SELAMAT MEMBACA

Tuesday 2 July 2013

REINKARNASI DWIFUNGSI ABRI



REINKARNASI DWIFUNGSI ABRI
Oleh. Ian Haba Ora

Sejak reformasi nasional bergulir, ABRI (Sekarang TNI) merupakan salah satu institusi yang paling gencar mendapat sorotan dan tuntutan untuk berubah. Hal ini dipandang logis, mengingat peran ABRI yang sebelumnya begitu dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dwifungsi ABRI yang sah menurut Undang-Undang, memungkinkan prajurit berada pada hampir semua lini kehidupan. Sebagai penentu dilegislatif, penyelenggara di eksekutif dan bahkan wasit di Yudikatif. Keadaan yang konon menciderai norma dan prinsip satu negara demokrasi. Melalui reformasi, bangsa Indonesia bersepakat mengembalikan peran dan posisi militer secara benar dalam sistem kenegaraan. Terbitlah Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang penetapan peran TNI dan Polri. Dua ketetapan yang kemudian dikukuhkan dalam UUD tahun 1945 melalui amandemen kedua. Berlanjut dengan pengesahan UU No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara yang menetapkan TNI sebagai komponen utama dan UU No.34 tahun 2004 tentang TNI.

Namun semangat reformasi ini, kemudian akan diupayakan untuk mereinkarnasi TNI menjadi “dwifungsi ABRI” lagi oleh mereka para Politisi yang kurang terconection dengan reformasi TNI. Pemberitaan harian Timor Express-Senin, 21 Juni 2010, menuliskan bahwa saat ini sedang dilakukan revisi UU Pemilu agar TNI dapat memiliki hak pilih. Namun parahnya, kutat-mengkutat para politisi melalui fraksinya memberikan tanggapan yang sering kali bertentangan dengan semangat reformasi. Meskipun ada beberapa fraksi yang tetap bertahan pada reposisi TNI saat ini.

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejatera (PKS) Agus Purnomo menyatakan, pihaknya mendorong agar revisi UU Pemilu saat ini memulihkan hak politik warga negara pada TNI? Bagi PKS tidak masalah! Menurut Agus, masalah netralitas saat ini tampaknya bisa direduksi dari diri TNI. Sesuai dengan UU, TNI kini telah melepaskan aset-aset mereka. Hal ini merupakan salah satu poin penting. “Dengan melepaskan aset, konflik kepentingan mereka berakhir,” kata Agus. Bukankah TNI selama ini dibawah Presiden. Menurut Agus, posisi TNI sebagai lembaga dibawah Presiden tidak menjadikan itu alasan untuk menutup hak politik. “Dibawah Presiden, TNI menjalankan tugas kenegaraan, bukan tugas politik. Teknisnya mereka nanti tidak ikut kampanye, tapi bisa memilih,” tandasnya (Timex-Senin, 21/6/2010).

Jika kita melihat soal hak politik setiap warga negara memang ada benarnya jika dia memiliki hak memilih sebagai hak asasinya. Namun yang perlu diperhatikan adalah, selaku warga negara yang memiliki tugas pertahanan ketika menjadi bagian dari alat negara maka haknya telah ditukar dengan otoritas yang dipikulkan padanya. Selaku alat negara dibidang pertahanan, maka prajurit TNI hanya tunduk pada kebijakan dan keputusan politik negara. Prajurit TNI harus berada diluar arus putaran hingar binger reformasi politik maupun pemilihan anggota legislatif, kepala daerah dan presiden/wakil presiden. Sebagaimana fakta-fakta yang telah dikemukakan dalam proses reformasi internal TNI telah sepenuhnya meninggalkan politik praktis. Ini juga dipertegas dalam UU Nomor 34 tahun 2004 pasal (39) yang menegaskan bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam (1). Kegiatan menjadi anggota partai politik; (2). Kegiatan politik praktis; (3). Kegiatan bisnis dan (4). Kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya. Bagi prajurit aktif yang ingin terjun dalam politik praktis, pilihannya hanya meninggalkan status keprajuritan, ataupun jika ingin menggunakan hak pilihnya maka harus mengundurkan diri atau mempensiunkan dini dari tugas keprajuritan. Jika kini, kita mendorong TNI untuk masuk lagi dalam konstelasi Politik maka mungkin tidak mungkin TNI akan kembali dengan dwifungsi ABRI seperti lembaran kelam negeri ini masa orde baru. Dapatkan kita mengindikasikan bahwa Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejatera (PKS) Agus Purnomo dan partainya sebagai regenerasi atau reinkarnasi dari Orde Baru? Entahlah, tapi juga itu semua mungkin dapat kita lihat dari kacamata reformasi sektor keamanan!

“Mungkin belum waktunya TNI memiliki hak memilih seperti warga lain,” kata Puan Maharani, Ketua Bidang Politik PDIP. Dia juga mengingatkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai kepentingan. Karena itu, netralitas TNI masih diperlukan untuk menjamin keutuhan NKRI. Suasana tarik menarik bernuansa kepentingan selalu muncul dinegara ini. Siapapun yang berkuasa, tegas Puan, pasti selalu berusaha memanfaatkan  semua lini untuk dapat mempertahankan kekuasaan. Sekjen DPP PAN, Taufik Kurniawan mengatakan masih harus dikaji secara mendalam manfaat dan kerugiannya bagi kepentingan NKRI. “Jangan sampai kekompakan Saptamarga prajurit menjadi terkotak-kotak dan terpecah-pecah”. Dalam konteks Indonesia, harus dicermati sejarah perjalanan dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Itu terutama dikaitkan dengan tuntutan reformasi. “Dari sana dicari resultante yang tepat,” kata Taufik.

Membingungkan jika saat ini kekuatan masyarakat sipil mulai lemah disertai dengan belum terpahaminya kondisi politik secara baik oleh legislator-legislator yang duduk di senayan. Anggota TNI adalah warga negara. Namun mereka adalah warga negara yang memiliki otoritas lebih dari warga negara biasa sehingga ada batasan yang membedakannya dengan warga sipil. Konsep kewarganegaraan (citizenship) menafikan perbedaan antara militer dan sipil atau antara prajurit regular dengan prajurit sukarela atau wajib militer. Contohnya adalah Jerman yang menyatakan dalam konstitusinya bahwa tentara adalah warga negara berseragam (Staatsburger in Uniform). Hal yang sama juga dilakukan oleh Belanda yang menyatakan warga sipil yang masuk dalam dinas militer secara sukarela, sehingga menyebabkan diserahkannya hak dan kewajibannya sebagai warga negara biasa. Warga sipil yang bergabung dalam wajib militer dalam hal tertentu tetap dipandang sebagai warga negara dengan keterbatasan.

Sungguhpun demikian harus diperhatikan untuk menafsirkan konsep “tentara adalah warga negara berseragam”. Penafsiran konsep itu sebagai persamaan antara militer dengan warga sipil dalam HAM adalah tidak akurat. Adalah benar bahwa keduanya merupakan warga negara namun lebih tepat ditempatkan sebagai filsafat politik ketimbang klasifikasi hukum. Adalah hal yang umum terdapat pembagian dalam filsafat politik antara warga sipil dan militer. Secara filosofis pula semua warga negara dapat ikut serta dalam angkatan bersenjata membagi namun tidak semua warga dapat menjadi anggota militer mengingat terdapat kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Konsep hukum sebagai konsekuensinya, menuntut kejelasan antara militer dengan sipil. Adapun perbedaan karakteristik, fungsi dan kedudukan mengharuskan adanya klasifikasi dalam konsep kewarganegaraan. Tengoklah karakteristik militer yang terikat pada hirarki, komando serta perintah tidak ditemukan dalam kehidupan warga sipil. Sehingga bila terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh militer sesuai dengan karakternya tidak dapat dilakukan oleh warga sipil. Dengan demikian klasifikasi hukum pun juga terdapat perbedaan juridiksi serta yustiabilitas dari pemberlakuan hukum terhadap militer dan warga sipil.

Sebagaimana disinggung  diatas, dalam pandangan publik, TNI merupakan institusi yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kelam politik pemerintahan Orba, merupakan elemen utama pendukung kekuasaan 32 tahun rezim Soeharto. Karenanya TNI dituntut untuk mereformasi dirinya menjadi tentara professional dan tunduk pada otoritas sipil dalam pemerintahan demokratis, sekaligus sebagai alat pemerintah yang tidak terlibat dalam pengambilan kebijakan politik. Selain terkait peran politik, TNI juga diinginkan meninggalkan keterlibatan mereka dalam aktivitas-aktivitas ekonomi, menjauhi hal-hal yang dapat bertentangan dengan fungsi-fungsi professional mereka. Terkait dengan praktek-praktek kekerasan dimasa lalu, TNI juga didesak untuk tunduk pada tuntutan hukum dan secara ketat memastikan bahwa tindakan-tindakan mereka dimasa yang akan datang tidak lagi bertentangan dengan hukum atau melanggar HAM. Tuntutan ini tidak lepas dari problem peran dwifungsi ABRI dimasa lalu dimana militer masuk dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi sebagai pengawal kepentingan negara dan modal. Lebih jauh lagi, militer menjadi penentu dari kebijakan negara, sehingga rezim orde baru sendiri nota bene merupakan rezim militer. Apakah kondisi ini harus dikembalikan dengan adanya persepsi secara kepartaian oleh individu partai PKS? Sungguh meragukan kualitasnya sebagai anggota DPR RI!

Kondisi ini memperlihatkan, sistem demokrasi yang kita bangun ternyata masih sebatas demokrasi prosedural. Demokrasi kita baru sebatas pembentukan institusi-institusi baru namun belum dapat mewujudkan demokrasi yang substansial yaitu kesejateraan rakyat (welfare state). Manajemen dari partai politik yang belum matang mengakibatkan lemahnya posisi tawar sipil terhadap TNI. Selain itu pengawasan dan kontrol masyarakat sipil terhadap TNI semakin melemah sebagai akibat kejenuhan lamanya rentang waktu reformasi dan tidak ada kesepakatan diantara kalangan masyarakat sipil sendiri kapan reformasi TNI dianggap selesai. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Timor Express, tanggal 23 Juni 2010).


-------------------------------
Penulis: Staf SATPOL PP Kota Kupang

TRANSLATE: