik (baca pemerintah) untuk memberikan fungsi pelayanan yang baik, cepat, transparan, dan akuntabel belum optimal dan maksimal. Rumitnya akses informasi, pelayanan petugas yang tidak ramah, biaya yang tinggi, birokrasi yang panjang, dan ketiadaan mekanisme komplain yang memadai memberikan skeptisme dan rasa pesimistis warga untuk mendapatkan pelayanan publik yang efisien, efektif, dan cepat jauh panggang dari api.

Dunia kependidikan merupakan gambaran rumit yang sering tidak tertata baik mulai dari pelayanan terhadap hak-hak siswa di sekolah-sekolah sampai pada kewajiban negara dalam memenuhi kualitas pendidikan bagi anak didik siswa. Kepentingan siswa cenderung terabaikan dengan salah pandang (paradigma) tertentu yang terpolarisasi intrik tertentu, bahkan esensi dari suatu peningkatan pelayanan publik dikaburkan dengan birokratisasi yang panjang dan ketakutan tertentu dari penyelenggara publik pendidikan di sekolah-sekolah terhadap ancaman pimpinan-pimpinan daerah.

Beberapa data sampel yang dikumpulkan oleh rekan-rekan komunitas Kota Kupang terhadap rumitnya akses informasi dan pengakuan negara terhadap penerima manfaat (warga) tentang identitas siswa menjadi problema tersendiri ketika banyak warga yang mengadu sulitnya mendapatkan Surat Keterangan sebagai anak didik siswa pada sekolah-nya. Padahal, Surat Keterangan Siswa merupakan sesuatu hak yang dimiliki siswa ketika terdaftar pada suatu sekolah tempat siswa tersebut menuntut ilmu. Retorika absurt ini menjustifikasi bahwa pemerintah masih setengah hati ataupun belum terpahami sepenuhnya akan arti dari sebuah peningkatan penyelenggaraan publik.

Esensi dari pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (UU No. 25 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (1)). Jaminan ini terkesan menjadi instrumen rutinitas belaka yang tidak terkondensasi (terlaksana) dengan baik.

Pelayanan Publik
Manifestasi perlindungan negara terhadap warga negara wajib ditunjukkan melalui kewajiban negara melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik dan merupakan amanat UUD 1945 sekaligus membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik. Selain itu, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggungjawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka disepakatilah konsensi melalui Undang-Undang Pelayanan Publik sebagai upaya peningkatan kualitas dan jaminan penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Penegasan penyelenggaraan pelayanan publik dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 merupakan derivasi (turunan) dari amanat konstitusi yang tercantum dalam UUD 1945 seperti pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 281 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3). Selain itu, jaminan penyelenggaraan pelayanan publik juga tidak terlepas dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Pasal 3 dalam UU Pelayanan Publik menegaskan bahwa tujuan dilakukan pengaturan pelayanan adalah untuk terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik, terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Begitu pentingnya penciptaan pemerintah yang bersih dan baik melalui instrumen, struktural, dan perilaku demi terwujudnya profesionalitas dan akuntabilitas penyelenggara publik namun masih menyisahkan persoalan serius ketika banyak penerima manfaat (warga) mengeluh akan setiap pelayanan hak warga yang tidak sesuai harapan.
           
Ambiguitas Pelayanan Publik
Ketika negara menjamin hak warga negara dengan memberikan ruang kebijakan dan program demi perbaikan kualitas dan menjawab kebutuhan warga negara, namun masih dibarengi manipulasi perilaku aktor-aktor penyelenggara publik untuk membatasi bahkan mengeliminasi kepentingan publik. Justifikasi (pembenaran) ini dapat diperhatikan dari data komunitas FPAR Kota Kupang yang menemukan pengeluhan warga ketika ingin mengakses dan meminta hak anak-anak mereka untuk mendapatkan Surat Keterangan Sekolah yang menyatakan bahwa anak mereka terdaftar sebagai anak didik siswa pada sekolah tersebut. Berbagai alasan yang tidak masuk akal dilakoni oleh Kepala Sekolah dan aparatur sekolah lainnya untuk tidak memberikan Surat Keterangan tersebut.

Sesuai dengan kewajiban penyelenggara publik, ketika ada hak penerima manfaat publik, maka penyelenggara harus memenuhi sesuai aturan perundangan yang belaku, tidak berdasarkan logika absurt. Konyol ketika hak-hak warga dibatasi hanya didasarkan dugaan-dugaan manipulatif kepentingan tertentu. Aparatur publik cenderung mengaitkan kewenangan yang dimiliki untuk dipolitisir menjadi stigmatisasi (vonis negatif) ketika manfaat publik dimiliki dan diberikan pada warga negara.

Contoh kasus pengaduan warga yang diterima FPAR Kota Kupang dari seorang warga yang anaknya bersekolah di SMP milik Pemerintah Kota Kupang bahwa anak-nya tidak diberikan surat keterangan sebagai siswa di sekolah tersebut karena dianggap mendapatkan bantuan beasiswa di luar dari yang dimiliki oleh sekolah tersebut. Pertanyaannya adalah bahwa Surat Keterangan Siswa merupakan hak siswa atau tidak? Jika permasalahannya adalah dipergunakan untuk apa, berati ada konsekuensi hukum dari pengguna tersebut secara klausa hukum. Bukan dikarenakan dugaan emosional dengan kewenangan yang dimiliki mengeliminasi hak-hak warga negara.

Terpaan logika semu selalu menghalau harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang betul-betul memenuhi rasa keadilan dan tanggungjawab negara untuk melindungi warga negara. Warga negara selalu dijadikan korban pemikiran semu dan tidak pada tempatnya, dapat menghambat esensi dari amanat Undang-Undang penyelenggaraan publik itu sendiri.

Pemerintah seharusnya mulai berpikir untuk terus mensosialisasikan esensi dari Undang-Undang Pelayanan Publik untuk dapat diketahui oleh aparatur negara sehingga pelayanan publik tidak harus terhambat akibat cara pandang dari aparatur sekolah yang lemah bahkan di luar dari konteks hak warga negara.

Penutup
Mengharapkan terciptanya pertanggungjawaban pemerintah (baca sekolah-sekolah) untuk memenuhi hak warga negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009. Namun belum terimplementasi baik dikarenakan ketidakpahaman dan ketidaktahuan aparatur struktural pemerintah untuk melaksanakan amanat UU tersebut mulai dari pemimpin daerah hingga jabatan struktural yang paling bawah. Selain itu, masalah perilaku aktor negara untuk menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) menjadi gambaran realitas telah terjadi pembunuhan hak-hak warga negara untuk mengakses dan memintah akuntabilitas penyelenggara publik.

Warga negara perlu melakukan upaya kritis dalam meminta pertanggungjawaban penyelenggara publik yang tidak sesuai dengan mekanisme dan amanat konstitusi. Warga negara harus berani menuntut penyelenggara publik agar memberikan hak-hak anak didik siswa karena itu merupakan kewajiban penyelenggara.

TRANSLATE: