SELAMAT MEMBACA

Thursday 30 January 2014

UU Desa Dan Harapan Baru


Ian Haba Ora
Ketua FPAR Kota Kupang Dampingan PIAR NTT
Tulisan ini dipublikasi oleh SKH TIMEX-Selasa, 7 Januari 2014

Pengantar
Prinsip reformasi tahun 1999 menjadi perhatian khusus dalam penataan bangsa untuk terus mengefisiensikan era transformasi sentralistik ke otonomi daerah. Daerah diberikan keleluasan untuk dapat mengatur urusan rumah tangga daerahnya sendiri sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004.  UU tersebut menggaris bawahi bahwa Daerah Otonom berwenang mengurus urusannya sendiri terkecuali politik luar negeri, Pertahan dan keamanan, agama, kebijakan moneter, dan kehakiman (yudikatif).

Kebijakan otonomi daerah ini ternyata tidak diikuti oleh prinsip demokrasi oleh daerah-daerah untuk lebih mengefektifkan pelayanan publik sebagai bentuk pendekatan responsif dalam kemanfaatan pada masyarakat.

Ironisme akut juga ketika setiap harapan masyarakat melalui Musrembangdes, Musrembangcam, sampai musrembangkab/kota tidak ada satupun program dan kebutuhan masyarakat terealisasi. Setiap rancangan menjadi isapan jempol semata dan sebatas pada tulisan indah yang dibahas. Desa menjadi kebo congek yang selalu mengikuti program yang diturunkan oleh pemerintah daerah yang tidak menyentuh kebutuhan masyarakat.

Selain itu, pemerintah tidak pernah memikirkan kontektualisasi budaya dan kearifan lokal yang ada dimasyarakat desa. Budaya gotong royong dan kekeluargaan yang ada di desa luntur akibat program proyek-proyek dari Pemda setempat. Desa hanya dijadikan sebagai objek realisasi keuntungan proyek pemerintah, dan lebih parah adalah desa menjadi sarana politisir oleh arogansi pemerintah.

Nominal anggaran daerah untuk pembangunan daerah tidak pernah terdistribusi secara transparan dan akuntabel. Desa hanya dijadikan sebagai sarana pembangunan fisik infrastruktur tanpa dipikirkan potensi-potensi desa untuk mendukung pembangunan. Akibatnya infrastruktur desa tidak mendukung potensi tersebut, misalkan infrastruktur jalan dibutuhkan masyarakat dalam mendukung transportasi hasil kebun dan persawahan namun Pemda menurunkan pembangunan waduk-waduk yang sedianya telah ada dukungan pengairan yang selama ini ada di masyarakat untuk bercocok tanam.

Realitas ini menjadikan desa seolah-olah di “stir” oleh kepentingan Pemda. Oleh karena itu, untuk menjawab agar desa itu mandiri dan profesional dalam peningkatan pelayanan publik serta idependensi desa maka perlu diatur dalam bentuk instrumen. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius dalam pendekatan desa mandiri dan profesional yaitu: harus dipisahkan akan identitas desa baik strukturnya secara pemerintahan dan kearifan lokal desa tersebut; perlu ada indikator kinerja hak dan kewajiban dari pemangku kepentingan desa dan partisipasi masyarakat; perlu ada alokasi anggaran yang propoor dalam konteks angka (“minimal persentase rupiah bagi desa”) agar menjadi pengelolaan berbasis kinerja. Tiga hal ini menjadi penting untuk menuju desa yang mandiri.

Perjuangan RUU Desa
18 Desember 2013 menjadi tonggak sejarah baru dalam kemandirian desa untuk lebih dioptimalkan pembangunan berbasis kinerja. Sekian lama RUU Desa yang menjadi polemik akhirnya teralisasi dengan baik untuk disahkan menjadi Undang-Undang yang baru. UU ini diharapkan menjadi semangat dan roh baru untuk lebih memaksimalkan kinerja pemerintahan desa. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang yaitu bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; selain itu dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Realisasi RUU ini menjadi UU tidak terlepas dari perjuangan Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk menggerakkan mesin partai Demokrat mendukung disahkannya UU Desa sebagai RUU Inisiatif Pemerintah. Alhasil UU Desa dapat diterbitkan dan terdaftar dalam lembaran negara Republik Indonesia. DR Jefri Riwu Kore, MM.,MH calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat Nomor Urut 2  pernah berkata “Berdasarkan UU tersebut, setiap desa di seluruh Indonesia akan mendapatkan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari belanja pusat dan dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan berbasis desa yang penggunaannya 30% untuk operasional dan 70% untuk program pembangunan”. Ir. Sarah Lery Mboeik calon Anggota DPD RI asal NTT Nomor Urut 33 pun mendukung pembicaraan koleganya bahwa “total dana yang dialokasikan tersebut mencapai 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus”. Dengan kata lain, dana sekitar Rp 104,6 triliun bila dibagi untuk sekitar 72.000 desa maka setiap desa mendapatkan dana sekitar Rp 1,4 miliar per tahun. Chris Petrus Mboeik Calon Anggota DPRD Propinsi NTT dari Partai NASDEM Dapil Kota Kupang Nomor Urut 2 mengatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Desa sudah tentu desa diberi ruang untuk berekspresi dan berkreativitas menuju kemandirian desa yang profesional dan bersinergi sesuai potensi daerah dan dalam UU ini juga ada penghargaan positif terhadap nilai-nilai kebudayaan dengan diakui adanya desa adat.

UU Desa disahkan
Desa sebelumnya memiliki dasar hukum yuridis dalam UU nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana desa sebagai pembantu dalam penyelenggaraan publik pada aras paling bawah. Tetapi pada UU Desa menegaskan pangaturan lebih terperinci tentang asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan pedesaan, badan usaha milik desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, Undang-Undang Desa mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk desa adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.

Ada beberapa hal kemajuan dari disahkannya UU Desa dibandingkan ketika masih terinklave dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu: UU Pemerintahan Desa hanya mengatur kelembagaan desa dimana desa dianggap sebagai otoritas kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI. Namun pengertian ini telah diubah pada UU Desa Pasal 1 ayat (1) diperluas pengertiannya menjadi desa dan desa adat. Pangklasteran ini memungkinkan optimalisasi kerja-kerja berbasis kearifan lokal dan potensi desa. Jabatan kepala desa pada UU 32/2004 yang semula 2 periode ditambah menjadi 3 periode atau 18 tahun masa jabatan. Asas pengaturan yang semula desentralisasi botom up yang abstrak makin diperjelas dalam UU desa dengan asas pengaturan rokognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, keberlanjutan berbasis lokal. Sehingga desentralisasi yang bersifat top down abstrak pada UU 32/2004 lebih disensitivitas dominan bottom up. Selain itu, kewenangan, hak dan kewajiban kepala desa diatur lebih terintegratif dan jelas pada UU Desa. Begitupun profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi tertata dalam mekanisme desa dan warga desa berserta perangkat desa tergambar cukup jelas termasuk hak dan kewajiban kepala desa dan warga desa. Hal yang lebih memantapkan kemandirian pembangunan berbasis desa adalah ketentuan khusus dalam UU Desa yang mengatur bawa setiap desa minimal mendapat alokasi anggaran desa minimal sebesar 10% dari APBN yang teralisasi. Jika dengan statistik saat ini berkisar 72.000 desa dengan 104,6 triliun rupiah maka desa ditaksir mendapatkan 1,4 M per tahun. Angka fantastis yang diberikan negara oleh pemerintahan SBY untuk berinisiatif memuluskan pembahasan RUU Desa di parlemen.

Penutup
Desa dalam bingkai NKRI boleh berlega hati karena RUU Desa telah disahkan menjadi Undang-Undang untuk dioptimalisasi dalam pembangunan berbasis desa. Abstraksi yang selama ini ada pada istrumen Undang-Undang Pemerintahan Daerah telah tergeser dan diperjalan dalam UU Desa.

Desa saat ini diberi ruang untuk mengoptimalisasi dan memaksimalkan kinerja agar pembangunan pedesaan dapat berjalan optimal dibandingkan dengan kejadian-kejadian lalu yang menganggap desa sebagai objek pembangunan Pemda tanpa memikirkan pendekatan lokal sesuai potensi desa.

TRANSLATE: