SELAMAT MEMBACA

Tuesday 2 July 2013

AROGANSI SATPOL PP



MAKIN BRUTAL JIKA SATPOL PP DIPERSENJATAI
Oleh. Ian Haba Ora

Kontroversi kepemilikan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) marak diberitakan lantaran beda persepsi baik dikalangan birokrasi, aktivis, akademisi dan legislatif. Ini menyeruak, ketika Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 26 Tahun 2010 mulai diberlakukan sejak Maret 2010 tentang legalitas anggota Satpol PP untuk memegang senjata api. Ada macam pendapat, Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan  Satpol PP dinilai masih belum matang secara psikologis kalau Satpol PP sampai dipersenjatai dengan senjata api. Secara psikologis, Satpol PP belum matang sehingga itu membahayakan.

Anggota Komisi II DPR dari F-PKS Mahfudz Siddiq juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, aparat Satpol PP yang dipersenjatai tak beda dengan aparat keamanan. "Selama ini mereka sudah dipersenjatai pentungan. Kalau dipersenjatai lebih jauh lagi, itu tak beda dengan aparat keamanan". Ia menilai penegakkan ketertiban tergantung dari pendekatan yang dilakukan. "Kalau represif, ya konflik terus. Kalau dipersenjatai, itu lebih parah lagi. Penegakannya seharusnya lebih persuasif dan edukatif". Menko Polhukam Djoko Suyanto berpendapat kepemilikan senjata api bagi Satpol PP harus diatur ketat karena TNI dan Polri pun aturannya ketat dan dalam menjalankan tugasnya Satpol PP juga tidak memiliki kewenangan melakukan tindakan kepolisian. Mendagri Gamawan Fauzi menjamin kepemilikan senjata api bagi Satpol PP akan diatur ketat. Selain itu peluru yang nanti digunakan juga bukan peluru tajam. Dia menjelaskan, tidak sembarang petugas Satpol PP bisa memiliki senjata api. Ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, termasuk berkoordinasi dengan petugas kepolisian. "Izinnya tetap diberikan Polri setelah dinilai layak," tutupnya.

Beda pendapat ini lantaran dalam Permendagri No 26 Tahun 2010 mengatur tentang Penggunaan Senjata Api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Senjata api yang boleh digunakan antara lain senjata gas air mata, pistol/revolver/ senapan yang dapat ditembakkan dengan peluru gas atau peluru hampa, dan stick (pentungan), senjata kejut listrik berbentuk pentungan. Kepemilikan senjata api ini bisa dimiliki hingga tingkat kepala regu.

Meskipun kita mengilhami kedewasaan secara institusi Polisi Pamong Praja hingga usia yang ke 60 tahun, namun tidak serta merta mengilhami kedewasaan secara individu/personal/perseorangan dari aparat Satpol PP. Banyak kasus-kasus melibatkan anggota Satpol PP terindikasi melakukan kekerasan terhadap kaum proletar dan kaum yang termaginal oleh kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak-hak rakyat. Tidak dapat dipungkiri, jika saat ini, ketika genderang otoritas keinstitusian Satpol PP diperbesar lantaran anggotanya dipersenjatai dengan senjata api, maka rakyat semakin resah dan takut. “Nanti malah makin belagu. Nanti mau penggusuran seperti jagoan menunjuk-nunjukkan pistol," kata pedagang minuman keliling, Roni (33) saat ditemui Detik Com di kawasan Blok M, Jaksel, Selasa (6/7/2010). Ini menjustifikasi makin rawannya tindakan aparat Satpol PP untuk bertindak kasar pada warga penerima layanan publik yang terkadang tidak propoor. Meskipun telah ada wanti-wanti dari Mendagri bahwa akan ada pengawasan yang ketat dalam penggunaan senjata api, namun tidak serta merta mengeliminasi sikap skeptis masyarakat. Masyarakat terus terpaku pada pikiran “tanpa menggunakan senjata saja sudah aktif dengan kekerasan, apalagi jika dipersanjatai,” kata Moniche Saubaki, Aktivis FPAR Kota Kupang saat dimintai komentarnya.

Sikap skeptis masyarakat ini, tidak dapat disangkali lantaran selama ini, tindakan kekerasan anggota Satpol PP dalam penertiban dan penggusuran banyak dipertontonkan demi kepentingan penegakan Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Mungkin kita tidak begitu saja melupakan kasus Koja berdarah 14 April 2010 yang banyak memakan korban baik dari Pol PP maupun rakyat. Atau kita sering melihat pemberitaan-pemberaitaan kekerasan di media cetak dan elektronik yang menjustifikasi arogansi sebagai solusi penegakan tugas. Mungkin saja, dari kita telah ada yang melihat secara langsung aksi brutalitas anggota Satpol PP yang terkesan tak memiliki nurani.

Ketika pro kontra opini memetafora perspektif, hal terpenting yang perlu kita sadari ialah keinstitusian Polisi Pamong Praja adalah otonomi dalam kerangka pemerintahan daerah sesuai UU No 32 Tahun 2004. Otonomi yang dimaksudkan adalah institusi Satpol PP tidak sentralistik layaknya Polri namun didasarkan pada kebijakan dan peraturan daerah. Dengan demikian, konteks sosial approach berbeda-beda setiap wilayah. Kasus Koja berdarah 14 April 2010 tidak dapat menjustifikasi brutalitas Pol PP seantero, ataupun kasus warga versus Satpol PP saling bentrok di Banda Aceh lantaran penertiban PKL 8 Juli 2010 tidak harus menjadi representatif kebringasan aparat Satpol PP. Paradox ketika kita cermati kinerja Satpol PP Kota Kupang dalam pemberitaan media, jarang dan hampir dikatakan tidak ada sama sekali kasus kekerasan dan arogansi yang ditunjukkan aparat Satpol PP Kota Kupang. Pendekatan persuasif menjadi ciri khas dalam penegakan Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Satpol PP Kota Kupang juga aktif dalam bina sosial bersama masyarakat. Misalkan yang terpantau media, Satpol PP aktif dalam membantu warga yang rumahnya rusak akibat tertimpah pohon yang tumbang, aktif dalam pembersihan drainase yang tersumbat, aktif dalam mendukung Kupang Green and Clean, dan tak kalah pentingnya adalah Satpol PP membangun Sekolah Dasar (SD) permanen di Kelurahan Fatukoa lantaran SD tersebut yang kini ada sudah tidak layak lagi. Ini merupakan cerminan lain eksistensi Satpol PP tidak lah sama dalam karakter lantaran secara keinstitusian otonomi.

Menilik pada Permendagri 26 Tahun 2010, maka dapat dibenarkan jika anggota Satpol PP dipersenjatai. Selain berhubungan dengan kebijakan publik, juga dilapangan anggota Satpol PP menghadapi karakter masyarakat yang berbeda. Kondisi ini akan menjadi boomerang bagi anggota Satpol PP saat bertugas dengan resiko-resiko yang ada. Namun, hal yang perlu diwaspadai adalah prosedur dan mekanisme pengawasannya. Ironis juga ketika aktualisasi dan fenomena brutalitas anggota Satpol PP marak terjadi dan sering menghiasi pemberitaan media. Atau juga, kita pernah menjadi korban dalam aksi kekerasan dan brutalitas aparat PolPP. Ketika anggota PolPP dipersenjatai, maka dapat membahayakan warga penerima layanan publik. Ini disebabkan mental dan psikologis anggota yang masih labil, apalagi bimbingan dan pelatihan bagi PolPP yang terkesan tidak berperspektif hak asasi manusia. Oleh karena itu, maraknya kasus-kasus brutalitas dan kekerasan oleh anggota Satpol PP yang sering ada, sebaiknya penerapan Permendagri 26 tahun 2010 dibatalkan atau ditinjau kembali. Jika dipaksakan, akan memancing aksi kekerasan negara terhadap rakyatnya melalui institusi PolPP. Masyarakat menjadi resah dan takut jika anggota Satpol PP dipersenjatai. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 26 Juli 2010).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: